Search This Blog

Kamis, 16 April 2009

Penguatan Identitas ke-Indonesia-an:

Penguatan Identitas ke-Indonesia-an:
Mendayung di Antara Lokalisme dan Globalisme
Oleh: Listiyono Santoso

Bermula dari Optimisme Perubahan
Awalnya, ketika umat manusia begitu tercengang dengan keberhasilan revolusi industri di Inggris abad ke-18 yang menimbulkan gelombang optimisme lahirnya dunia baru bagi umat manusia. Optimisme akan kemajuan umat manusia berdasarkan keberhasilan teknologi industri. Optimisme ini diberangkatkan dari paradigma positivisme (sosial) bahwa masyarakat adalah suatu ORDE ; suatu susunan yang tetap dan
tertib yang perkembangannya mengarah pada suatu bentuk kemajuan. Sejak itu umat manusia berlomba-lomba mendesain ulang sejarah perkembangan kemanusiaan berbasiskan teknologi industri. Melalui teknologi industri, sejarah umat manusia dirubah dan digerakkan. Lahirlah konstruksi peradaban baru; yakni peradaban modern yang menjadi cikal bakal peradaban Eropa (baca: Barat).
Kemajuan (dan keberhasilan) Eropa dengan megaproyek industrialisasinya kian menemukan bentuknya dengan bersembunyinya kepentingan kapitalisme di dalamnya. Melalui (modernisasi) dan industrialisasi, ideologi kapitalisme dijalankan.Pertama-tama adalah melalui politik pencitraan peradaban di luar Eropa setelah itu dilanjutkanlah proyek penyebarluasan ideologi kapitalisme melalui ide-ide modernisasi. Keberhasilan Eropa itu seolah memberikan inspirasi bahwa untuk menjadi maju dan beradab peradaban lain hendaknya mengadopsi ulang konsep kemajuan masyarakat Eropa. Politik pencitraan ini berhasil membuat dunia hidup di bawah bayang-bayang logosentrisme (baca: Eurosentrisme). Untuk menjadi modern dan berhasil, masyarakat di luar Eropa harus bersedia dibimbing oleh logosentrisme Eropa. Eropa menjadi ukuran kemajuan dan (anehnya) kebenaran. Menjadi modern adalah menjadi Eropa. Menjadi benar harus menjadi Eropa. Eropa mengidentifikasi sebagai dunia maju atau dunia pertama, sementara masyarakat di luar Eropa direpresentasikan sebagai dunia terbelakang atau dunia ketiga. Citra yang demikian terus menerus direproduksi yang akhirnya membuat mereka yang diidentifikasi sebagai dunia ketiga menjadi rendah diri. Buru-buru mereka mengoreksi diri sendiri, menolak berbagai tradisi demi satu tujuan menjadi modern.Lambat laun tapi pasti, prinsip logosentrisme menjadi ukuran kemajuan dan kebenaran.
Keberhasilan pertama ini kemudian diikuti keberhasilan proyek kedua Eropa melakukan kolonialisme di luar Eropa. Nalar logis mulai dilesakkan dalam kesadaran masyarakat koloni. Bahwa kolonialisasi adalah proyek mulia Eropa untuk memodernkan masyarakat lain agar lebih maju dan beradab, minimal dapat mendekatan kemajuan Eropa. Eropa dalam ke Indonesia misalnya, bukan dalam rangka melakukan politik imperialisme, melainkan menjadikan masyarakat Indonesia lebih modern. Ranah ini tampaknya berhasil didedahkan oleh nalar Eropa hingga sekarang. Tanpa disadari masyarakat kemudian tidak kuasa untuk menolak munculnya politik kepentingan Eropa melalui proyek modernisasi. Dan itu terjadi berabad-abad lamanya.
Industrialisasi akhirnya diterima sebagai keniscayaan sejarah kemajuan umat manusia. Dimana-mana masyarakat berlomba menuju terbentuknya masyarakat industrialis sebagai motor penggerak perubahan sosial. Masyarakat yang selama ini dikategorikan sebagai masyarakat dunia ketiga mulai menerapkan model pembangunan yang disebut sebagai model NIC (Newly Industrialist Countries). Sebuah model pembangunan yang digulirkan sebagai proyek kapitalisme global bagi dunia ketiga. Proyek ini benar-benar memaksa negara yang menganutnya seperti Korea Selatan Taiwan, juga Malaysia, Thailand dan Indonesia untuk merevisi total model pembangunan yang diterapkannya selama ini. Di Indonesia misalnya, model pembangunan berbasiskan pertanian rakyat (kerakyatan) mulai ditinggalkan dan diganti dengan proyek-proyek industri. Tidak heran jika di berbagai daerah yang dulu dikenal sebagai basis pertanian lambat laun mulai berdiri pabrik-pabrik di atasnya. Masyarakat petani yang semula memiliki lahan akhirnya harus rela menjadi (buruh) pada masyarakat industri. Masyarakat agraris berganti rupa menjadi masyarakat industrialis. Pola perubahan dalam masyarakat itu tak pelak lagi menghadirkan berbagai pola perubahan identitas masing-masing. Identitas-identitas dari masyarakat petani akhirnya harus rela untuk ditinggalkan, dirubah dan diganti dengan identitas baru yang berkorelasi dengan citra masyarakat industrial. Tidak hanya dalam gaya hidup tetapi juga secara substantif termasuk prinsip-prinsip berpikir.
Perubahan-perubahan ini ditangkap sebagai keniscayaan akan kemajuan dinamika masyarakat. Masyarakat begitu yakin bahwa perubahan dalam masyarakat merupakan optimisme yang mengarah pada kemajuan. Keyakinan ini secara tidak disadari berimplikasi kepada penolakan berbagai tradisi (kebudayaan lokal) karena dianggap menghambat kemajuan. Untuk menjadi maju seolah melalui pemutusan hubungan total dengan tradisi lokal (baca: lokalitas). Paradigma kemajuan masyarakat selalu dibayangkan bersifat linier; maju ke depan. Bayangan masyarakat ini seolah memberikan gambaran bahwa dalam masyarakat selalu terjadi kontinuitas; kemajuan ke depan. Diskontinuitas dalam dinamika masyarakat ditolak. Paradigma ini akhirnya membenarkan setiap prinsip berpikir dan gaya hidup yang meninggalkan tradisi untuk memperlebar jalan kontinuitas perkembangan. Muncullah kemudian imagine community tanpa volkgeist (jiwa bangsa) yang menjadi identitasnya sendiri (lokalitas). Kalau toh mereka memiliki identitas, maka itulah identitas hibrid yang lahir dari sinkretisme identitas.
Makanya tidak usah heran jika dalam setiap bentuk perubahan masyarakat belakangan ini selalu saja hadir masyarakat dengan kultur hibrid (meski tidak harus berkonotasi negatif). Yakni kultur yang lahir dari tidak hanya satu khazanah, melainkan hasil dari berbagai dialektika dengan berbagai sumber. Kultur ini menjadi negatif jika yang muncul bukan sinergi, melainkan sikap kompromi dengan sumber-sumber identitas, yang hanya melahirkan sikap hidup dan prinsip berpikir setengah hati.
Refleksi Lokalitas dan Ancaman Globalisai
Masyarakat kita belakangan ini dihadapkan pada situasi sulit untuk tetap mempertahankan (budaya) lokalitas atau menerima (budaya) globalitas. Masyarakat pada milenia ini seolah terwujud dari proses perbenturan dan pergulatan antara mewarisi yang lokal atau menerima yang global. Benturan itu kemudian seringkali dinamai sebagai globloc.
Taufik Rahzen mengatakan, dua gejala ini bekerja secara serentak, seperti beroperasinya daya sentrifugal dan sentripetal. Proses globalisasi yang mendera hampir seluruh hunian manusia dengan menyatukan produksi kapital dan budaya melampui batas-batas geografis dan negara; kini berhadapam dengan upaya memperebutkan ruang-ruang publik lokal bagi berbagai komunitas untuk menegaskan identitasnya. Meski banyak orang menyebut bahwa peneguhan politik identitas sesungguhnya cerminan dari sebuah kekalahan, tapi penegasan identitas tersebut tetap memainkan peran vitalnya untuk membangun masyarakat lokal di tengah perdaban global.
Harus diakui bahwa globalisasi berimplikasi pada situasi paradoks umat manusia. Yakni antara mengejar identitas, dan sekaligus kehilangan identitas. Globalisasi utamanya melalui kecanggihan teknologi informasi memang membawa beragam implikasi. Melalui teknologi informasi berbagai arus informasi begitu masif untuk keluar masuk dalam ruang-ruang privat kita. Apa yang selama ini menjadi ruang steril dari persentuhan-persentuhan identitas yaitu ruang keluarga secara tidak disadari menjadi tempat paling nyaman bagi tersemainya persentuhan itu. Itulah realitas dunia global. Dunia menjadi tidak lebih dari selebar daun kelor. Berbagai peristiwa di belahan dunia lain, begitu cepat sampai di tempat kita dalam waktu yang bersamaan. Selain itu globalisasi ternyata juga menawarkan konstruksi masyarakat (baru) yang mengusung identitasnya sendiri. Kebaruan dan kemodernan menjadi ciri khas masyarakat global tersebut. Di bawah payung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan bersembunyi pada proyek developmentalisme, masyarakat global mulai digerakkan. Karena bergeraknya ke depan dan bersifat linier, maka mulailah berbagai tradisi lokal dipertanyakan. Bukankah mempertahankan tradisi lokal hanya semakin memperlambat kemajuan masyarakat ? Bukankah menjadi modern adalah kondisi yang tidak bisa ditolak kehadirannya, dan untuk semua itu syaratnya adalah memutus (total) hubungan dengan segala hal yang berbau lokalitas ?
Tarik menarik antara mempertahankan budaya lokal dan menerima globalitas akhirnya membawa kita untuk merefleksi ulang lokalitas. Bukan dalam rangka untuk mengistirahatkan fungsinya sebagai identitas (lokal), melainkan untuk menguatkan identitas lokal yang ‘bersetubuh’ dengan globalitas. Persetubuhan itu diharapkan melahirkan sikap mempertahankan tradisi tanpa harus bersikap tradisionalisme. Atau menjadi global tanpa harus meninggalkan kepentingan lokal. Inilah kesadaran globloc. Sebuah kesadaran yang dimunculkan untuk merevitalisasi lokal(itas) dalam kehidupan global(itas). Tanpa kesadaran ini, maka dikhawatirkan justru melahirkan masyarakat tanpa identitas, menjadi global tidak, mempertahankan lokal juga tidak. Masyarakat yang demikian diibaratkan sebagai masyarakat yang, ketika nilai-nilai lama belum tertanam secara kokoh harus dihadapkan untuk menerima nilai baru yang meski belum jelas bentuk dan sifatnya. Ibarat sebuah luka, ketika luka lama akibat kuatnya tradisionalisme belum sembuh benar, kini dihadapkan oleh luka baru akibat penerimaan modernisme (dari globalisasi) secara membabi buta.
Tampaknya benar apa yang ditengarai oleh I Made Bandem bahwa dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan identitas justru sama besarnya dengan keinginan untuk mempertahankan identitas. Inilah paradoks yang mengiring pada wacana baru, wacana tentang identitas budaya. Identitas yang dibangun melalui pergulatan dan ketengangan dalam menentukan pilihan dan komunitas. Pada satu sisi berusaha masuk dalam percaturan interansional yang menepis batas-batas geografis, batas-batas etnis, batas-batas bangsa, atau identitas budaya, di sisi lain, justru muncul semangat untuk kembali pada etnisitas, lokalitas, mempertimbangkan batas geografis, mempertimbangkan etnisitas kebangsaan, warna budaya, dan sebagainya. Ketika ‘berbicara’ dalam forum regional maupun internasional, muncul kesadaran bahwa identitas lokal (lokalitas) menjadi settingt point yang tinggi dan penting untuk menandai sebuah kehadiran. Universalitas bersanding dengan lokalitas.
Persandingan ini untuk mempertegas bahwa terjadi sebuah proses ketengangan kreatif antara mempertahankan identitas lokal atau identitas global. Ketegangan itu bukan soal pilihan untuk mengambi yang satu dan membuang yang lain, tetapi memastikan pendirian dan menegaskan orientasi. Yakni -meminjam terminologi Ignas Kleden - apakah kita harus memilih sikap untuk memperkuat identitas lokal dengan melakukan selekasi dan internalisasi unsur-unsur kebudayaan global demi kepentingan budaya lokal, atau kita hendak negangkat dan menyesuaikan kebudayaan lokal dengan perkembangan kebudayaan global, sehingga lokalitas tadi dapat disejajarkan dan diintegrasikan dengan kebudayaan global.
Paling mudah untuk merumuskan strategi kebudayaan tersebut adalah melalui konsep adapteren bukan sekedar adopteren. Artinya, terhadap kebudayaan global, kita hendaknya ‘tidak sekedar menerima dan menelan bulat-bulat, melainkan menyesuaikannya’. Sementara apa yang dilahirkan dari budaya global hendaknya jangan diambil kulitnya bagian kulitnya, tetapi harus diambil isinya. Konsep ini sebagaimana dikatakan Mohammad Hatta lebih mengutamakan aktivitas budaya berupa cara berpikir dan cara berbuat, daripada hanya menerima atau mengambil alih produk-produk budayanya.
Lokalitas atau identitas budaya lokal sudah berurat dan berakar sejak bertahun-tahun lamanya. Sebagai sebuah tradisi, identitas lokal tersebut tidak pernah dipersoalkan benar salahnya, melainkan bagaimana tradisi itu mencitrakan diri sebagai identitas. Melalui penelusuran ini, maka identitas tidak sekedar diwariskan melainkan diteguhkan keberadaannya. Refleksi atas lokalitas ini pada akhirnya memiliki kemampuan untuk self renewal; memperbaiki diri sendiri dari setiap ancaman atau reduksionisme proses-proses globalisasi.
Indonesia, Masyarakat Baru, dan “Slilit” Lokalitas
Lokalitas merupakan identitas yang lekat dan mesti ada pada sebuah masyarakat. Tiada masyarakat yang hidup tanpa identitas. Setiap individu yang berkumpul membentuk komunitas pada akhirnya menciptakan identitasnya masing-masing. Identitas itulah yang (mungkin) membedakan antara ‘kita’ dengan ‘mereka’, antara in group dengan out group meski tanpa harus bersifat binner; hitam putih. Persoalannya adalah bagaimana kita harus memelihara lokalitas di tengah arus globalisasi yang berimplikasi bagi terbentuknya masyarakat baru yang pasti juga menawarkan identitas baru ? Minimal, bagaimana memposisikan lokalitas dalam arus jaman yang serba global(itas) ini ? Lalu bagaimana dengan posisi keindonesiaan yang dengan sendirinya tumbuh dan berkembang dalam bayang-bayang tradisionalisme tersebut ?
Disadari bahwa arus globalisasi belakangan ini telah berhasil menciptakan tatanan dunia baru dalam masyarakat. Masyarakat baru ini ditandai dengan kian pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan mengglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional yang kemudian dikuatkan olah ideologi dan tata dunia perdagangan baru dibawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global (GATT) yang ditandatangai pada bulan April 1994 di Marrakes, Maroko. Sejak saat itu, globalisasi kian merajalela dan menancapkan hegemoninya ke dalam struktur maupun kultur masyarakat apapun dan dimanapun.
Globalisasi, utamanya yang ditancapkan melalui kecanggihan teknologi informasi membawa serta berbagai pesan sponsor negara-negara imperialisme. Dalam prolog awal telah dibahas betapa negara-negara imperialis berupaya kuat untuk mereproduksi wacana kemajuan melalui konsep developmentalisme. Kedatangannya ke dunia ketiga dilanggengkan melalui pendasaran rasional untuk proyek pembangunanisme masyarakat terbelakang. Tak pelak lagi, paradigma yang demikian mengharuskan negara-negara imperialis menawarkan konsep kebudayaan baru untuk memutus hubungan atas kebudayaan lama yang dimiliki masyarakat dunia ketiga. Apa yang sudah diwariskan selama ini direvisi, bahkan kalau perlu harus segera ‘dimuseumkan’ karena sudah basi, klasik, dan konvensional. Tidak heran jika dalam kondisi yang demikian lahirlah pergeseran serius atas gaya hidup dan cara-cara berpikir. Bentuk kebudayaan (termasuk didalamnya segenap aktivitas kemanusiaan) harus hidup di bawah payung logosentrisme yang diciptakan negara-negara imperialis. Yang (baru) dan maju adalah apa yang ditawarkan masyarakat Eropa.
Masyarakat baru yang terbentuk; karenanya harus bercitrakan imaji Eropa atau katakanlah negara-negara imperialis yang melesakkan kepentingan kapitalisme di dalamnya. Fragmentasi gaya hidup, konsumerisme berlebihan, ateisme-sekularistik, dan gaya hidup hedon yang tidak berpihak pada kepentingan-kepentingan sosial merupakan implikasi logisnya. Semangat kapitalisme yang bersembunyi dalam proyek globalisasi akhirnya sanggup mendekorasi peradaban; menuju masyarakat baru penuh tragika. Kapitalisme dengan semangat individualismenya, tidak lain telah menciptakan suatu relasi timpang antar manusia; sebuah quasi oposisi binner kuat-lemah, kaya miskin. Dunia pun kata Muhidin M. Dahlan, tenggelam dalam potertnya yang lesu dan buram. Dunia seolah menjadi ruang pertarungan merebutkan kuasa. Ada relasi kuasa dalam setiap interaksi sosial. Globalisasi adalah relasi kuasa yang memang direncakan oleh negara-negara imperialis untuk melanggengkan kekuasaanya di setiap bekas koloninya.
Ketika lokalitas dipahami sebagai penghambat kemajuan, masyarakat mulai meninggalkannya. Lokalitas menjadi konvensional, klasik. Memelihara lokalitas akhirnya dinggap sebagai memelihara tradisionalisme, konvesionalisme dan orangnya pasti dicitrakan klasik(isme). Lokalitas adalah slilit bagi kontinuitas sejarah yang memang harus segera dikandangkan. Minimal dibonsai agar tetap kerdil, tak berkembang. Akhirnya lokalitas menjadi tua secara prematur. Dibiarkan untuk tidak (ber/di)kembangkan. Pelan tapi pasti masyarakat pewarisnya akan meninggalkannya.
###########
Masyarakat dewasa ini tidak begitu saja terbentuk. Apa yang disebut kekuatan-kekuatan sosial mempunyai akarnya dalam berbagai tradisi. Indonesia modern sekarang ini jelas sangat ditentukan oleh tradisi dari berbagai kebudayaan daerah. Dalam konteks ini, konsep klasik Ki Hadjar Dewantara perihal kebaruan kebudayaan patut dikedepankan. Melalui konsepnya tentang asas “tri-kon’ yang terdiri dari paham: konsentrisitas, kontinuitas, dan konvergensi, Ki Hadjar Dewantara memberikan preskripsi tentang bagaimana sebuah kebudayaan digerakan. Konsentrisitas menekankan adanya suatu inti (sentrum) dari mana; perkembangan ini pada tahap lebih lanjut akan kembali memperkuat inti tersebut. Kontinuitas menunjuk pada perkembangan suatu kebudayaan dalam waktu; hari ini adalah lanjutan hari lampau, dan akan berlanjut ke hari esok. Konvergensi menunjuk gerak kebudayaan dalam ruang, di mana kebudayaan nasional bersama-sama dengan kebudayaan bangsa lain akan menuju ke satu kebudayaan dunia: kebudayaan umat manusia .
Gagasan Ki Hadjar Dewantara demikian memberikan suatu penjelasan bahwa masyarakat lahir tidak berada dalam ruang hampa. Selalu ada dialektika di dalamnya. Dialektika itulah yang menjadikan kondisi masyarakat lebih dinamis dan bermakna. Karenanya, upaya memberikan sinergi (budaya) lokal sebagai tradisi dengan (budaya) global sebagai modern haruslah tetap diperlukan. Bukankah sejak awal kita sepakat betapa tradisi adalah (bagian) dari identitas yang tetap harus dipertahankan sekaligus diperbarui. Bukankah sinergi antara tradisi (lokal) dengan tradisi (global-modern) adalah melalui penguatan identitas yang konsentris, kontinuitas sekaligus konvergen pada kebutuhan global. Sebab, menjadi global tanpa memperhatikan kebutuhan lokal niscaya berujung pada krisis identitas yang sudah susah payah dibangun berabad-abad lamanya.
Pada nalar yang demikian, warga masyarakat mempunyai peran penting untuk merevitalisasi tradisi (lokal), mensinergikan, mengintegrasikannya sekaligus mentransformasikannya ke dalam budaya global. Tradisi-tradisi khazanah keilmuan klasik Islam yang selama digelutinya diolah sedemikian rupa untuk ikut meramaikan khazanah keilmuan global, tanpa harus saling menjatuhkan, melainkan saling berintegrasi. Itulah dialog peradaban menuju terbentuknya masyarakat baru. Sebuah peradaban yang terwujud dari proses panjang dialektika tradisi dan (ke)modern(an). Minimal lahirnya peradaban baru yang didalamnya berhias mozaik-mozaik klasik berupa tradisi-tradisi lokal.
Wassalam.
Daftar Pustaka
Bandem, I Made, “Melacak Identitas di tengah Budaya Global, dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. X-2000, Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
Dahlan, Muhidin, M., 1994, Sosialisme Religius,Jalan Keempat, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 1994
Hanafi, Hassan, 2000, Oksidentalisme Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori, Jakarta: Paramadina
Hatta, Muhammad, 1954, Ke Mana Arah Kebudayaan Kita ? dalam Kumpulan karangan, Jilid IV, Jakarta: Balai Buku Indonesia
Kuntowijoyo, 2001, M uslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan
Kleden, Ignas, 1987, Sikap ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, hlm. 162
Rahzen, Taufik, “Global/Lokal”, dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. X-2000, Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
Salim HS , Hairus, dan Muhammad Ridwan, 1999, Kultur Hibrida, Anak Muda NU di jalur Kultural, Yogyakarta: LkiS, hlm. 2
Edward Shils, 1981, Tradition, Chicago
Peransi, D.A., “Retradisionalisasi dalam Kebudayaan”, dalam Jurnal Prisma No. 6, 1985, Tahun XIV, Jakarta: LP3ES, hlm. 8
Veeger, K.J, 1990, Realitas Sosial; Refleksi filsafat social atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi, Jakarta: Gramedia, hlm. 18-19
Ki Hadjar Dewantara, 1967, Kebudayaan, Jilid IIA, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa

1 komentar:

  1. Temanku yg pinter dulu, sekarang nampaknya tambah pinter. This article is very good.
    Thank's

    BalasHapus