Search This Blog

Selasa, 05 Oktober 2010

Yogyakarta, SUrga Ritel Modern

Yogyakarta, Surga Ritel Modern?
Oleh: Listiyono Santoso

            Judul di atas bermula dari curhat seorang kolega yang sedang studi lanjut di Yogyakarta dalam statusnya di sebuah jejaring sosial. Baginya, Yogyakarta sudah benar-benar berbeda dengan apa yang pernah dia bayangkan sebelumnya. Bayangannya, kota ini tidaklah sekedar kota pendidikan dengan sejumlah perguruan tinggi ternama, melainkan juga menjadi kota kebudayaan yang begitu nyaman bagi tumbuh kembangnya kebudayaan yang populis, termasuk didalamnya kebijakan politik ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil.
            Yogyakarta berubah katanya. Jika benar apa yang selama ini diceritakan orang tentang keramahan kota ini, tentang kota yang humanopolis, serta romantisisme sebagai kota kebudayaan yang pro-rakyat, tentu saja cerita itu berlebihan. Bagaimana mungkin kota yang dikatakan berpihak kepada rakyat kecil ini lambat laun menjelma menjadi miniatur metropolis dengan kepadatan dan kemacetan di jalan-jalan, dengan mall yang berdiri megah, dengan pendidikan yang kian mahal. Parahnya lagi katanya, coba lihat di sepanjang jalan Solo dari Kalasan hingga Janti, penuh sesak dengan ritel-ritel modern yang bagai bak cendawan di musim hujan, sangat ekspansif.
            Ritel modern ini saling berjajar dan berdampingan sepanjang Jalan Solo. Entah, bagaimana menerjemahkan konsep populisme sebuah kebijakan, ketika kekuasaan tiba-tiba membiarkan saja, bahkan memberikan peluang bagi menjamurnya bisnis ritel modern ini. Bukankah ritel modern merupakan bisnis waralaba yang memiliki jaringan usaha begitu luas dan kuat. Hampir seluruh kota di negeri ini tidak bisa lepas dari ekspansi ritel modern. Memang, kehadiran ritel modern merupakan tuntutan kebutuhan jaman. Selain dikemas dengan konsep modern, ritel modern memang menawarkan kenyaman berbelanja bagi konsumen. Persoalannya adalah bagaimana dengan nasib pedagang kecil yang sudah selayaknya mendapat perlindungan dari negara dalam menjalankan aktivitas ekonominya? Bukankah negeri ini sejak awal menganut sistem ekonomi yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Ekspansi Ritel Modern        
            Mengacu pada tahun 2008, tingkat pertumbuhan ritel lebih banyak di dominasi upaya ekspansi yang dilakukan beberapa peritel di Indonesia, peningkatan gaya hidup, serta pertumbuhan belanja iklan. Pada 2008 ritel berformat besar seperti Hypermart, Giant, dan Carrefour tumbuh cukup pesat. Hypermart dari yang sedianya 36 unit,berkembang menjadi 43 unit. Giant tumbuh dari 17 unit menjadi 26 unit. Sedangkan Carrefour dari 37 menjadi 42 unit. Untuk ekspansi supermarket, Carrefour Express dari nol menjadi 14 unit, Giant dari 23 menjadi 55 unit,Superindo dari 56 menjadi 63 unit.Sedangkan untuk minimarket juga mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Alfamart yang awalnya berjumlah 2.361 unit meningkat menjadi 2.736 unit (Hasil Riset KPPU Republik Indonesia dan The Business Watch Indonesia tahun 2010).
            Kehadiran riten modern, terutama dengan konsep minimarkert seperti Indomart dan Alfamart disadari memang mampu menggerakkan laju pertumbuhan perekonomiaan pemerintah, utamanya pemerintah daerah. Dari berbagai studi diperlihatkan bukti bahwa di antara pemain utama ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart mereka memiliki omzet yang fantastis. Indomaret merupakan pemain terbesar dengan pangsa omzet sekitar 43,2% dari total omzet minimarket di Indonesia. Sementara Alfamart membuntuti dengan pengumpulan omzet sebesar Rp7,3 triliun atau sekitar 40,8% dari total omzet minimarket di Indonesia. Sementara untuk kelompok supermarket terdapat enam pemain utama yakni Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart,Ramayana,dan Yogya+Griya Supermarket.Enam jaringan ritel ini menguasai 76% pangsa omzet supermarket di Indonesia. Sedangkan pada kelompok hypermarket hanya terdapat lima peritel utama dan tiga di antaranya menguasai 88,5% pangsa omzet hypermarket di Indonesia.
            Omzet yang begitu menggiurkan ini tentu saja menggoda setiap orang untuk menjalankan usaha ritel modern. Tidak salah memang. Selain merupakan hak setiap warga negara untuk menjalankan aktivitas ekonomi, juga memberikan sumber pajak yang besar bagi negara. Titik persoalan kemudian muncul ketika bisnis ritel modern ini mulai menyentuh pasar-pasar tradisional atau desa-desa kecil yang di dalamnya terdapat puluhan hingga ratusan pedagang kecil. Titik persinggungan ini mulai muncul ketika kehadiran ritel-ritel modern memberikan iklim persaingan usaha tidak kondusif dan tidak berkeadilan.
            Logika sederhananya, bagaimana mungkin gadjah diadu melawan semut? Pemilik ritel modern meskipun owner dimiliki masyarakat setempat, tetapi sebagai bisnis waralaba, dia akan tetap di support oleh kekuatan modal yang besar dan jejaring yang sudah mapan. Sedangkan pedagang tradisional adalah warga setempat dengan modal kecil dan sistemnya dibangun berdasar asas kekeluargaan. Tidak perlu mencari dasar teoritik ilmiahnya, pada akhirnya pedagang kecil akan tergusur dalam persaingan tidak sehat ini.
            Pesatnya perkembangan pasar modern belakangan ini seringkali menuai protes dengan pihak yang merasa dirugikan seperti pasar tradisional atau bahkan dengan sesama ritel modern. Bahkan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2007 Tentang  Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Pasar Modern yang  diberlakukan pada Desember 2008 dan Peraturan Menteri Perdagangan No 53 Tahun 2008 justru masih mengundang kontroversi. Terutama, menyangkut pelanggaran ritel modern yang menjual sembako di bawah harga pasar tradisional, apalagi kalau tiap hari selalu tersedia promo dan buka 24 jam nonstop.
Perlu Regulasi yang Berkeadilan
            Menurut Risbiani Fardaniah (2010) ‘ritual’ niaga seperti itu selalu dilakukan pula peritel-peritel raksasa seperti Carrefour dan Giant yang pada hari-hari tertentu juga kerap menawarkan diskon tengah malam. Seakan tidak pernah puas mendulang keuntungan dari jam operasi biasa dari pukul 10.00 sampai 22.00 WIB, sejumlah peritel modern yang sebagian besar dikuasai asing, membuka toko hingga tengah malam. Beberapa diantaranya mengimingi potongan harga tambahan sampai 20 persen. Menurutnya, sepak terjang peritel besar selama ini adalah buah dari tiadanya aturan dan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap pedagang kecil yang mengais rezeki di pasar domestik yang besar.
            Menurut catatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia (2010), secara garis besar terdapat dua permasalahan yang hadir dalam industri ritel di Indonesia, yaitu permasalahan ritel modern versus ritel tradisional, dan permasalahan pemasok versus peritel modern. Akar permasalahan tersebut terletak pada hadirnya kekuatan pasar dari ritel modern. Permasalahan dalam persaingan ritel tradisional versus ritel modern merupakan permasalahan yang lebih terkait dengan ketidaksebandingan daripada sebagai permasalahan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1999. Sedangkan permasalahan pemasok versus peritel modern terkait dengan besaran trading term yang semakin meningkat sehingga menjadikan margin yang dinikmati pemasok semakin tipis. Pada saat yang sama, konsumen sesungguhnya belum tentu menikmati efisiensi pemasok karena sebagian ditransfer menjadi keuntungan bagi peritel
            Dalam konteks ini, sebagai warga yang lahir dan besar di kota ini, saya yang pernah merasakan betapa Yogyakarta adalah ruang tempat bersemainya berbagai pemikiran yang mengarusutamakan rakyat kecil sebagai subjek pembangunan. Tanah-tanah sultanground yang dimiliki Kasultanan Ngayogjokarto banyak dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Malioboro yang menjadi icon denyut nadi perekonomian Yogyakarta tetap memperlihatkan watak kerakyatannya dengan Pedagang Kaki Lima (PKL)nya. Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dikenal sebagai Kampus Kerakyatan, serta berbagai simbol-simbol pro-populis lainnya.
            Wajar jika kemudian selama mendiaminya, saya selalu membayangkan kota ini tetap dengan ‘roh’ kerakyatannya dalam berbagai bidang. Bagaimanapun, sebagai daerah dengan keistimewaannya, Yogyakarta tetaplah harus mampu mempertahankan citra sebagai kota yang (ny)aman bagi berbagai aktivitas warganya, termasuk aktivitas ekonomi. Keberpihakan Sri Sultan HB X terhadap ekonomi kerakyatan tidaklah diragukan. Persoalannya bagaimana dengan pemerintah daerah di sekitarnya, apakah memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap nasib rakyat kecil.
            Dalam konteks ini, sesungguhnya posisi pemerintah daerah (pemda) sangatlah strategis dalam hal pengaturan ritel. Perpres dan PP diatas hanya bersifat sebagai minimum requirement, selebihnya pemerintah daerah yang memiliki kewenangan untuk mengatur melalui kebijakan daerahnya. Kepentingan jangka panjang sebuah daerah adalah kewenangan pemerintah daerah, termasuk keberlangsungan sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Sebagai contoh, pemda memiliki kekuatan untuk mengatur masalah trading term di daerahnya sebagai upaya untuk menyeimbangkan peran pemerintah dengan pasar. Selain masalah trading term, beberapa hal yang perlu diperhatikan pemda terkait masalah ritel adalah masalah tata ruang (zonasi), infrastruktur, investasi daerah, serta keterkaitannya dengan visi misi dearahnya (KPPU, 2010).
            Selain itu, hal yang perlu diperhatikan pemda adalah setiap perizinan ritel-ritel modern harus mempertimbangkan aspek-aspek sosial ekonomi dan kearifan lokal masing-masing wilayah. Warga Yogya sangat terkenal dengan komunalitasnya dan penghargaan terhadap kepentingan bersama. Jadi ketika kearifan lokal itu tiba-tiba diabaikan demi keuntungan pragmatis semata, maka jelas pemerintah tidak memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap kepentingan publik. Karenanya, wajar jika muncul sejumlah usulan regulasi terkait dengan kehadiran ritel-ritel modern di kota ini.
            Hasil dari kajian KPPU (2010) menyimpulkan adanya dua pilihan yang melatarbelakangi dibuatnya suatu regulasi terkait ritel. Pilihan tersebut terkait dengan apakah regulasi yang dibuat tersebut bertujuan untuk proteksi atau untuk membuka jalan investasi. Jika regulasi tersebut bertujuan untuk proteksi, maka yang dilindungi adalah pasar tradisional. Upaya yang dilakukan pemda melalui regulasi adalah dengan memberikan berbagai persyaratan bagi ritel modern sehingga kehadirannya tidak mematikan pasar tradisional. Adapun regulasi yang bertujuan untuk membuka jalan investasi lebih menekankan kemudahan bagi ritel modern untuk berinvestasi di daerahnya.
            Dengan demikian, jelaslah bahwa maraknya ritel-ritel modern sesungguhnya memberikan bukti bahwa keberpihakan pemerintah daerah terhadap nasib pedagang kecil sangatlah rendah. Hampir tidak ada proteksi yang dibuat oleh pemerintah untuk melindungi masa depan pedagang tradisional. Jika demikian, wajar jika seorang teman yang studi di kota ini mengeluh bahwa Yogyakarta sudah (tidak lagi) berhati nyaman bagi pedagang kecil.

Senin, 05 Juli 2010

Surplus Politisi Minus Negarawan

Surplus Politisi Minus Negarawan
Oleh : Listiyono Santoso
Sudahkah nasib rakyat kecil diperjuangkan oleh politisi kita di DPR, baik pusat maupun daerah? Kalau sudah, sejauhmanakah nasib mereka diperjuangkan agar minimal dibicarakan dalam setiap proses-proses politik pengambilan kebijakan negara? Atau sejauh manakah komitmen partai politik menjadi institusi penyalur aspirasi yang memperjuangkan nasib rakyat kecil?
Pertanyaan demi pertanyaan ini selayaknya disampaikan kepada