Search This Blog

Senin, 19 Oktober 2009

Wajah Pendidikan Kita: Buruk Muka Cermin di Belah

Wajah Pendidikan Kita:
Buruk Muka Cermin di Belah[1]

Oleh : Listiyono Santoso[2]


Pengantar
            Pendidikan selalu menjadi topik menarik dan aktual untuk diperbincangkan, diseminarkan sekaligus ‘digugat’. Meski demikian, pendidikan sekaligus merupakan persoalan yang rumit dan terkesan tak pernah dapat diselesaikan secara tuntas. Alih-alih memberikan solusi baru atas problema yang mendera (dunia) pendidikan kita, yang terjadi adalah kian terkukuhkannya pendidikan sebagai ‘masalah’ nasional yang tidak kunjung selesai. Tragisnya, pendidikan kita justru

Sabtu, 17 Oktober 2009

Bahasa Media Massa Kita: Mendayung antara Lokalisme dan Globalisme

Bahasa Media Massa Kita:
Mendayung antara Lokalisme dan Globalisme
Oleh: Listiyono Santoso[1]

Pengantar
            Bandul pendulum dunia saat ini bergerak menuju tatanan dunia baru yang disebut sebagai dunia global. Globalisasi telah menjadi magnet baru yang menyedot perhatian sebagian besar masyarakat dunia. Masyarakat dunia –dimana saja- tidak bisa lagi mengelak kehadiran tatanan baru ini. Melalui teknologi informasi, globalisasi telah menjadikan dunia layaknya perkampungan global (global village). Sebuah perkampungan tempat hiruk pikuknya berbagai informasi berseliweran tiada henti. Begitu cepat dan tidak terkendali.
          Globalisasi telah menjadikan dunia tidak lebih dari

Jumat, 31 Juli 2009

Salah Urus (Dunia) Pendidikan Kita!

Salah Urus (Dunia) Pendidikan Kita!
Oleh : Listiyono Santoso
 (dosen ilmu filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga)


Fenomena ‘salah urus’ pendidikan kita sebenarnya bukan hal baru. Salah urus itu terlihat dari berbagai persoalan pendidikan yang tidak pernah terselesaikan. Dari soal yang bersifat teknis seperti penerimaan (maha)siswa baru dan buku teks pelajaran hingga yang bersifat filosofis berkaitan dengan visi dasar pendidikan kita. Ironisnya, dari rezim ke rezim persoalan tersebut selalu sama dan klasik. 

Berbagai kritik atas penyelenggaraan pendidikan sudah terlalu sering dilontarkan banyak pakar. Namun kenyataannya, bukan terjadi proses reformatif, baik kultural maupun

Kamis, 16 April 2009

Penyakit Sosial: Hidup dengan suatu Cacat tanpa menjadi Sakit (Perspektif Filsafat Sosial)

Penyakit Sosial:
Hidup dengan suatu Cacat tanpa menjadi Sakit
 (Perspektif Filsafat Sosial)
Oleh: Listiyono Santoso

Pengantar
Dunia kita saat ini berada pada situasi moral yang upredictable; tidak disangka-sangka. Tidak pernah ada manusia yang sanggup memprediksikan bentuk masa depan dari moralitas manusia. Nilai tradisional yang dulu di’sakral’kan dan dimuliakan sebagai prinsip etik kini mulai dipertanyakan satu persatu kebenarannya. Situasi dunia kita –saat ini- seolah membawa kita untuk

Pendidikan, Realitas Sosial dan Ke(tidak)sadaran (Bersama) Multikultural

Pendidikan, Realitas Sosial
dan Ke(tidak)sadaran (Bersama) Multikultural
Oleh: Listiyono Santoso

Keragaman yang Menjadi Masalah
 Lima tahun lebih negeri ini terperangkap dalam jeratan krisis multidimensi. Krisis yang telah medegradasikan secara menyeluruh kualitas hidup bangsa, tanpa ada kepastian kapan akan berakhir. Ironisnya, menurut Musa Asy’arie (Kompas, 4/4/2001) jeratan itu makin kencang, karena ternyata

Penguatan Identitas ke-Indonesia-an:

Penguatan Identitas ke-Indonesia-an:
Mendayung di Antara Lokalisme dan Globalisme
Oleh: Listiyono Santoso

Bermula dari Optimisme Perubahan
Awalnya, ketika umat manusia begitu tercengang dengan keberhasilan revolusi industri di Inggris abad ke-18 yang menimbulkan gelombang optimisme lahirnya dunia baru bagi umat manusia. Optimisme akan kemajuan umat manusia berdasarkan keberhasilan teknologi industri. Optimisme ini diberangkatkan dari paradigma positivisme (sosial) bahwa masyarakat adalah suatu ORDE ; suatu susunan yang tetap dan

Sabtu, 28 Maret 2009

Dosen Mroyek, apa salahnya?

Dosen Mroyek, apa salahnya?
Oleh: Listiyono Santoso

Dosen ilmu filsafat di Unair dan peneliti tamu pada RESI (Regional Economic and Social Institute)

Dosen mroyek bukan barang baru lagi di Indonesia. Fenomena ini melanda hampir semua dosen di berbagai PTN/PTS kita. Ada beberapa alasan yang mendorongnya. Pertama, sebagaimana diungkapkan Budi Santosa (harian ini, 4/05/2006), dosen tidak bisa mengandalkan gaji untuk mencukupi kebutuhan hidup, baik bagi dirinya sendiri apalagi

Reproduksi Kelas Sosial dalam Kapitalisasi Pendidikan

Reproduksi Kelas Sosial dalam Kapitalisasi Pendidikan
Oleh : Listiyono Santoso

Rasanya tidak sepenuhnya keliru bila masyarakat beranggapan bahwa lembaga pendidikan di negeri ini sudah tergelincir dalam belitan korporatisasi dan jeratan bisnis. Tidak saja oleh mahalnya biaya (normal) pendidikan, melainkan diperparah oleh munculnya berbagai kebijakan di berbagai lembaga pendidikan dari tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi yang diperuntukkan kepada orang tua murid untuk membayar sejumlah sumbangan (sukarela). Meskipun kebijakan membayar sumbangan sifatnya sukarela, prakteknya berubah menjadi sumbangan wajib. Apalagi ketika jumlah sumbangan sudah ditentukan angka nominalnya, minimal sekian juta rupiah.
Fenomena ini menjadi realitas empirik dalam dunia pendidikan kita belakangan ini. Pada hampir semua jenjang pendidikan, jumlah nominal uang yang harus dibayarkan –seolah- menjadi faktor determinan diterima tidaknya seseorang dalam lembaga pendidikan tersebut. Meskipun ada seleksi tes masuk, tapi ukurannya bersifat kualitatif dan relatif tidak jelas. Untuk masuk SD, sudah lama berlaku sebuah peraturan aneh yang menurut Abdul Gaffar Karim (2003) mungkin hanya ada di Indonesia, bahwa calon siswa harus bisa membaca dan berhitung. Menurutnya, derajat kelancaran membaca dan berhitung kerap menjadi ruang tawar menawar antara pihak sekolah dan orang tua. Mau anaknya bisa masuk SD tapi tidak terlalu lancar membaca, maka disini terdapat biaya lebih yang harus dibayar. Mau masuk SMP dan SMU ? Jika dulu ada NEM yang jelas betul ukurannya. Kini NEM tidak ada lagi, dan ujian masuk SMP dan SMU menjadi benar-benar kualitatif. Repotnya, yang kualitatif tersebut biasanya bersifat sumir, dan mudha berubah jadi ruang tawar menawar dengan uang sebagai penentunya.
Jika realitas ini terus menerus dipertahankan, maka masyarakat golongan ekonomi tidak mampu jelas paling terkena dampaknya. Dalam situasi normal saja, mereka masih kesulitan memasukkan anak-anak ke lembaga pendidikan, kini harus dihadapkan pada situasi kian melangitnya biaya pendidikan. Mereka jelas tidak mampu membayangkan, ketika harus mengeluarkan uang dengan kisaran jutaan rupiah untuk (sekedar) menyekolahkan anaknya. Bagi mereka, uang jutaan rupiah tidak hanya besar, tapi terlalu berharga kalau dikeluarkan untuk biaya sekolah anak, yang masih belum jelas hasilnya. Lebih baik diinvestasikan untuk kepentingan penambahan ekonomi keluarga yang jelas hasilnya, ketimbang harus menyekolahkan anak-anaknya.
Kenyataan ini mendorong munculnya sikap apatis dan skeptis masyarakat penghasilan rendah untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Karenanya, menjadi wajar bila Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2001 menunjukkan bahwa akses golongan berpendapatan rendah terhadap pendidikan tinggi hanya 3,2 persen, sedangkan golongan berpendapatan tinggi mencapai 30,6 persen. Pertanyaannya, mengapa akses golongan berpendapatan rendah begitu sedikit dibanding golongan berpendapatan tinggi di bidang pendidikan tinggi ?
Kalau diprediksi, jawabannya adalah pertama, ketidakmampuan dan ketakutan mereka dengan mahalnya biaya pendidikan. Biaya pendidikan tidak hanya pada waktu awal tahun ajaran baru, tetapi keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan ketika anak-anaknya menempuh pendidikan. Kedua, tidak adanya jaminan masa depan atas nasib anak-anaknya setelah lulus pendidikan. Realitas membengkaknya angka pengangguran dari para lulusan pendidikan merupakan bukti atas ketidakpastian nasib lulusan sekolah formal. Banyak harta masyarakat sudah diinvestasikan untuk pendidikan, tapi setelah lulus tidak mendapatkan apa-apa.
Reproduksi Kelas Sosial
Harus diakui, bahwa memang di semua negara yang sudah ‘disekolahkan’, pengetahuan dianggap sebagai bekal utama untuk mempertahankan hidup, sekaligus dianggap sebagai alat tukar lebih laku ketimbang rupiah maupun dolar. Semakin banyak seseorang mengkonsumsi pendidikan, seharusnya semakin banyak ‘stok pengetahuan’ yang diperoleh. Seiring dengan itu, semakin tinggi pula posisinya dalam hirarki ‘kapitalis’ pengetahuan (Amirudin, 1993). Tidak itu saja, bahkan banyak orang sampai sekarang masih berkeyakinan bahwa pendidikan adalah alat baru untuk menaikkan posisi sosialnya dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh diharapkan semakin tinggi pula status sosialnya dalam masyarakat. Dengan demikian, akan semakin memudahkan pula untuk mendapatkan akses pekerjaan.
Ternyata harapan tersebut seperti mimpi di siang bolong. Karena menurut Bourdie sebagaimana dikutip Haryatmoko (Kompas, 21/07/2003) bukankah asal usul peserta didik menjadi faktor paling menentukan dalam keberhasilan atau kegagalan di sekolah maupun juga dalam mencari pekerjaan. Betapa tidak, setelah lulus dari perguruan tinggi, untuk menemukan pekerjaan saja, hubungan-hubungan sosial ikut menentukan, apalagi jabatan mapan. Padahal, keluarga berpenghasilan rendah, biasanya lemah dalam modal sosial ini.
Dengan demikian, lembaga pendidikan –dalam kenyataan- hanya menjadi alat untuk semakin mengukuhkannya kelas sosial dalam masyarakat. Atau, justru menciptakan struktur kelas baru dalam masyarakat. Alih-alih dapat menjadi alat memutus mata rantai kemiskinan, tetapi justru semakin menyuburkan reproduksi kelas sosial. Prinsip ini seolah merupakan mekanisme kerja dari kapitalisme. Sebagaimana kritik Marx atas kapitalisme, bahwa ia hanya menjadi alat bagi tujuan penghisapan, dari kelas borjuis (orang-orang kaya) kepada kelas proletar (orang-orang miskin). Kapitalisme tidak lebih dari alat untuk mereproduksi kelas-kelas borjuasi dalam struktur masyarakat modern.
Tampaknya kapitalisasi pendidikan adalah perpanjangan tangan dari model kapitalisme yang pernah dikritik Marx tersebut. Ia seperti lembaga bisnis. Di dalamnya –ternyata- bersembunyi berbagai kepentingan-kepentingan untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai lahan bagi pengerukan harta benda masyarakat. Dan memang, lembaga pendidikan merupakan lahan potensial bagi upaya tersebut. Kebutuhan yang besar masyarakat terhadap pendidikan anak-anaknya merupakan ladang ‘menggiurkan’ untuk menaikkan posisi tawar menawar lembaga pendidikan, apalagi bila lembaga tersebut termasuk dalam kategori favorit.
Sekolah-sekolah favorit diakui atau tidak adalah salah satu lembaga yang paling bertanggungjawab atas munculnya kesenjangan sosial yang direproduksi oleh lembaga pendidikan. Hampir dapat dipastikan di sekolah-sekolah tersebut hanya akan melayani kepentingan masyarakat berpenghasilan tinggi. Hampir tidak ada sekolah favorit di negeri ini yang mematok biaya murah. Alasannya, kualitas pendidikan yang selama ini diperolehnya membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Dari soal penyediaan fasilitas belajar yang lengkap, peningkatan wawasan guru, pembimbingan kepada anak-anak atau untuk.keperluan ekstrakurikuler unggulan, dsb.
Pengkotak-kotakan antara sekolah favorit dan tidak tersebut akhirnya turut pula menyumbang munculnya ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Masyarakat berpenghasilan rendah, meskipun anaknya mempunyai kemampuan akademik tinggi, harus rela untuk menyekolahkannya ke sekolah-sekolah yang tidak bermutu. Apalagi, masyarakat miskin yang anaknya tidak mempunyai kemampuan akademik tinggi, jelas semakin tertutup peluangnya untuk memperoleh pendidikan di sekolah favorit. Akibatnya, sekolah favorit sebagaiman lembaga pendidikan lainnya, didirikan hanya untuk melayani kepentingan masyarakat berpenghasilan tinggi disertai (kadang-kadang) kemampuan akademik anak-anaknya tinggi pula.
Inilah kemudian disebut sebagai reproduksi kelas sosial secara terus menerus. Pendidikan pada akhirnya hanya berfungsi untuk melanggengkan struktur pembagian kelas dalam masyarakat. Masyarakat kaya, akan semakin terkukuhkan dengan logika kapitalisasi pendidikan. Sedangkan masyarakat miskin, akan semakin terpuruk dengan kemiskinannya. Karenanya, tidak berlebihan bila, Ivan Illich (1971) mengatakan bahwa selama beberapa generasi kita telah mencoba membuat dunia ini menjadi tempat tinggal yang lebih layak dengan menyediakan sekolah-sekolah yang banyak. Tetapi, sejauh ini usaha tersebut percuma saja. Sebaliknya, kita malah belajar bahwa memaksa semua anak untuk mendaki jenjang pendidikan yang tidak ada habisnya akan semakin memperlebar jurang kesenjangan.
Sebagai catatan akhir, tampaknya sudah saatnya kita menata ulang konsep pemerataan pendidikan secara lebih adil. Bahwa untuk menciptakan kualitas pendidikan diperlukan biaya mahal, kita sepakat. Tetapi, apakah semua yang berkaitan dengan hal tersebut harus dibebankan keseluruhannya kepada masyarakat secara sama rata. Sudah pasti sangat sedikit masyarakat yang akan mampu membiayai keseluruhan biaya pendidikan yang memang mahal tersebut, jikalau tidak ditanggung bersama seluruh masyarakat, baik melalui subsidi silang maupun melalui pajak. Dengan demikian, sudah saatnya kita memotong mata rantai bercokolnya lembaga pendidikan yang berfungsi mereproduksi kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
* Listiyono Santoso, dosen dan peneliti K3M Fakultas Sastra UNAIR

Selasa, 03 Maret 2009

Beragama (Islam) Inklusif : Upaya Membelah Tempurung Reduksi Agama[1]

Beragama (Islam) Inklusif :
Upaya Membelah Tempurung Reduksi Agama[1]
oleh : Listiyono Santoso

Prolog :
Islam Inklusif yang belakangan ini menjadi tema menonjol dalam konstelasi pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia (khususnya) tampaknya kembali menjadi sorotan. Di satu sisi, ia begitu ‘diidolakan’, terutama oleh kalangan muda yang tumbuh mekar di pesantren maupun kampus-kampus agama (IAIN), sebagai bentuk kepekaan baru dan peralihan paradigma dalam ‘membaca’ realitas keberagamaan sekaligus membaca ulang bahasa-bahasa agama. Di sisi lain, sebagian kalangan, utamanya kaum muda yang

Sabtu, 28 Februari 2009

Korupsi, Naluri Dasar Kekuasaan

Korupsi, Naluri Dasar Kekuasaan
oleh: Listiyono Santoso

Korupsi bukan lagi merupakan berita di negeri ini. Bukan karena tidak menarik, melainkan sudah terlanjur menjadi berita biasa. Laporan Kompas yang menunjukkan fakta betapa korupsi di negeri ini telah terjadi dimana-mana (Kompas, 22-23/07/2008) ditanggapi publik sebagai hal biasa. Tanpa rasa kaget.
Yang sebenarnya lebih substantif adalah mengapa orang berkuasa cenderung korupsi? Hampir semua korupsi di negeri ini dilakukan oleh orang yang sedang berkuasa. Baik kekuasaan dalam pengelolaan anggaran maupun

Berpolitik tanpa Keteladan

Berpolitik tanpa Keteladanan
Oleh : Listiyono Santoso*

Mencermati konstelasi perpolitikan nasional belakangan ini, agaknya kita tidak bisa berharap banyak akan terjadinya perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak saja karena (selama ini) ada ketidakjelasan mekanisme perpolitikan nasional yang harus dimainkan, tetapi juga karena belum (tidak) terbentuknya formulasi masyarakat politik kita (pasca dilikuidasinya kekuasaan Orde Baru yang sentralistik) secara jelas, transparan dan konstruktif. Alih-alih terbentuk masyarakat politik yang konstruktif, malahan yang lahir kemudian adalah

Mencoba Hidup Tanpa "negara'

Mencoba Hidup Tanpa "Negara"?
(dimuat Kompas, Rabu, 13 Juni 2001)

NEGARA dalam literatur politik klasik diadakan oleh manusia sebagai sebuah tuntutan "fitrah" manusiawi, karena manusia menurut kodratnya merupakan zoon politikon; makhluk yang hidup dalam polis atau kota. Sehingga menurut Aristoteles (384 sM), suatu makhluk yang menurut kodratnya, tidak hidup dalam polis, pasti merupakan seekor binatang atau seorang dewa. Maksudnya, makhluk serupa itu bisa berada di

'Komunitas Terpenjara' di Metropolis

‘Komunitas Terpenjara’ di Metropolis
oleh: Listiyono Santoso*

Warga di perumahan Nginden Intan dan kawasan Manyar tiba-tiba geger. Kamis, 1 Juni 2006 lalu, salah satu rumah di kawasan elite tersebut digerebek polisi, karena digunakan sebagai pabrik ekstasi. Warga gempar, marah dan mungkin juga heran. Betapa tidak. Lingkungan perumahan mereka ternyata