Search This Blog

Senin, 05 Juli 2010

Surplus Politisi Minus Negarawan

Surplus Politisi Minus Negarawan
Oleh : Listiyono Santoso
Sudahkah nasib rakyat kecil diperjuangkan oleh politisi kita di DPR, baik pusat maupun daerah? Kalau sudah, sejauhmanakah nasib mereka diperjuangkan agar minimal dibicarakan dalam setiap proses-proses politik pengambilan kebijakan negara? Atau sejauh manakah komitmen partai politik menjadi institusi penyalur aspirasi yang memperjuangkan nasib rakyat kecil?
Pertanyaan demi pertanyaan ini selayaknya disampaikan kepada
politisi kita sekaligus kepada parpol di negeri ini. Menjadi layak disampaikan, karena mereka (politisi dan parpol) menjadi punya kekuatan politik ketika rakyat memberikan pilihan suaranya kepada mereka. Tanpa suara rakyat, tentunya mereka tidak memiliki daya apapun.Ironisnya, posisi rakyat dalam ruang politik kita justru tidak berdaya. Disamping hanya menjadi alat mobilisasi suara, rakyat hanya terus menerus dijadikan alat legitimasi bagi kepentingan kekuasaan belaka.
Ruang politik kita saat ini memang tidak berpihak kepada rakyat kecil.Alih-alih berpihak, memperjuangkan nasib mereka saja mereka sudah tidak serius. Fakta gagalnya hak angket untuk mempertanyakan kebijakan import beras adalah bukti yang paling nyata. Padahal sebelumnya, anggota dewan begitu bersemangat untuk meloloskan hak angket tersebut, tapi setelah ada perbincangan dengan kalkulasi politik masing-masing parpol, semangat itu hilang. Berganti dengan dukungan atas kebijakan import beras (Kompas, 25/1/2006).
Kebijakan import beras dengan alasan mengamankan ketersediaan pangan nasional, logikanya memang akan menurunkan harga beras sebagai akibat minusnya ketersediaan beras. Tapi, fakta dilapangan, harga beras menjadi kian mahal dan nasib petani kian diujung tanduk karena padi yang dihasilkannya kalah bersaing dengan beras import.
Nalar Politisi versus Nalar Negarawan
Demikianlah, bahwa rakyat menjadi anak tiri di negeri sendiri. Selain selalu jadi korban dari kebijakan yang tidak pro rakyat, institusi yang seharus menjadi penyalur aspirasi mereka justru malah menjadi pendukung utama dari kebijakan tersebut. Lalu kepada siapa lagi rakyat harus berkeluh kesah ketika tidak ada lagi institusi yang memperjuangkan nasibnya? Persoalannya kemudian adalah mengapa bisa terjadi, parpol yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi rakyat justru malah menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan.
Jawaban sederhananya, bahwa di negeri ini ruang politik kita terlalu banyak dipenuhsesaki dengan politisi bukan negarawan. Nalar politisi sangat berbeda dengan nalar negarawan. Politisi berjuang untuk kepentingan politik kekuasaan, sedangkan nalar negarawan berjuang untuk politik kebudayaan. Artinya, politisi lebih memperhitungkan kalkulasi politik kekuasaan semata ketimbang kemaslahatan bangsanya. Seorang negarawan lebih mengepankan nasib bangsa secara lebih mendasar ketimbang berbicara pada kursi kekuasaan; entah kursi kepresidenan, kursi di kabinet, ataupun kursi-kursi kekuasaan lainnya.
Raison d’etat Politik Politis
Perbedaan mendasar antara politisi dan negarawan adalah terletak ada sikap politik dan cara mereka memperlakukan kekuasaan. Politisi biasanya lebih disibukkan ‘menyenangkan’ kehendak pribadinya ketimbang kehendak sosial. Private interest lebih dikedepankan daripada social dan public interest. Realitas ini semakin menunjukkan kenyataannya ketika para penguasa lebih menyukai melakukan kesepakatan antar elit politik ketimbang mendengarkan suara-suara dari akar rumput (grassroat) dalam mengeluarkan kebijakan politiknya. Mereka (seolah) meyakini suatu asumsi bahwa meski kedaulatan ada ditangan rakyat, tetapi pengelolaan atas kedaulatan tersebut tetap terletak pada para pemimpin politiknya.
Atas dasar asumsi ini, mereka lebih memberikan ‘ruang’ bagi elite politik untuk bernegoisasi atas dasar kepentingannya masing-masing, daripada mendengarkan ‘derita’ rakyat. Vox Populi Vox Dei, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan dalam alam demokrasi, tidak lagi mempunyai makna apapun, kecuali ia telah direduksi dan dimanipulasi oleh kepentingan elit-elit politiknya. Apalagi keadaan ini didukung oleh legalitas formal yang sungguh sangat memberi peluang terjadinya distorsi kepentingan rakyat atas nama konstitusional.
Padahal raison d’etat kekuasaan sesungguhnya menuntut agar kepentingan negara tidak dihambat oleh kepentingan pribadi penguasa dan elit politiknya. Penguasa hanya akan perkasa apabila ia memiliki virtu, yaitu kekuatan hati untuk mengorbankan segala apa demi kepentingan negara. Seorang penguasa yang memandang kekuasaannya sebagai kesempatan untuk memperkaya diri dan sanak saudaranya, yang menganggap rakyatnya sekedar sebagai ladang untuk digarap demi keuntungannya sendiri, jelas tidak mempunyai wawasan sebagai seorang negarawan (Magnis Suseno, Kompas, 15/09/1997).
###
Reformasi –disadari- awalnya memang memberikan sejumlah harapan. Harapan tersebut ternyata beriringan dengan munculnya kecemasan. Betapa tidak ? Selama hampir delapan tahun reformasi dijalankan, ternyata tidak membawa perubahan substantif dalam penyelenggaraan kekuasaan negara yang justru berakibat pada semakin terpuruknya negeri ini dalam krisis politik dan ekonomi yang kian terakumulasi.
Reformasi ternyata hanya melahirkan sejumlah politisi dan partai politik, tapi ironisnya tidak melahirkan negarawan. Semula saya berkeyakinan, bahwa lahirnya sejumlah politisi akan membawa ‘angin segar’ bagi kehidupan berpolitik yang demokratis dan berpihak pada kepentingan bangsa, apalagi mereka banyak yang berasal dari kalangan akademisi dan ulama (kyai). Terintegrasinya kedua elemen penting dalam masyarakat ke dalam politik (partai politik) semula diyakini semakin membuat masyarakat politik kita menjadi cerdas-rasional sekaligus bermoral. Politisi dari kalangan akademisi diharapkan mampu memberi wajah rasional-ilmiah dalam berpolitik, sementara dari kalangan ulama diharapkan sanggup mengubah image negatif politik yang ‘buruk’ menjadi lebih baik dan bermoral. Integrasi keduanya –seharusnya- dapat melahirkan sistem politik yang berperadaban.
Sayangnya harapan itu sekarang hilang, berganti dengan kecemasan. Politik adalah politik. Dimana, politik selalu mempunyai logikanya sendiri yang seringkali unpredictable (tidak teramalkan). Logika politik adalah logika (kalkulasi) kekuasaan. Logika tersebut didukung dengan –meminjam terminologi Nietszche- naluri abadi dari manusia yaitu kehendaknya untuk berkuasa (will to power). Dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan, maka politisi biasanya akan menggunakan cara-cara yang tidak masuk akal bahkan cenderung melupakan hati nurani.
Riswandha Imawan (2000) sangat tepat ketika mengatakan bahwa demi kekuasaan, aktor politik rela berbohong dan meraihnya melalui prinsip menghalalkan segala cara. Maka tidak berlebihan bila orang awam berpendapat, bahwa untuk menjadi politikus ulung seseorang harus mempunyai bakat kriminal. Logika yang demikian mengubah ‘panggung’ politik menjadi –meminjam istilah Komaruddin Hidayat (Kompas, 3/10/03) panggung gladiator. Yaitu, menjadi arena perebutan kekuasaan dengan cara saling memfitnah, menjegal dan membunuh lawan. Demi sebuah kemenangan dan kepentingannya sendiri, segala cara ditempuh untuk menjungkalkan lawan dari panggung kekuasaan.
Negeri ini menjadi surplus politisi tetapi minus negawaran. Stok politisi sangat melimpah, tapi negeri ini kehilangan politisi yang berjiwa negarawan. Seorang politisi hanya akan berkutat pada problem kekuasaan (kursi) yang sifatnya lebih kalkulatif dan transaksional. Realitas politik kita sebenarnya membenarkan situasi adanya hiruk pikuk pertarungan perebutan kursi kekuasaan (kepresidenan maupun parlemen), sehingga melupakan tugas pokoknya reformasi kehidupan berpolitik secara mendasar. Sementara, seorang negarawan jelas tidak lagi beorientasi pada kursi kekuasaan, melainkan lebih disemangati oleh keikhlasan berpolitik untuk kepentingan bangsa dan negara an sich yang steril dari intervensi partai politik maupun kepentingan tertentu di luar kepentingan negara, meski mereka berasal dari partai politik tertentu.
Padahal setiap kekuasaan menurut Ignas Kleden (1999: 7) sudah dengan sendirinya menyiapkan jebakan bagi orang yang memilikinya. Semakin besar kekuasaan semakin rumit dan berbahaya jebakan tersebut, sehingga sang penguasa hampir tidak dapat meloloskan diri daripadanya tanpa dibantu orang lain. Untuk seseorang yang berada dalam kekuasaan maka jebakan tidak pernah ditanggapi sebagai jerat penyelewengan, tetapi lebih sebagai privilese dan fasilitas yang dianggap melekat pada kekuasaan. Karenanya menjadi wajar jika selalu saja muncul perilaku aji mumpung tatkala seorang politisi memegang jabatan politik.
Itulah sebabnya setiap kekuasaan, dimanapun dan kapanpun harus dicurigai. Karena jenis penguasa manapun yang dipilih, dia tidak dapat diharapkan untuk memperhatikan kepentingan rakyat dan negara pada setiap saat. Karenanya, sudah sepantasnya kita berkewajiban untuk mengontrol kekuasaan pengelolaan negara dari tingkat paling rendah (Desa) sampai yang paling tinggi (negara). Kekuasaan eksekutif dan legislatif harus tetap dikontrol dan diawasi, karena keduanya sangat berkepentingan dengan pengelolaan kekuasaan negara. Yang lebih bahaya lagi keduanya berpotensi untuk melakukan korupsi secara massal.
· Penulis, dosen filsafat dan peneliti pada PsaTS (Pusat Kajian Transfomasi Sosial) Lemlit Universitas Airlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar