Search This Blog

Kamis, 16 April 2009

Pendidikan, Realitas Sosial dan Ke(tidak)sadaran (Bersama) Multikultural

Pendidikan, Realitas Sosial
dan Ke(tidak)sadaran (Bersama) Multikultural
Oleh: Listiyono Santoso

Keragaman yang Menjadi Masalah
 Lima tahun lebih negeri ini terperangkap dalam jeratan krisis multidimensi. Krisis yang telah medegradasikan secara menyeluruh kualitas hidup bangsa, tanpa ada kepastian kapan akan berakhir. Ironisnya, menurut Musa Asy’arie (Kompas, 4/4/2001) jeratan itu makin kencang, karena ternyata
kita tetap didera oleh berbagai konflik kekerasan antar kelompok dan etnis dan juga ‘agama’ (dimensi SARA; Suku, Agama, Ras, Antar-Golongan), yang meminta korban sangat besar, baik harta, nyawa, harga diri maupun semangat hidup.
 Disadari bahwa konflik-konflik berdimensikan SARA tersebut tidak saja sulit diredakan secara tuntas. Berbagai upaya penyelesaian konflik yang berdimensikan SARA selalu saja menyisakan berbagai endapan masalah. Alih-alih dapat dihentikan, justru semakin memberikan bukti bahwa keragaman yang seharusnya bermakna sebagai uniting factor (factor pemersatu) ternyata lebih mengedepan warna deviding factor (factor pemisah). Keragaman kebudayaan bangsa ini dalam kenyataannya memiliki potensi konflik. Keragaman kebudayaan menjadi ibarat ‘bakal janin’ yang bayinya adalah (fenomena) konfliktual.
Fenomena konfliktual tersebut seolah menjadi realitas dalam kehidupan berbangsa kita. Tidak saja sulit dihentikan melainkan semakin meluas dan sanggup meluluhlantakan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan kita. Belum selesai tragedi Ambon, Papua, Aceh serta Sambas, kini telah muncul lagi konflik di Poso dengan katalisator yang seolah sama, yaitu SARA. Hal ini menunjukkan betapa peristiwa konflik awal seperti di Ambon, tidak dianggap sebagai pengalaman buram untuk segera ditinggalkan, tetapi malah menjadi inspirasi lahirnya peristiwa-peristiwa serupa di tempat lain.
 Kekerasan demi kekerasan tidak kunjung selesai. Ironisnya, kekerasan di negeri ini penuh dengan keterlibatan-keterlibatan ornamen kebudayaan juga agama, baik berupa lambang-lambang bahasa untuk menyemangati kobaran ‘perang’, maupun berupa barang-barang fisik seperti pakaian dan atribut khas kelompok umat beragama ataupun identitas kebudayaan lain. Ornamen-ornamen itu, yang semula sakral, sejuk, dan mengesankan kedamaian, berubah kesannya menjadi profan, panas, ganas, dan bernuansa permusuhan (Benny Susetyo, Kompas, 16/11/2001). Itu baru lambang-lambang. Soal lain, seperti sikap, tingkah laku nyata dan juga relasi antar agama maupun budaya –tidak terkatakan- juga telah berkembang menjadi katalisator permusuhan.
Hampir dapat dipastikan, negeri yang terdiri dari ribuan kebudayaan dan ratusan bahasa ini adalah negeri yang ‘belum selesai’ berproses menjadi sebuah bangsa. Sebuah bangsa yang di dalamnya hidup berbagai kebudayaan, etnisitas, suku, bahasa dan agama. Realitas keragaman ini menjadi karakteristik bagi negeri ini untuk mengukuhkan identitas kulturalnya sebagai negara bangsa. Sebagai bangsa yang menjadi ‘ruang’ bagi hidup dan berkembangnya kebersamaan dalam keragaman. Inilah kesadaran multicultural. Kesadaran yang tidak cukup hanya berbekal pada pengetahuan bahwa masyarakat kita memang masyarakat multikutural.. Kesadaran ini menuntut pemahaman mendasar bahwa multiculturalisme adalah keniscayaan keindahan peradaban. Kesadaran ini tidak serta merta dilahirkan, melainkan seharus diciptakan melalui berbagai dialog dalam keterbukaan. Faktor pendidikan tampaknya menjadi salah satu alat potensial bagi upaya memberikan kesadaran multikultural bagi masyarakat.
Mengelola Multikultural: Dari Konfrontasi ke Dialog
 Fenomena konfliktual yang melanda negeri ini, dalam banyak hal sering mengedepankan berbagai bentuk perbedaan budaya dan agama (baca: SARA) sebagai salah satu penyebabnya. Konflik yang berdimensikan SARA tersebut, sejak beberapa tahun belakangan telah cukup mengubah citra negeri ini secara mendasar. Kebanggaan atas citra sebagai negeri yang sanggup mengelola berbagai perbedaan; dari soal budaya sampai agama, menjadi faktor utama integrasi bangsa, kini mulai mengalami pergeseran. Semangat bertanah air satu tanah Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia dan berbahasa satu, bahasa Indonesia, yang sejak tahun 1928 dipancangkan sebagai simcol nasionalisme, satu persatu dipertanyakan keampuhannya.
Dalam konteks kehidupan kebangsaan, konflik atas nama SARA adalah representasi dari kegagalan kita untuk mengelola pluralitas menjadi kekuatan (uniting factor) integrasi bangsa. Apa yang terjadi di beberapa daerah konflik sesungguhnya mencerminkan betapa pluralitas tidak lagi sebagai uniting factor melainkan telah menjadi deviding factor (faktor pemisah). Padahal keragaman kebudayaan dan agama merupakan situasi khas dan unik, yang menambah mozaik kebangsaan ini menjadi lebih menarik untuk dinikmati.
Prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam ideologi negara merupakan bukti betapa bangsa ini sangat menghargai tumbuh kembangnya keragaman kebudayaan dan agama. Indonesia, melalui prinsip tersebut, adalah ruang yang kondusif untuk hidup berdampingan secara damai dan terjalinnya relasi yang saling menghargai satu sama lain berbagai bentuk pluralitas. Tapi, konflik-konflik bernuansakan SARA telah membuat ‘ruang’ tersebut menjadi tempat yang menakutkan, karena dipenuhi dengan berbagai ‘ancaman’ dan kebencian satu sama lain. Ia telah menjadi ‘ruang’ untuk slaing mencurigai, memusuhi dan membenci segala sesuatu yang berbeda dengan ‘kita’ (baca: identitas masing-masing).
Realitas ini jelas menakutkan dan mencemaskan kehidupan kebangsaan kita. Fenomena tersebut menjadi sebuah ancaman serius dalam penguatan identitas kebangsaan masa depan, karena basis utama dari konstruksi kebangsaan ini, justru dikembangkan dari adanya pluralitas. Menurut Th. Sumartana (dalam Th. Sumartana, dkk, 2001; 89), basis paling dasar dari kehidupan bangsa Indonesia terletak pada SARA. SARA adalah biji (seed) atau benih (embrio) yang melahirkan Indonesia. Di manapun kita mencari identitas asli bangsa ini, akan bertemu dengan kenyataan yang berupa kelompok suku, komunitas agama, kepelbagaian ras dan pluralisme dari golongan-golongan profeso, ideologi, kelas-kelas ekonomi, dan lain-lain, yang beranekaragam.
Pengelolaan atas keragaman budaya (multikultural) kemudian menjadi prasyarat bagi penguatan identitas kebangsaan secara lebih kondusif. Artinya, apakah identitas kebangsaan dapat dipertahankan atau tidak sangat tergantung atas pengelolaan keragaman yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Pengelolaan tersebut tidak hanya terletak pada kepentingan negara (state), melainkan juga harus menjadi tanggungjawab (kepentingan) masyarakat (society). Hal ini berkaitan dengan suatu kenyataan, betapa konflik-konflik yang berdasarkan latarbelakang keragaman, seringkali terjadi secara rigid dalam masyarakat yang majemuk, yang tidak memiliki kesadaran atas pluralitas tersebut. Ketidaksadaran tersebut menjadikan masyarakat (golongan) yang satu akan menganggap yang lain sebagai the other (‘yang lain’); sebagai ‘musuh’ yang harus dicurigai. Ketidasadaran atas keragaman ini memunculkan kebencian satu sama lain, yang berakibat pada instabilitas kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Selama ini bangsa ini terjebak pada simbolitas ‘nasionalisme’ dengan Bhineka Tunggal Ika-nya. Simbol ini tentunya berpijak pada realitas keberagaman kebudayaan yang kalau dibiarkan dan tidak dikelola menjadi kekuatan awal yang sanggup mencabik-cabik kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Bhineka Tunggal Ika (seharusnya) adalah semangat untuk hidup berdampingan secara damai dalam ‘ruang’ yang bernama Indonesia. Sayangnya, konsep ini kemudian menjadi alat efektif bagi kekuatan-kekuatan yang berkuasa untuk mematikan keragaman melalui semangat penyeragaman. Lahirnya kebudayaan nasional, lahirnya bahasa nasional dan bahkan lahirnya kepribadian nasional adalah salah satu ‘proyek’ yang selalu dihembuskan oleh kekuasaan. Dengan dalih mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan multikultural, maka negara mulai menciptakan homogenitas kebudayaan.
Homogenitas kebudayaan menjadi satu-satunya realitas kebudayaan kita. Kebudayaan yang heterogen sifatnya menjadi terpasung. Meskipun ia ada, tidak boleh mereduksi kebudayaan nasional yang ‘dibentuk’ oleh kekuasaan. Karena ‘dibentuk’ oleh kekuasaan, maka kebudayaan tidak lagi bermakna. Dalam terminologi ini Faruk (dalam Th. Sumartana, 2001: 14) mulai menyebut bahwa keanekaan Indonesia kemudian dikenali, diakui dan dikukuhkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan berlaku hingga saat ini. Sebagai realisasi dari rumusan abstrak pengenalan, pengakuan dan pengukuhan keanekaan itu, dibangun berbagai program pendokumentasian sebagaimana yang tampak dalam berbagai program pembangunan di masa Orde Baru. Di lingkungan perguruan tinggi, terutama studi antropologi, telah dihasilkan sebuah buku suntingan Koentjaraningrat yang berjudul Kebudayaan Indonesia. Buku ini berisi himpunan karangan dan penelitian mengenai aneka budaya Indonesia yang kemudian menjadi referensi (utama) tentang kebudayaan Indonesia.
Akhirnya, yang muncul adalah keanekaan kebudayaan Indonesia itu kemudian dibayangkan dari satu komunitas etnis sebagai yang mandiri, utuh dan karenanya –meminjam istilah Faruk- dianggap statis. Aneka kebudayaan itu tidak dipahami sebagai dan dilepaskan dari proses kehidupan, baik proses yang diakibatkan oleh dinamika internal komunitas itu sendiri, maupun persentuhannya dengan berbagai komunitas dan kebudayaan yang ada di luarnya. Seolah ketika berbicara tentang (bagian) kebudayaan Indonesia, misalnya kebudayaan Jawa, selalu dipahami sebagai sesuatu yang seakan telah sempurna dalam dirinya, mandiri, utuh dan statis (Faruk, 2001: 15).
Implikasi logisnya menurut Faruk (2001: 15) adalah ketika kebudayaan setiap komunitas itu dipahami sebagai sesuatu yang mandiri, utuh, murni, cutra yang terbangun pada akhirnya adalah sebuah pluralitas budaya yang terpisah satu sama lain. Cara pandang ini pada gilirannya akan membentuk sebuah pengakuan dan pengukuhan terhadap keterpisahan antar budaya. Konsep nasionalisme atau taruhlah kebudayaan nasional –jika menggunakan sudut pandang tersebut- hanya akan menjadi ‘proyek’ penyeragaman (monokultural) yang tidak menghargai keragaman (multikultural) yang senantiasa berdialog, ‘bersetubuh’ secara dinamis satu sama lainnya.
Memaknai kebudayaan sebagai sesuatu yang mandiri, utuh dan statis sesungguhnya mereduksi makna kebudayaan sebagai proses kemanusiaan. Artinya, sebagai proses kemanusiaan, kebudayaan dimanapun, kapanpun selalu mengalami perubahan da perkembangan secara kontinue. Bahkan bisa jadi ia menjadi sekedar ‘fosil’ pada saatnya. Itulah sebabnya, keinginan untuk menyatukan kebudayaan tanpa dibarengi dengan kesadaran multikultural sifatnya tidak permanen. Karena yang terjadi kemudian adalah (kita) hanya seolah menghimpun kebudayaan dalam satu simbol kebudayaan nasional. Proyek penyatuan yang sesungguhnya memisahkan.
Kesadaran multikultural seharusnya dibentuk melalui keterbukaan bersama. Bahwa keragaman adalah realitas sejarah peradaban. Terminologi ‘multi’ pada dasarnya memberikan aksentuasi keunikan dan keindahan peradaban. Dengan kata lain, seluruh aspek kehidupan manusia telah dipertimbangkan dan diperlukan untuk menjadi pernik dalam keindahan peradaban. Minimal menjadi bagian dari keunikan kebangsaan Indonesia. Dunia dibangun di atas spesialisasi dalam seluruh aspek yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Dunia –meminjam terminologi Ruslani (dalam Muhidin, 2001: 145) seperti sebuah hutan yang berisi beragam flora dan fauna yang saling melengkapi.
Mengelola multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa kita tampaknya harus disandarkan pada kesadaran logis yang didasari pertimbangan-pertimbangan ilmiah. Pendasaran itu penting, karena masyarakat kita perlu diberikan suatu pemahaman objektif tentang multikultural sebagai keniscayaan sejarah yang muncul secara alamiah. Kondisi-kondisi objektif tentang keragaman kebudayaan harus mulai dikenalkan. Bahwa ada kondisi objektif yang memang membedakan, tetapi semuanya tidak mempertengkan. Kebersamaan dibangun karena memang ada perbedaan. Bukankah perbedaan tidak boleh dimaknai sebagai pertentangan ? Inilah kesadaran multikultural yang dikembangkan melalui dialog bukan melalui konfrontasi. Inilah yang dimaknai sebagai keindahan peradaban sebagai sebuah bangsa.
Ikhwal Kesadaran Multikultural
 Keberhasilan pengelolaan tersebut sangat terkait dengan usaha-usaha serius untuk memunculkan (minimal) kesadaran atas realitas yang plural. Sehingga, diperlukan berbagai upaya secara komprehensif untuk menumbuh-kankembangkan perilaku berbangsa yang sadar atas keragaman (pluralitas) sebagai suatu keniscayaan sejarah. Pluralitas etnik, kultural, keagamaan, dan lain-lain di manapun di dunia ini adalah fakta yang tidak mungkin diingkari, karena pluralitas adalah hukum alam. Yang menjadi persoalan –sesungguhnya- bukan pluralitas itu sendiri, melainkan bagaimana sikap kita terhadap pluralitas itu. Apakah kita menghargai, menghormati, memelihara, dan mengembang pluralitas itu ? Apakah masing-masing kita toleran terhadap dan hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan orang lain atau kelompok lain yang berbeda etnik, kultur, agama dan sebagainya ?
 Upaya untuk mendukung keberhasilan pengelolaan atas keragaman tersebut belakangan ini (salah satunya) diendapkan dalam penyelenggaraan studi multikulturalisme baik dalam pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah serta dengan seminar, diskusi maupun lokakarya. Studi multikulturalisme berusaha mengembangkan suatu pemahaman mendasar dan holistik atas berbagai ragama etnik, budaya dan juga agama, sebagai kekuatan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang damai, tanpa konflik-konflik yang berarti.
 Pengenalan atas studi multikulturalisme menjadi penting diselenggarakan, di tengah ketidakmampuan kita menangkap realitas keberagaman masyarakat. Masyarakat tidak hanya diajarkan atau dikenalkan tentang adanya pluralitas di sekelilingnya, melainkan diarahkan dan dituntut mempunyai persepsi yang baik tentang realitas tersebut. Ikhtiar ini setidaknya perlu ditumbuhkan sejak dini, minimal dalam bidang pendidikan. Bidang pendidikan menjadi bidang yang paling kondusif menumbuhkan kesadaran multikultural tersebut. Objektivitas dan ilmiah yang menjadi dasar pengembangan akademik akan memberikan pendasaran logis betapa masyarakat hidup ditengah keragaman kebudayaan.
Teun A van Dijk dalam bukunya Ethnic Minorities and Media : Changing Cultural Boundaries mengatakan bahwa kesadaran multikultural harus diberikan kepada masyarakat Indonesia. Realitas masyarakat bangsa Indonesia yang diguncang oleh berbagai konflik berdarah yang dipicu oleh perbedaan etnik dan agama memberikan bukti bahwa keragaman multikultural belum dikelola secara baik. Rangkaian kerusuhan berdarah ini memperlihatkan ada persoalan besar antar etnik dan agama di dalam masyarakat Indonesia yang multikultural. Prinsip penghargaan akan multikultural yang berkembang dalam masyarakat Indonesia seolah-olah luluh lantak seiring dengan konflik-konflik rasial dan agama. Konflik tersebut seolah juga semakin memberikan gambaran bahwa konsep bhineka tunggal ika sesungguhnya adalah kesatuan kebudayaan yang memisahkan satu sama lain.
Dalam kehidupan negara bangsa ini, masyarakat juga seringkali dihadapkan pada realitas diskriminasi ras yang mencakup segala bentuk perilaku pembedaan berdasarkan ras. Diskriminasi ras ini terlihat jelas dalam pemisahan tempat tinggal ras tertentu yang terdapat didaerah perkotaan. Kenyataan ini mendorong timbulnya prasangka. Sebagai gejala psikologis yang ditandai dengan sikap penuh emosi yang tak disertai bukti-bukti terlebih dahulu berdasarkan pengalaman. Faktor yang mendorong munculnya prasangka dalam pergaulan antar ras adalah : sugesti, kepercayaan, keyakinan dan emulasi(persaingan, perlombaan). Seorang Antropolog, A.L.Kroeber mengemukakan ada 6 faktor penyebab prasangka ras dan aksi rasialisme,yaitu : faktor ekonomi, politis, sosio kultural, psikologis, religius, dan biologis. Munculnya prasangka ras bertalian dengan pendidikan orang tua di rumah maupun melalui buku-buku pelajaran di sekolah . Karena itu upaya mencegahnya harus dimulai di bidang pendidikan baik formal maupun informal (Sandra Kartika dan M.Mahendra, ed., 1999)
Sebagai contoh pernah dikemukakan Usman Pelly yang menulis tentang "Masalah Asimilasi Keturunan Cina :sebuah gugatan sosio kultural" , mengemukakan bahwa gugatan terhadap golongan WNI ketururab Tionghoa pada dasarnya adalah gugatan terhadap ketidakadilan politik budaya kolonial yang menempatkan golongan ini pada posisi yang menguntungkan (sebagai kelompok pedangan menengah) sedangkan penduduk asli ditempatkan sebagai pedangan kelas bawah. Keadaan seperti ini tetap bertahan hingga saat ini sehingga terjadi kepincangan struktural yang sesewaktu muncul sebagai isu politik sehingga menjadi faktor penghalang dalam proses asimilasi dalam multikultural.
 Fenomena konfliktual yang melanda masyarakat Indonesia disertai dengan ‘kebencian’ rasis misalnya dapat menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Bangunan identitas negara bangsa dapat porak poranda tatkala masyarakat kita memberikan citra yang tidak baik terhadap kondisi keunikan dan kekhasan negara Indonesia dengan keragaman kebudayaan, agama dan rasnya. Peradaban bangsa yang luhur, yang mengedepankan harmonisasi sosial, ketiadaan konflik, dsb, hanya akan menjadi –meminjam istilah Ben Anderson- sebagai Imagine Community atau komunitas bayang-bayang belaka. Negara bangsa Indonesia hanya menjadi mimpi; karena sesungguhnya negara bangsa adalah sebuah kemauan serius untuk hidup dalam satu negara, meski harus dengan varian identitas kulturalnya.
 Dalam konteks ini, benar apa yang dikatakan Th. Sumartana (2001: 89) bahwa di basis paling dasar dari kehidupan bangsa Indonesia etrletak SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan). SARA adalah biji (seed) atau benih (embrio) yang melahirkan Indonesia. Dimanapun kita mencari identitas asli bangsa ini, akan ketemu dengan kenyataan yang berupa kelompok suku, komunitas agama, kepelbagaian ras, dan pluralisme dari golongan-golongan profesi, ideologi, kelas-kelas sosial ekonomi dan lain-lain, yang berwarna-warni. Tidak ada yang salah dengan SARA. SARA seungguhnya mengisyarakat betapa masyarakat hidup tidak dalam homogenitas (kesamaan), melainkan heterogenitas (keanekaragaman). Kalau toh terjadi konflik atas SARA, maka kesalahan terletak pada kemampuan negara dan masyarakatnya mengelola SARA secara baik dan benar.

Studi Multikulturalis dalam Pendidikan (Tinggi) Kita
 Persoalannya adalah bagaimana negara ini harus mengelola SARA sebagai keunikan multikultural yang dimiliki ? Bukankah ? sejak negara ini didirikan, masyarakat sudah dididik untuk menghapalkan teks-teks Pancasila, melantunkan Indonesia Raya, dan terkadang juga meneriakkan Sumpah Pemuda ? Bukankah negara juga sudah sedemikian serius memperkenalkan realitas keragaman yang ada di negara Indonesia dengan berbagai program; seperti pertukaran pemuda antar daerah, menampilkan ragam kebudayaan daerah sebagai khasanah kebudayaan di media massa, dsb ?
 Memang bahwa ikhtiar negara untuk ‘mempersatukan’ keragaman tersebut dalam rangka kebudayaan nasional sudah sejak lama dikukuhkan. Masalahnya adalah bahwa ada kecenderungan citra mengenai aneka budaya yang terpisah satu sama lain dengan identitasnya masing-masing itu diatasi demi (cita-cita) nasionalisme pula dengan mendepankan konsep toleransi yang cenderung ‘dipaksakan’. Dalam konsep ini dibayangkan adanya persentuhan antara berbagai budaya yang dianggap ‘murni’ diatas. Akan tetapi –menurut Faruk (1999: 16) kontak itu dipahami sebagai hubungan yang tidak mempengaruhi kemurnian masing-masing kebudayaan. Konsep toleransi hanya mengisyaratkan pengakuan atas kehadiran kebudayaan lain, kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan setempat. Seolah dalam ruang negara bangsa ini kemudian steril dari kontak kebudayaan satu sama lain.
 Disadari bahwa konsep toleransi memang menjadi pilihan yang cukup baik dalam rangka pengakuan dan pembenaran atas keanekaragaman budaya di Indonesia. Sebuah pengakuan yang ditujukan pada terbangunnya suatu komunitas nasional yang heterogen, tetapi tidak menumbuhkan konflik dan pertentangan. Namun, menurut Faruk (1999), konsep yang demikian cenderung tidak realistis, tidak ditopang oleh proses alamiah dari setiap kontak budaya, dari setiap hubungan sosial baik dalam lingkup internal maupun eksternal suatu komunitas. Artinya, kontak kebudayaan pada dasarnya merupakan suatu kenyataan yang alami; terjadi dengan sendirinya; dengan kesadarannya. Dalam kontak itu akhirnya tidak hanya akan membuahkan toleransi, melainkan sekaligus pengakuan akan keberadaan sebuah kebudayaan yang ‘lain’, akan memuncukan kesadaran atas bangunan pluralitas yang ada, sekaligus akan membuahkan saling keterpengaruhan, saling memperkaya antar budaya. Pada tataran ini maka lahirlah gagasan mengenai multikulturalisme.
 Salah satu upaya serius dan minimal dalam rangka memberikan pemahaman –bukan sekedar pengenalan- mengenai multikulturalisme adalah bidang pendidikan. Pendidikan merupakan ruang dimana didalamnya terjadi proses pembelajaran untuk transfer of knowledge sekaligus juga trasfer of value. Dalam rangka yang demikian maka pendidikan menjadi institusi penting untuk memperkenalkan sekaligus memberikan kesadaran penting multikulturalisme dalam lingkup subjek didik.
 Studi multikulturalisme setidaknya akan menjadi titik tolak bagaimana subjek didik diberikan fakta-fakta keragaman kebudayaan. Apalagi terminologi tujuan pendidikan yang berkeinginan untuk memanusiakan manusia muda, maka pendidikan merupakan sarana efektif untuk tujuan pembentukan kesadaran atas multikultural. Tidak itu saja. Dalam proses pendidikan pun, utamanya di pendidikan tinggi, subjek didik pun merupakan realitas multikultural yang berhimpun dari berbagai identitas kultural. Karenanya menjadi wajar tatkala bangsa ini tidak sanggup mengelola pluralitas menjadi kekuatan yang konstruktif, maka pendidikan dianggap sebagai satuan yang gagal memberikan transfer of knowledge dan trasfer of value tentang realitas multikultural sebagai kenicayaan identitas kepada subjek didik. Banyak orang menduga, paradigma pragmatis dan materialis terlanjur melembaga sehingga ukuran keberhasilan pendidikan lebih bersifat progress (kemajuan) fisik semata; dengan mengabaikan ilmu-ilmu humaniora, termasuk studi multikultural di dalamnya.
 Disadari bahwa studi multikultural tidak pernah menjanjikan kepuasan materi. Jangan berharap banyak dengan studi multikultural di perguruan tinggi, kalau tujuan pendidikan lebih menguatkan aspek-aspek kebendaan. Studi multikultural –bolehlah- dianggap sebagai studi kemanusiaan; yang mencoba memberikan tawarana kepada subjek didik bahwa mereka hidup ditengah-tengah komunitas sosial yang manusiawi, yang seringkali juga tidak melulu diarahkan pada kepentingan bendani. Fakta luluh lantaknya kemanusiaan di berbagai negara maju dengan sains dan teknologinya adalah karena segala sesuatu diukur dari progress (kemajuan) bendai semata.
 Proses pendidikan seharusnyalah memberikan suatu kesadaran betapa multikulturalisme adalah fakta yang tidak mungkin diingkari. Multikulturalisme seperti hukum alam. Mengingkari multikulturalisme adalah mengingkari hukum alam itu sendiri. Janganlah subjek didik dibayangkan bahwa tempat hidup kita hanya diisi dengan kesamaan-kesamaan kebudayaan, homegenitas perilaku hidup dan agama. Ditengah berkecamuknya isu-isu fundamentalisme agama, primordialisme kesukuan, dsb, bukankah melibatkan studi multikultural dalam pendidikan (tinggi) kita sebagai satuan ajaran bukan merupakan sebuah kesalahan.
 Keinginan sebagian masyarakat kita untuk mencita-citakan kesatuan etnik, kesamaan agama, dsb, pada akhirnya menjadi impian distopis (bukan lagi utopis) . Keinginan itu mengingkari fakta bahwa ruang dimana kita hidup tidak hanya berisi sebuah SUKU, RAS dan BAHASA, dsb, melainkan ada banyak SARA di dalamnya yang harus dihargai sebagai keniscayaan dalam kemanusiaan kita. Etnik dan ras seseorang bukan ditentukan oleh pilihannya, tetapi ditentukan oleh keturunanya. Meminjam pertanyaan Kautsar Aszhari Noer (dalam Th. Sumartana, ed. 2001: 25) apakah adil, atau bermoral jika kita membenci seseorang karena etniknya yang bukan pilihannya itu, berbeda dengan kita ? Salah satu pedoman untuk memperlakukan, bertingkah laku, atau bersikap terhadap orang lain atau kelompok lain karena orang itu atau kelompok itu berbeda etnik, kultur, dan agama ? Perlakuan yang baik bagi diri kita adalah baik bagi orang lain, demikian juga sebaliknya.
 Itulah sebabnya, diperlukan desain yang tepat untuk merumuskan model pembelajaran multikulturalisme dalam pendidikan tinggi kita. Kesalahan pengelolaan dan pengenalan mutlikultural tidak hanya berdampak negatif, melainkan semakin mengukuhkan fenomena konfliktual dengan cara-cara yang ilmiah. Kenapa bisa demikian ? Sebab dalam multikultural (agama misalnya), tanpa perangkat nilai dan aturan yang jelas yang menemaninya akan menciptakan ketegangan-ketegangan. Kenyataan seperti ini tidak dapat dielakkan begitu saja, karena antara lain sifaf dua muka yang melekat dalam keragaman kebudayaan sekaligus juga keragaman agama. Menurut Jose Cassanova (1994; 4) misalnya, pada satu sisi agama (sebagai salah satu contoh) mempunyai nilai-nilai yang bersifat inklusif, universal dan transcending. Akan tetapi, di sisi yang lain, agama mengandung hal-hal yang bersifat ekslusif, partikular dan primordial. Ketidaktepatan, kesemena-menaan dalam memperlakukan ‘dua muka’ agama ini dapat menghasilkan yang tidak diinginkan. Dalam banyak hal, antagonisme antar komunitas agama di Indonesia muncul karena masalah ketidaktepatan atau kesemena-menaan itu.
 Fakta yang demikian, dapat juga terjadi pada satuan lain dalam multikulturalisme di Indonesia. Ketidaktepatan pengetahuan dan pengenalan tentang multikultural hanya berakibat pada fragmentasi masif antar kebudayaan untuk tetap saling terpisahkan satu sama lain. Problem konflik berdarah-darah di Sambas; antara suku Madura dengan suku Dayak adalah cerminan ketidaksadaran pengenalan identitas kultural masing-masing kepada generasi. Pengenalan yang salah tersebut akhirnya memunculkan arogansi kultural dan ekslusivisme untuk memandang rendah kebudayaan lain. Apalagi dalam konstruksi nalar kesadaran kita, juga terlanjur melembaga suatu pemahaman tentang kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah, kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional, sehingga memunculkan persepsi bahwa ada mainstream kebudayaan dalam konsep negara bangsa kita. Sebuah mainstream kebudayaan yang cenderung beranggapan negatif atas identitas kebudayaan di luar komunitas mereka; yang dianggapnya sebagai kebudayaan komunitas terpencil, kebudayaan komunitas marjinal dan apapun namanya.
 Memang bahwa untuk mengatur arus lalu lintas kehidupan kebangsaan yang multikultural diperlukan perangkat undang-undang yang menjadi rambu-rambunya. Akan tetapi, hal itu hendaknya dilihat sebagai prasyarat minimal untuk menuju ke arah yang lebih bersifat penyadaran dan permanen terhadap kesadaran masyarakat tentang kondisi multikulturalisme tersebut. Ini berarti, kita berbicara tentang conscienceness (kesadaran). Sesuatu yang menurut Bactiar Effendi (2001: 272) lebih sulit diciptakan, daripada sekedar merumuskan serangkaian legal drafing. Di situ yang dituju adalah kesadaran manusia bahwa ia tidak sendirian, melainkan hidup di tengah kerumuman orang dengan latar belakang sosial budaya dan keagamaan yang berbeda. Fakta yang tidak dapat dielakkan ini hanya akan bisa berperan sebagai sesuatu yang positif jika dikelola dengan baik, meskipun tidak harus menghilangkan subjektivitas masing-masing pihak.
 Untuk kepentingan tersebut, bidang pendidikan dianggap sebagai infrastruktur yang memungkinkan proses pembentukan conscienceness yang diinginkan. Minimal, pendidikan (utamanya pendidikan tinggi) mulai berpikir juga tentang bangunan conscienceness dari subjek didik perihal kebudayaan di sekitarnya. Artinya, mengedepankan kemajuan sains dan teknologi sebagai ukuran kemajuan, tidak lah kemudian meminggirkan peran penting studi multikultural sebagai sumber daya sosial.
Peradaban kebangsaan Indonesia ke depan tidaklah hanya bertumpukan pada kemampuan sumberdaya manusia di bidang teknologi, melainkan juga sumberdaya sosial yang mengukuhkan identitas negara bangsa. Pendidikan tinggi haruslah mulai berpikir ulang tentang kondisi negara-negara yang selama ini dicitrakan sebagai negara modern dan maju dalam bidang materi, tetapi mengalami kegagalan dalam memanusiakan manusia. Pendidikan tinggi kita harus mulai mengajarkan kepada generasi muda untuk menjadikan negara lain sebagai studi kasus, bukan satu-satunya referensi, agar negara ini tidak meniru kesalahan yang sama. Dimana kita menjadi tidak berdaya dalam ilmu dan pengetahuan, masih diperparah dengan lulut lantaknya kesadaran kemanusiaan bangsa ini.
Studi multikulturalisme dalam pendidikan tinggi harus diintegrasikan ke dalam satuan pembelajaran Keahlian Dasar. Hal ini bertujuan agar subjek didik tidak hanya diarahkan pada kemampuan-kemampaun teknis semata, melainkan menghidupkan conscienceness untuk dapat menghargai keragaman kebudayaan. Problem pendidikan tinggi kita sekarang adalah bagaimana melahirkan keluaran pendidikan yang integrated; yang cerdas tapi bermoral. Yang pinter tapi berkesadaran sosial juga. Bukannya dengan Indeks Prestasi tinggi, kemampuan bahasa asing luar biasa, tetapi miskin kepekaan sosial, yang naluri sosialnya tidak bekerja.
Kepercayaan pada pendidikan; sesungguhnya lebih bersifat normatif. Bahwa pertama-tama karena pendidikan seringkali dipandang sebagai instrumen perubahan, khususnya yang berkaitan dengan nilai dan sikap mental. Pendidikan menurut Bachtiar Effendy (2001: 273) masih dinilai sebagai infrastruktur paling memungkinkan untuk proses transformasi nilai. Pengalaman sejarah pengelolaan pendidikan kita sesungguhnya sudah memberikan arah penciptaan kesadaran multikultural yang positif; tapi seringkali proses itu digagalkan oleh realitas yang terjadi di luar pendidikan. Yaitu, sejauh mana negara mampu berperan sebagai buffer zone untuk menciptakan kenyamanan untuk hidup berdampingan di tengah keragaman di satu pihak, dan prinsip penghindaran konflik kebudayaan di pihak lain.
Namun, belakangan ini masyarakat meratapi betapa bangunan kesadaran multikulturalisme kita sedemikian rapuh untuk menjadi dasar-dasar keharmonisan kehidupan kebangsaan. Multikulturalisme sebagai sumberdaya sosial bagi kehidupan kebangsaan yang harmonis mulai dipertanyakan seiring dengan carut marutnya kondisi kebangsaan kita. Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa keterkaitan antara pendidikan dengan penghargaan atas kesadaran multikultural tidak sekuat antara pendidikan dengan transformasi sosial masyarakat dalam bidang hightech ?
Menurut Dawam Rahardjo (1997) dan Bachtiar Effendy (2001) jawaban pintas dari pertanyaan di atas adalah kenyataan bahwa pendidikan telah direduksi menjadi sekedar pengajaran. Di sini yang lebih menonjol adalah hal-hal yang bersifat kognitif, penguasaan terhadap subjek akademik, dan bukan pengembangan watak subjek didik tentang bagaimana bersikap terhadap realitas lingkungan yang secara kultural bersifat pluralistik. Alih-alih memberikan kesadaran multikultural, yang terjadi adalah pendidikan menjadi salah satu alat yang dapat mempertajam konfliktual dalam masyarakat, ironisnya dengan menggunakan asumsi-asumsi akademik dan ilmiah.
Itulah sebabnya, diperlukan redesain kurikulum pendidikan; utamanya yang menyangkut persoalan pembentukan watak dan mental subjek didik. Subjek didik tidak hanya di’jejal’kan teoritisasi atau sekedar tahu tentang keragaman kebudayaan, melainkan bagaimana subjek didik menemukan sesuatu dalam proses pembelajaran tersebut. Sebagai contoh, kalau sekedar bisa mesin, subjek didik tidak perlu belajar susah-susah di Teknik Mesin, cukup dengan magang di bengkel. Atau kalau sekedar dapat berbahasa Inggris yang baik, subjek didik tidak perlu kuliah di Jurusan Sastra Inggris, cukup kursus-kursus di Lembaga Kursus. Atau kalau hanya ingin jadi politisi, subjek didik juga tidak perlu mengeluarkan biaya kuliah di jurusan Ilmu Politik, karena buktinya banyak politisi kita bukan lulusan ilmu Politik, atau kalau sekedar bisa baca tulis Al Qur’an atau syarat dan rukunnya sholat, tidak perlu juga peserta didik kuliah pelajaran agama Islam, karena di pesantren-pesantren lebih rinci mengajarkannya. Persoalananya adalah subjek didik dididik bukan sekedar tahu, tapi bagaimana ia dapat menemukan sesuatu dalam proses pembelajaran tersebut ? Karenanya, bagaimana mengintegrasikan realitas sosial tentang multikulturalisme bangsa ini ke dalam pendidikan menjadi sebuah keharusan, agar subjek didik hanya mampu bicara tentang teori multikultural tapi tidak mampu menerjemahkannya ke dalam realitas sosial.
Menuju Pendidikan yang Berkesadaran Multikulturalisme: Fakta tentang Relasi Pendidikan dan Realitas Sosial
Hampir selama beberapa generasi, proses pendidikan yang kita jalankan ternyata tidak lebih dari sekedar pengalihan-pengalihan informasi dari guru kepada siswa secara sepihak. Anak didik dibebani dengan berbagai arus informasi yang bersifat vertikal; tanpa diberikan keleluasaan untuk berkreasi dan melepaskan segenap kemampuan berpikirnya secara mandiri. Proses pendidikan yang terjadi dalam sekolah-sekolah kita –disadari- tidak lagi mencerminkan upaya membebaskan anak didik dari ketidakberdayaan, melainkan justru menjadi alat yang membelenggu kreativitas dan kebebasan.
Sekolah-sekolah kita, selama ini hanya menerjemahkan pendidikan sebagai sekedar transfer of knowledge yang dimiliki guru kepada siswa. Model pendidikan yang demikian hanya membebani siswa dengan hapalan-hapalan teori maupun rumus-rumus, sekedar untuk bisa menjawab soal-soal ujian, tapi seringkali tidak sanggup untuk menerjemahkannya ke dalam realitas sosial. Pendidikan menjadi tercerabut dari problem riil yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan. Pendidikan kita selama ini menurut Chaedar Alwasih (1993; 23) hanya berfungsi untuk ‘membunuh’ kreativitas siswa, karena lebih mengedepankan aspek verbalisme. Verbalisme merupakan suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual.
Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire (1970; 119) dikritik sebagai banking education, yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis, karena hanya diarahkan untuk domestifikasi, penjinakan, penyesuaian sosial dengan keadaan penindasan. Model pendidikan yang demikian sangat menonjol dan lazim dilakukan selama ini oleh negara-negara dunia ketiga. Hubungan antara guru dengan murid sangat hierarkis dan bersifat vertikal; bahwa guru bicara, menjelaskan dan memberi contoh, sementara siswa jadi pendengar saja.
Melalui model ini menurut Chaedar Alwasih (1993; 26) mungkin siswa hapal berbagai kosa kata, seperti kamus, jurnal, tabloid, ensiklopedi, tapi tidak pernah melihatnya di perpustakaan. Mampu mengkonversi derajat Celcius menjadi Fahrenheuit, tapi belum pernah melihat apalagi mempergunakan termometer. Hapal rumus senyawa kimia, tapi tidak pernah berpraktek di laboratorium. Hapal ciri-ciri cerpen dan novel yang baik, sementara mereka jarang membaca apalagi membuat cerpen, dsb. Dalam contoh-contoh diatas siswa dililit kesenjangan antara teori dan kenyataan. Akibat verbalisme atau banking education ini, teori bukannya membumi, malah tercerabut dari pengalaman keseharian. Pendidikan seolah menjadi tidak harus bersentuhan dengan persoalan realitas sosial. Alih-alih menjawab problem mendasar yang tengah dihadapi oleh siswa atau lingkungannya, malahan menjadi masalah baru karena praktek pendidikan di-steril-kan dari keberpihakannya pada problem masyarakat.
Selama ini yang terjadi adalah betapa proses pendidikan selalu tidak sejalan dengan kenyataan yang dihadapi oleh siswa maupun anak didik, minimal ditingkat lokal. Padahal proses pendidikan sesunguhnya dijalankan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumberdaya manusia yang (minimal) sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya. Dalam artian, setiap proses pendidikan seharusnya mengandung berbagai bentuk pelajaran dengan muatan lokal yang signifikan dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga out put pendidikan adalah manusia yang sanggup untuk memetakan sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Bagaimana mungkin dapat diperoleh keluaran pendidikan yang mengerti kebutuhan daerah (lokal) manakala proses belajarnya tidak pernah bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan yang memang mengakar dalam masyarakat.
 Berbagai ilustrasi dimunculkan, betapa proses pendidikan yang dijalankan seringkali tercerabut dari akar persoalan riil, tapi ilustrasi tersebut hanya menjadi bahan pembicaraan yang tidak bergaung. Fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia ada di pedesaan yang notabene adalah masyarakat agraris, tetapi dalam praktek pendidikannya hampir tidak berorientasi pada problem masyarakat, khususnya masyarakat desa. Praktek pendidikan yang demikian disinyalir membuat orang sekolahan menjadi asing dan tidak mengenal persoalan yang sedang terjadi di sekitarnya. Tidak jarang banyak produk produk pendidikan tersebut seringkali malah melecehkan kehidupan dan pekerjaan masyarakat sekitar misalnya sebagai petani. Hal ini karena anak didik lebih banyak di’intervensi’ oleh praktek pendidikan model perkotaan dengan tipikal masyarakat industrialnya sehingga muncul ketidakpercayaan diri anak didik atas profesi sebagai petani dan memilih gaya hidup sebagai priyayi dengan fenomena rebuatan keluaran pendidikan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau minimal bekerja di perkantoran.
 Ada sebuah ilustrasi menarik untuk mencoba menggambarkan seringnya praktek pendidikan yang tidak berkorelasi dengan kebutuhan mendasar. Di beberapa daerah pedalaman dan masyarakat terisolir, yang merupakan daerah pedesaan dan perkampungan hutan serta masyarakat nelayan; ditemui suatu kenyataan betapa anak-anak yang seharusnya berada pada jam sekolah tetapi justru melakukan kegiatan atau aktivitas kerja, semisal bertani, mencari rumput, menggembala, berladang di hutan serta mencari ikan dan sebagainya.
 Secara spontan kita akan menuduh bahwa budaya masyarakat di tempat tersebut kurang mendukung pembangunan pendidikan dengan adanya kebiasaan orang tua untuk mengajak anak-anak mereka masuk hutan, bertani atau berlayar mencari ikan. Pernyataan tersebut nampaknya mau menunjuk bahwa kebiasaan orang tua mengajak mereka untuk masuk ke hutan berladang dan menangkap ikan adalah antithesis tersendiri dari dunia pendidikan yang seharusnya diikuti oleh anak-anak. Antithesis dunia pendidikan bisa diperluas cakupannya menyangkut kebiasaan orang tua nelayan yang mengajak anaknya melaut, kebiasaan orang tua perkotaan yang mengharuskan anaknya bekerja di sektor informal.
 Ketika anak-anak lain sedang menekuni pelajaran di bangku sekolah dengan paket kurikulum yang telah digariskan, anak-anak pedalaman, (anak nelayan dan juga anak-anak petani) justru mengikuti orang tuanya berladang menembus hutan belajar tentang dunia hutan sekitar mereka. Mereka belajar tentang kesuburan tanah, bibit tanaman, tanda-tanda alam, pergantian musim, berpindah lahan demi pemulihan kesuburan dan daur alam. Atau anak-anak nelayan yang seperahu dengan bapaknya belajar tentang angin, ombak, kehidupan laut dan sebagainya. Kita jangan bertanya; mengapa mereka tidak bersekolah ? Ini soal biaya atau kesempatan ? Karena sesungguhnya mereka belajar tentang keseharian dengan lingkungan yang terdekat; persoalan riil yang mesti dihadapinya, bukan persoalan global yang seringkali jauh dari pikirannya.
 Ilustrasi diatas sekedar memberikan sebuah gambaran bahwa banyak sekali praktek pendidikan yang diterapkan justru mencerabut anak didik dari akar budayanya, mencerabut juga dari persoalan-persoalan yang semestinya ia pelajari untuk kemudian bersama dicarikan titik solusinya melalui proses yang bernama pendidikan. Kegagalan membentuk hasil pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan lokal sesungguhnya seringkali menghambat keberhasilan agenda pembangunan daerah yang sudah dicanangkan. Hal ini karena, sekali lagi proses pendidikan yang tidak bersentuhan langsung dengan persoalan kehidupan yang dihadapi oleh anak didik dan masyrakat sekitar.
 Tidak berlebihan seorang Antropolog Norwegia, Oyvind Sandbukt yang mengadakan penelitian di kalangan suku Kubu di Jambi yang mengungkapkan tentang pendidikan anak pada orang Kubu; tentang sosialisasi, transmisi pengetahuan tentang kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ditunjukkan olehnya bahwa suku yang dinilai primitif atau terasing memiliki pengetahuan yang mengagumkan tentang lingkungan hidupnya di hutan tropis. Pengetahuan yang sudah menjadi satu paket untuk siap hidup di hutan belantara, tentunya diperoleh melalui proses belajar yang panjang dan dikukuhkan dalam “kurikulum” yang tidak tertulis, atau dalam satu sistem pendidikan yang berpijak di bumi sendiri. Maka ketika sebagian orang Kubu ini ‘dimukimkan kembali’ seperti masyarakat lainnya, dan anak-anak mereka ditawari sistem pendidikan modern pada umumnya, tiba-tiba terasa mereka tercerabut dari akar kehidupannya yang paling dalam. Anak-anak pedesaan, pedalaman, nelayan, sebagian di kota, adalah anak-anak pinggiran yang luput dari perhatian kurikulum. Mereka terbiasa belajar sambil bekerja (St. Kartono, Bernas, 22/10/1996).
 Illustrasi ini sebenarnya menjadi landasan pijak bagi dunia pendidikan untuk kembali merenungkan beberapa aspek yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Apalagi dalam konteks dimana saat ini tengah diberlakukannya paket otonomi daerah; tentang pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah yang tentu saja didalamnya ada bidang pendidikan, maka praktek pendidikan harus dibuat sedemikian rupa agar berkorelasi dengan kebutuhan mendasar masyarakat, yang pada akhirnya pola kebijakan pendidikan selaras dengan pemenuhan keberhasilan program otonomi daerah. Dalam konteks ini adalah pola pengambilan keputusan mengenai proses pendidikan yang berintikan pada kepentingan lokal, tanpa mengesampingkan kepentingan lain yang melingkupinya yaitu kepentingan nasional.
Dengan demikian mengintegrasikan realitas sosial kedalam praktek pendidikan merupakan suatu keharusan sejarah. Hal ini agar keluaran pendidikan tidak sedekar hapal dan tahu banyak tentang informasi pengetahuan, melainkan sanggup memberikan nilai praksis atas informasi yang diperolehnya. Tidak berlebihan bila Freire (1972; 81) mengatakan bahwa mengajar bukannya sekedar memindahkan pengetahuan dengan hapalan. Mengajar tidak bisa direduksi menjadi mengajar siswa saja, tetapi mengajar baru menjadi berfungsi bila siswa belajar untuk belajat (learn to learn). Artinya, siswa sanggup untuk belajar alasan (why) dari objek dan isi yang dipelajari. Siswa belajar untuk kreatif dan mandiri. Minimal, sanggup menerjemahkan dan menjelaskan problem-problem riil yang sedang dihadapi oleh dirinya maupun masyarakat disekitarnya.
Mengintegrasikan realitas sosial ke dalam praktek pendidikan inilah yang kemudian oleh Freire (1972; 108) disebut sebagai problem possing education (pendidikan hadap masalah). Siswa tidak hanya diberikan contoh-contoh, teori-teori sekaligus rumus-rumus, tetapi juga disertai dengan laku-laku pemahaman (act of cognition). Menterjemahkan muatan dan isi pelajaran ke dalam realitas sosial –barangkali- menjadi entry point dari pendidikan hadap masalah.
 Menurut Paulo Freire (1976: 64) melalui pendidikan yang demikian diharapkan melahirkan keluaran pendidikan yang kreatif, imajinatif dan memiliki kesadaran untuk melakukan transformasi sosial. Pendidikan hadap masalah mengharuskan guru dan murid terlibat secara aktif untuk berinteraksi dengan realitas sosial. Artinya, informasi-informasi tentang pengetahuan dan teknologi harus diletakkan dalam rangka menjawab masalah-masalah yang (mungkin) muncul dalam masyarakat, sekaligus juga berfungsi untuk memberikan kesadaran kritis anak didik sebagai subjek atau sebagai manusia yang sadar atas masalah.
Manusia (baca: anak didik) tidak terlahir sebagai objek atau penderita. Fitrah kemanusiaan seharusnyalah menjadikannya ia sebagai subjek yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang bermasalah. Manusia sebagai subjek harus memiliki sikap kritis dan penuh dengan daya cipta, karena dunia dan realitas bukan ‘sesuatu yang ada dengan sendirinya’ sehingga harus diterima menurut apa adanya. Itulah sebabnya, manusia harus memiliki orientasi dan kesadaran (consciousness) untuk mampu memahami dunia dan realitas yang melingkupinya. Sebagai subjek, manusia harus mampu membaca secara kritis, realitas diri dan dunia yang memunculkan keadaan dehumanisasi. Kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan –dengan demikian- secara implisit harus dimaknai sebagai situasi yang diciptakan oleh oleh struktur dan kebudayaan, bukan suatu keadaan yang dilahirkan dengan sendirinya sebagaimana dianut oleh aliran pendidikan konservatif.
Pendidikan dimanapun tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial dimana pendidikan diselenggarakan. (Mansour Fakih, 2002: 115). Karenanya menjadi relevan bila dikatakan bahwa mengeluarkan masyarakat dari sistem atau struktur yang bermasalah menjadi tidak bermakna apa-apa ketika pendidikan tidak berupaya untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang bagaimana sistem dan struktur sosial itu memunculkan masalah.
 Problem possing education adalah upaya untuk meletakkan pendidikan pada kerangka dasar untuk melibatkan anak didik dalam problematisasi yang dihadapi terus-menerus akan situasi eksistensial mereka. Langkah pertama yang mungkin bisa dijalankan adalah mengintegrasikan problem-problem eksistensial kemanusiaan sekaligus kemasyarakatan kedalam pendidikan. Pelajaran ‘membaca’ misalnya, tidak hanya diarahkan pada pengenalan atas huruf-huruf, melainkan juga pengenalan atas dunia yang dilanda masalah. Membaca berarti tidak hanya mengenal ‘kata-kata’, melainkan juga dunia. Pemberian contoh (klasik) tentang teori atau rumus-rumus dalam sebuah pelajaran misalnya, seharusnya diimbangi juga dengan bukti-bukti empirik, sekaligus bagaimana teori atau rumus itu dapat bekerja.
 Pendidikan –dengan demikian- berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition), bukannya sekadar pengalihan-pengalihan informasi. Ia merupakan sebuah situasi belajar di mana objek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik akhir dari laku pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman –guru di satu sisi dan murid di sisi lainnya. Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan hadap masalah ini pertama sekali menuntut adanya pemecahan terhadap masalah kontradiksi antara guru dan murid. Hubungan dialogis antara guru dan murid dibangun secara horisontal sebagai subjek yang sama, bersama mengamati objek yang sama.
Penerapan pendidikan hadap masalah berimplikasi pada pergeseran konsep mengajar yang tidak hanya dipahami sebagai pemindahan pengetahuan dengan hapalan (verbalisme), melainkan mendorong siswa belajar untuk belajar (learn to learn). Mengajar –dengan demikian- adalah tindakan kreatif dan kritis, bukan hanya mekanis belaka. Hal ini karena, keberhasilan siswa belajar untuk belajar semakin mendorong terciptanya keluaran pendidikan yang selalu terus belajar dan mengembangkan diri secara mandiri sehingga mampu melakukan upaya transformasi sosial secara kritis dan cerdas.
Pendidikan hadap masalah dapat membuka wawasan dan cakrawala peserta didik (dan juga guru) supaya dengan kesadaran yang lebih mendalam mereka bisa mengerti masalah-masalah nyata dalam dunia mereka sendiri (Bernharadeney-Risakotta, dalam Basis, 2002: 15). Asumsinya sederhana bahwa transformasi sosial hanya dapat dijalankan ketika peserta didik (dan juga guru) diintegrasikan ke dalam problem-problem nyata yang dihadapinya serta bagaimana menemukan jalan keluar atas problem tersebut. Artinya, tujuan pendidikan seharusnya bukan menyetor ilmu pengetahuan (apalagi mendapat gelar tertentu), tetapi lebih substansial lagi untuk memecahkan masalah-masalah nyata. Oleh karena itu pendidikan hadap masalah tidak hanya memulai dengan asumsi tentang kemampuan murid-murid, tetapi juga dengan kesadaran bahwa mereka dalam dunia yang bermasalah.
Dengan cara yang dialogis, pendidikan hadap masalah memulai dengan pengalaman dan pengetahuan siswa sendiri. Guru dan murid bersama mempersoalkan hal-hal yang menjadi problema nyata dalam kehidupan masyarakat. Metode ini akhirnya menuntut guru dan murid saling menentukan isi kurikulum, mengolah dan saling belajar. Dalam proses ini demokrasi dalam pengajaran yang selama ini kita perdebatkan akan terjadi. Demokrasi pengajaran akan mempengaruhi demokrasi pendidikan dan sekolah. Diharapkan, demokrasi sekolah ini akan membantu masyarakat lebih demokratis pula. Jadi sekolah bukan hanya dipengaruhi masyarakat, tetapi sekolah dapat ikut mengubah masyarakat ke arah yang lebih demokratis.
Dalam konteks ini, maka realitas multikulturalisme yang ada dalam masyarakat harus dapat dijadikan studi kasus bagaimana seharusnya studi multikulturalisme di ajarkan di perguruan tinggi kita. Keragaman kebudayaan tidak hanya fakta, tapi dia menjadi data yang dapat dijadikan titik tolak mensinergikan teoritisasi ke dalam ranah publik; atau bagaimana teori memilikim kekuatan praksis. Tanpa konstruksi yang demikian maka keinginan melahirkan subjek didik sebagai generasi yang berkesadaran multikultural tidak akan dapat terwujud. Persoalannya; bagaimana dengan kondisi pendidikan tinggi kita yang belakangan ini justru semakin lama berkeinginan untuk meminggirkan studi-studi tentang humaniora, termasuk studi multikulturalisme, karena dianggap tidak memiliki keuntungan pragmatis di dalamnya ? Jawabannya; tinggal kemauan baik (good will) dari negara atau penentu kebijakan untuk tetap memberikan porsi cukup bagi mata ajaran ini ke dalam satu kurikulum pendidikan tinggi.

Daftar Pustaka
Anderson, Benedict, 2001, Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang, terjemahan Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Insist Press.

Cassanova, Jose, 1994, Public Religions in the Modern Worl, Chicago and London: The University of Chicago Press.

Effendy, Bachtiar, “Menumbuhkan Sikap Menghargai Pluralisme Keagamaan: Dapatkah Sektor Pendidikan Diharapkan”., dalam Th. Sumartana (ed). 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.

Faruk, “Menyingkap dan Membangun Multikulturalisme’ dalam Th. Sumartana (ed). 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.

Freire, Paulo, 1970, Cultural Action for Freedom, Harvard Educational Review and Center for Study of Development and Social Change, Macsachusetts
__________, 1979, Education for Critical Consiousness, Sheed and Ward, London
__________, 1984, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, Terjemahan, A.A. Nugroho, Gramedia, Jakarta

__________, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya, LP3ES, Jakarta

__________, 1999, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis, Alih bahasa, Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

__________, 2002, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Terjemahan, Agung Prihantoro dan Agung Arif Fudiyartanto, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Geertz, Hildred, “Indonesian Cultures and Comminties” dalam Ruth Mc. Vey (ed.), 1963, Indonesia, Southeast Asia Studies, Yale University, New Haven.

Hikam, Muhammad AS., 1996, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES.

Noer, Kautsar Azhari, “Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia: Menggugat Ketidakberdayaan Sistem pendidikan Agama”, dalam Th. Sumartana (ed). 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.

Panggabean, Samsu Rizal, “Sumberdaya Keagamaan dan Kemungkinan Pluralisme, dalam Th. Sumartana (ed). 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.

Rahardjo, Dawam (ed.), 1997, Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Kualitas Sumberdaya Manusia Abad 21, Jakarta: Internusa.

Sumartana, Th. (ed). 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Interfidei, Yogyakarta.

Suseno, Frans Magnis, “Pluralisme Agama, Dialog dan Konflik di Indonesia” dalam Th. Sumartana (ed). 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar