Search This Blog

Jumat, 31 Juli 2009

Salah Urus (Dunia) Pendidikan Kita!

Salah Urus (Dunia) Pendidikan Kita!
Oleh : Listiyono Santoso
 (dosen ilmu filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga)


Fenomena ‘salah urus’ pendidikan kita sebenarnya bukan hal baru. Salah urus itu terlihat dari berbagai persoalan pendidikan yang tidak pernah terselesaikan. Dari soal yang bersifat teknis seperti penerimaan (maha)siswa baru dan buku teks pelajaran hingga yang bersifat filosofis berkaitan dengan visi dasar pendidikan kita. Ironisnya, dari rezim ke rezim persoalan tersebut selalu sama dan klasik. 

Berbagai kritik atas penyelenggaraan pendidikan sudah terlalu sering dilontarkan banyak pakar. Namun kenyataannya, bukan terjadi proses reformatif, baik kultural maupun
struktural, akan tetapi justru hanya bersifat involutif. Hal ini mudah ditengarai dari berbagai kebijakan pendidikan kita yang sifat meliorisme (tambal sulam). Yakni, banyaknya kebijakan yang terlahir dari sebuah desakan sosial politik ketimbang alasan filosofis yang menjadi ‘ruh’ penyelenggaraan pendidikan kita.

 Tidak heran jika pendidikan kita –belakangan- lebih berkutat pada kepentingan vokasional (teknis pragmatis), seperti peningkatan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan di dunia kerja dan cenderung mengabaikan perbincangan tentang konsep dasar ke arah mana pendidikan hendak digerakkan. 

Redefinisi (kembali) Pendidikan Sudah bukan rahasia, pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai –meminjam konsepsi Paulo Freire (1972)- pembebasan masyarakat dari keterbelengguan. Pendidikan tidak lagi diartikan sebagai proses yang membangkitan kesadaran kritis dari subyek didik, melainkan malah menciptakan ketergantungan. Padahal pendidikan –meminjam istilah Driyarkara- harusnya berfungsi memanusiakan manusia muda. Pendidikan dijalankan sebagai proses hominisasi dan humanisasi. Yakni menyadarkan seseorang sebagai manusia, sekaligus mengembangkan potensi kemanusiaannya demi kebudayaan dan peradaban.

Secara empiris, dunia pendidikan justru hanya dijadikan sebagai instrumen politik untuk menguatkan sebuah sistem yang sudah ada. Kita disibukkan belajar bukan untuk menemukan kebenaran, melainkan membenarkan pikiran orang (lain). Kita belajar ekonomi misalnya seolah untuk melegitimasi sistem perekonomian yang sudah mapan dengan kapitalisasinya. Kita belajar politik misalnya, seolah juga harus membenarkan teori-teori politik kekuasaan yang cenderung korup. Begitu juga belajar ilmu hukum seperti melegitimasi karut marutnya dunia peradilan kita.

Antonio Gramsci (1971) secara sinis pernah menyebut bahwa salah urus dunia pendidikan menyebabkan kampus yang memproduksi sarjana hanyalah dijadikan teknisi-teknisi yang dikuasai oleh kekuatan pasar dalam stelsel kapitalis sekarang ini. Tidak heran jika kebijakan dunia pendidikan kita lebih menyesuaikan pada pergerakan pasar ketimbang –meminjam terminologi A Sudiarja (2006)- membicarakan ‘persoalan pendidikan’ par excelllen. 

Arah pendidikan lebih diorientasikan memenuhi kebutuhan pasar dan keterserapan dunia kerja. Kompetensi keilmuan selalu diukur untuk memenuhi trend pasar, bukan pada pengkajian keilmuan dan pencarian ide-ide besar. Tidak berlebihan jika Sarartri Wiloyudha (2008) menganggap bahwa perguruan tinggi kita sekarang ini kehilangan ide-ide besar. Tanpa ide besar, bagaiman perguruan tinggi sanggup menjalankan misi perubahan sosial dalam masyarakat?

 Minimnya ide besar membuat negeri ini tidak pernah terjadi revolusi pemikiran dalam bidang apapun. Dunia pendidikan kita lebih disibukkan untuk menjadi recipien (konsumen) ide besar, ketimbang melahirkan ide besar. Makanya, kita begitu bangga mengutip ide tokoh, daripada menciptakan ide baru yang mungkin lebih indegenous.

Tanpa Filsafat Pendidikan Salah urus dunia pendidikan terjadi karena kita mengabaikan filsafat pendidikan yang menjadi visi filosofis apa dan bagaimana pendidikan digerakan. Pendidikan kita adalah pendidikan tanpa filsafat pendidikan. Mengapa kita cenderung mengabaikan filsafat pendidikan?

Pertama, karena filsafat pendidikan dianggap abstrak dan idealis. Banyak dari kita tidak menyukai cara berpikir ini. Pemikiran yang dianggap tidak realis dan tidak membumi. Mereka tidak sadar bahwa pemikiran kefilsafatan -menurut A Sudiarja (2006)- memang tidak diorientasikan untuk menjawab secara prgamatis, melainkan secara visioner dan memberi wawasan. Melalui pemikiran ini, maka pendidikan kita akan diberikan sebuah ‘ruh’ yang menjadi orientasi kebijakan pendidikan.

Kedua, watak dari cara berpikir masyarakat korban ‘kolonialisasi’. Kita lebih banyak dijadikan sebagai objek penyebarluasan hasil-hasil (produk) pemikiran negara lain. Lebih puas dengan mendapatkan ‘barang’ daripada memproduksi ‘barang’. Padahal negara yang dianggap ‘maju’peradabannya dibentuk dari tradisi filsafat yang kuat. Bukan terlahir seketika, melainkan melalui proses yang panjang.

 Bermula dari tradisi berfilsafat yang mapan baru kemudian berpikir hal teknis-empiris. Sayangnya, kita tidak mengambil sisi historis itu, tetapi lebih menyukai berpikir instan. Implikasinya, peradaban kita hanya akan berkeinginan untuk menyesuaikan diri dengan akibat logis peradaban lain. Mereka menciptakan teknologi, kita belajar menggunakannya. Mereka menciptakan teori baru, maka kita sibukkan membenarkan. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperti Balai Latihan Kerja yang sekedar memberikan penguasaan ketrampilan untuk kepentingan kerja (pendidikan vokasional). 

Nah, dunia pendidikan berada dalam kondisi ini. Yakni kondisi pendidikan yang diselenggarakan tanpa filsafat pendidikan. Intelektualitas kita juga tidak menyukai tradisi berfilsafat. Akibatnya, kita salah mempersepsikan dan memaknai apakah pendidikan itu dan apa tujuannya? Kesalahan pemaknaan ini akhirnya berakibat fatal dalam menciptakan kebijakan. Ibaratnya, salah di tingkat hulu akan berakibat fatal di tingkat hilir. Persoalannya, apakah kita hendak merawat kesalahan ini terus menerus?

3 komentar:

  1. hmmm... tambah ilmu nih. ternyata jalan 'ngelmu' itu makin lebar,... namun kadang 'dipersempit' oleh sesuatu yang sebenarnya gak membutuhkan 'ruang lebar'... gitu kali Pak ya..

    BalasHapus
  2. menurut saya,,itu kesalahan pemerintah,pak

    BalasHapus
  3. to izmi: begitulah..bahwa sesungguhnya dalam ruang pengalaman kehidupan kita adalah ruang belajar kita menjaid 'manusia'..
    to bibi:itu kesalahan kita semua yang tidak pernah peduli terhadap pendidikan

    BalasHapus