Search This Blog

Sabtu, 17 Oktober 2009

Bahasa Media Massa Kita: Mendayung antara Lokalisme dan Globalisme

Bahasa Media Massa Kita:
Mendayung antara Lokalisme dan Globalisme
Oleh: Listiyono Santoso[1]

Pengantar
            Bandul pendulum dunia saat ini bergerak menuju tatanan dunia baru yang disebut sebagai dunia global. Globalisasi telah menjadi magnet baru yang menyedot perhatian sebagian besar masyarakat dunia. Masyarakat dunia –dimana saja- tidak bisa lagi mengelak kehadiran tatanan baru ini. Melalui teknologi informasi, globalisasi telah menjadikan dunia layaknya perkampungan global (global village). Sebuah perkampungan tempat hiruk pikuknya berbagai informasi berseliweran tiada henti. Begitu cepat dan tidak terkendali.
          Globalisasi telah menjadikan dunia tidak lebih dari selebar daun kelor. Berbagai peristiwa –apapun bentuknya- di berbagai belahan dunia begitu cepat tersebar. Tidak ada masyarakat yang sanggup melepaskan diri dari jeratan globalisasi. Salah satu jeratan globalisasi adalah keterlenaan masyarakat, khususnya kaum muda terhadap tawaran nilai baru yang lambat laun dianggap sebagai nilai yang lebih baik dan lebih rasional. Implikasi logisnya, generasi kita saat ini lebih menyukai nilai-nilai baru sebagai nilai yang lebih modern seraya meningalkan nilai lama karena dianggap tradisional. Pada titik ini, globalisasi membawa perubahan ekstrem itu. Melalui media massa elektronik, ketertutupan hampir tak dapat dipertahankan lagi. Informasi, barang, dan jasa membanjiri berbagai komunitas. Itu berarti bahwa nilai-nilai baru dan asing mengepung kesadaran komunitas-komunitas itu.
            Perubahan-perubahan ini ditangkap sebagai keniscayaan akan kemajuan dinamika masyarakat. Masyarakat begitu yakin bahwa perubahan dalam masyarakat merupakan optimisme yang mengarah pada kemajuan. Keyakinan ini secara tidak disadari berimplikasi kepada penolakan berbagai tradisi (kebudayaan lokal) karena dianggap menghambat kemajuan. Untuk menjadi maju seolah melalui pemutusan hubungan total dengan tradisi lokal (baca: lokalitas). Paradigma kemajuan masyarakat selalu dibayangkan bersifat linier; maju ke depan. Bayangan masyarakat ini seolah memberikan gambaran bahwa dalam masyarakat selalu terjadi kontinuitas; kemajuan ke depan. Diskontinuitas dalam dinamika masyarakat ditolak. Paradigma ini akhirnya membenarkan setiap prinsip berpikir dan gaya hidup yang meninggalkan tradisi untuk memperlebar jalan kontinuitas perkembangan. Muncullah kemudian imagine community tanpa volkgeist[2] (jiwa bangsa) yang menjadi identitasnya sendiri (lokalitas). Kalau toh mereka memiliki identitas, maka itulah identitas hibrid yang lahir dari sinkretisme identitas.
          Prolog panjang ini seolah membayangkan bahwa globalisasi berimplikasi semakin tereduksinya berbagai nilai lokal dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah melemahnya penggunaan bahasa daerah (bahasa Ibu) di kalangan masyarakat penggunanya. Di Indonesia terdapat 742 Bahasa Ibu. Dari 742  ini, tiap tahun mengalami penurunan jumlah Bahasa Ibu, seperti di papua dari 273 menjadi 271, di Sumatera dari 52 menjadi 49 dan di Sulawesi dari 118 turun menjadi 114 bahasa. Melemahnya penggunaan bahasa ibu (jika mau disebut sebagai bahasa daerah) sesungguhnya juga berimplikasi kepada hilangnya nilai-nilai kearifan lokal di tengah-tengah masyarakat kita. Alasan klasiknya, penggunaan bahasa ibu dianggap sebagai bagian dari cara berpikir tradisional di tengah gempuran modernisme. Padahal justru melalui bahasa ibu berbagai kearifan lokal dapat ditransformasikan kepada tiap generasi dalam proses belajarnya. Itulah sebabnya, berbagai upaya dalam rangka penguatan kearifan lokal dan pemertahanan bahasa ibu merupakan langkah yang strategis agar masyarakat kita tidak kehilangan jati diri dalam pergaulan globalnya.
            Dalam konteks demikian, seminar ini setidaknya patut diapresiasi. Pertama, bahwa di tengah gegap gempitanya penerimaan masyarakat terhadap internasionalisasi Bahasa Inggris sebagai implikasi dari pergaulan global, masyarakat kita perlu diingatkan tentang pentingnya identitas lokal dalam konteks global. Menjadi global tidaklah harus kehilangan nilai-nilai lokal, sebagaimana dikemukakan Ignas Kleden (1987: 214) membangun tradisi tanpa sikap tradisional. Kedua, meminjam terminologi Idy Subandy Ibrahim (1997: 93) bahwa bahasa menjadi cermin masyarakat pemakianya; bahasa merefleksikan nilai-nilai yang tersirat, sikap-sikap dan prasangka-prasangka dari masyarakatnya. Bahasa memiliki efek yang nyata terhadap cara berpikir, merasa dan bertindak. Karenanya, tereduksinya bahasa ibu dalam pergaulan sehari-hari masyarakat penggunanya –bisa dikatakan- sebagai kian tereduksinya kearifan lokal dalam masyarakat tersebut. Dan ketiga, saat ini masyarakat membutuhkan pilar yang berfungsi mempertahankan kearifan lokal sekaligus menyebarluaskan kepada masyarakat dan media massa seharusnya memainkan peran strategis tersebut.
Refleksi Lokalitas dan Ancaman Globalitas
            Masyarakat kita belakangan ini dihadapkan pada situasi sulit untuk tetap mempertahankan (budaya) lokalitas atau menerima (budaya) globalitas. Masyarakat pada milenia ini seolah terwujud dari proses perbenturan dan pergulatan antara mewarisi yang lokal atau menerima yang global. Benturan itu kemudian seringkali dinamai sebagai globloc. Proses globalisasi yang mendera hampir seluruh hunian manusia dengan menyatukan produksi kapital dan budaya melampui batas-batas geografis dan negara; kini berhadapan dengan upaya memperebutkan ruang-ruang publik lokal bagi berbagai komunitas untuk menegaskan identitasnya. Meski banyak orang menyebut bahwa peneguhan politik identitas sesungguhnya cerminan dari sebuah kekalahan, tapi penegasan identitas tersebut tetap memainkan peran vitalnya untuk membangun masyarakat lokal di tengah perdaban global.
            Harus diakui bahwa globalisasi berimplikasi pada situasi paradoks umat manusia. Yakni antara mengejar identitas, dan sekaligus kehilangan identitas. Globalisasi utamanya melalui kecanggihan teknologi informasi memang membawa beragam implikasi. Melalui teknologi informasi berbagai arus informasi begitu masif untuk keluar masuk dalam ruang-ruang privat kita. Apa yang selama ini menjadi ruang steril dari persentuhan-persentuhan identitas yaitu ruang keluarga secara tidak disadari menjadi tempat paling nyaman bagi tersemainya persentuhan itu. Itulah realitas dunia global. Dunia menjadi tidak lebih dari selebar daun kelor. Berbagai peristiwa di belahan dunia lain, begitu cepat sampai di tempat kita dalam waktu yang bersamaan. Selain itu globalisasi ternyata juga menawarkan konstruksi masyarakat (baru) yang mengusung identitasnya sendiri. Kebaruan dan kemodernan menjadi ciri khas masyarakat global tersebut. Di bawah payung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan bersembunyi pada proyek developmentalisme, masyarakat global mulai digerakkan. Karena bergeraknya ke depan dan bersifat linier, maka mulailah berbagai tradisi lokal dipertanyakan. Bukankah mempertahankan tradisi lokal hanya semakin memperlambat kemajuan masyarakat ? Bukankah menjadi modern adalah kondisi yang tidak bisa ditolak kehadirannya, dan untuk semua itu syaratnya adalah memutus (total) hubungan dengan segala hal yang berbau lokalitas ?
            Tarik menarik antara mempertahankan budaya lokal dan menerima globalitas akhirnya membawa kita untuk merefleksi ulang lokalitas. Bukan dalam rangka untuk mengistirahatkan fungsinya sebagai identitas (lokal), melainkan untuk menguatkan identitas lokal yang ‘bersetubuh’ dengan globalitas. Persetubuhan itu diharapkan melahirkan sikap mempertahankan tradisi tanpa harus bersikap tradisionalisme. Atau menjadi global tanpa harus meninggalkan kepentingan lokal. Inilah kesadaran globloc. Sebuah kesadaran yang dimunculkan untuk merevitalisasi lokal(itas) dalam kehidupan global(itas). Tanpa kesadaran ini, maka dikhawatirkan justru melahirkan masyarakat tanpa identitas, menjadi global tidak, mempertahankan lokal juga tidak. Masyarakat yang demikian diibaratkan sebagai masyarakat yang, ketika nilai-nilai lama belum tertanam secara kokoh harus dihadapkan untuk menerima nilai baru yang meski belum jelas bentuk dan sifatnya. Ibarat sebuah luka, ketika luka lama akibat kuatnya tradisionalisme belum sembuh benar, kini dihadapkan oleh luka baru akibat penerimaan modernisme (dari globalisasi) secara membabi buta.
            Tampaknya benar apa yang ditengarai oleh I Made Bandem (1999: 62) bahwa dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan identitas justru sama besarnya dengan keinginan untuk mempertahankan identitas. Inilah paradoks yang mengiring pada wacana baru, wacana tentang identitas budaya. Identitas yang dibangun melalui pergulatan dan ketengangan dalam menentukan pilihan dan komunitas. Pada satu sisi berusaha masuk dalam percaturan interansional yang menepis batas-batas geografis, batas-batas etnis, batas-batas bangsa, atau identitas budaya, di sisi lain, justru muncul semangat untuk kembali pada etnisitas, lokalitas, mempertimbangkan batas geografis, mempertimbangkan etnisitas kebangsaan, warna budaya, dan sebagainya. Ketika ‘berbicara’ dalam forum regional maupun internasional, muncul kesadaran bahwa identitas lokal (lokalitas) menjadi settingt point yang tinggi dan penting untuk menandai sebuah kehadiran. Universalitas bersanding dengan lokalitas.
            Persandingan ini untuk mempertegas bahwa terjadi sebuah proses ketengangan kreatif antara mempertahankan identitas lokal atau identitas global. Ketegangan itu bukan soal pilihan untuk mengambi yang satu dan membuang yang lain, tetapi memastikan pendirian dan menegaskan orientasi. Yakni -meminjam terminologi Ignas Kleden (1987: 167) - apakah kita harus memilih sikap untuk memperkuat identitas lokal dengan melakukan selekasi dan internalisasi unsur-unsur kebudayaan global demi kepentingan budaya lokal, atau kita hendak negangkat dan menyesuaikan kebudayaan lokal dengan perkembangan kebudayaan global, sehingga lokalitas tadi dapat disejajarkan dan diintegrasikan dengan kebudayaan global.
            Paling mudah untuk merumuskan strategi kebudayaan tersebut adalah melalui konsep adapteren bukan sekedar adopteren. Artinya, terhadap kebudayaan global, kita hendaknya ‘tidak sekedar menerima dan menelan bulat-bulat, melainkan menyesuaikannya’. Sementara apa yang dilahirkan dari budaya global hendaknya jangan diambil kulitnya bagian kulitnya, tetapi harus diambil isinya. Konsep ini sebagaimana dikatakan Mohammad Hatta (1954: 14) lebih mengutamakan aktivitas budaya berupa cara berpikir dan cara berbuat, daripada hanya menerima atau mengambil alih produk-produk budayanya.
            Lokalitas atau identitas budaya lokal sudah berurat dan berakar sejak bertahun-tahun lamanya. Sebagai sebuah tradisi, identitas lokal tersebut tidak pernah dipersoalkan benar salahnya, melainkan bagaimana tradisi itu mencitrakan diri sebagai identitas. Melalui penelusuran ini, maka identitas tidak sekedar diwariskan melainkan diteguhkan keberadaannya. Refleksi atas lokalitas ini pada akhirnya memiliki kemampuan untuk self renewal; memperbaiki diri sendiri dari setiap ancaman atau reduksionisme proses-proses globalisasi.
Bahasa Media Massa dan Tanggungjawab Sosial
            Di tengah himpitan globalisasi tersebut, media massa sekarang ini memiliki peran yang sangat penting dalam melakukan sosialisasi nilai kultural di dalam sebuah masyarakat. Peran penting ini muncul sebagai akibat dari kemampuan media massa untuk membentuk opini publik berkiatan dengan berbagai kearifan lokal yang pernah kita miliki untuk disebarluaskan kepada masyarakat  Menurut Lasswell (1947) sebagaimana dikutip Dedy Djamaluddin Malik (1987:137) salah satu fungsi media massa adalah trasnmission of culture. Artinya, melalui media massa diharapkan terlahir konstruksi budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebijaksanaan, kebajikan hidup atau nilai keutamaan positif lainnya yang dibutuhkan dalam pergaulan antar manusia. Sayangnya, budaya yang diproduksi media massa berbeda dengan produk budaya pada umumnya. Watak budaya massa yang dikonstruksikan oleh media massa kita bersifat komersial dan popular dengan produk yang massal. Uang jadi tolok ukur, traget khalayak sangat diperhitungkan. Orientasinya yang demikian membuat budaya massa bersifat ‘murahan’ dan dampaknya hanya ‘sesaat’. Seperti contoh, seks, kekerasan, horor sekaligus teror dan peperangan sering dijadikan isu-isu utama disamping menjajakan barang dan kebutuhan masyarakat industri.
            Alih-alih memberi peran dalam rangka mensosialisasikan kearifan lokal dalam publik pembaca, yang terjadi justru menyudutkannya menjadi sistem nilai yang tidak lagi penting dan tidak lagi berharga. Lambat laun tapi pasti konstruksi budaya yang dibangun media massa semakin memarjinalkan kearifan lokal, termasuk di dalamnya penggunaan bahasa. Bahasa media massa belakangan lebih akrab dengan berbagai istilah asing yang jauh dari kultural kita. Nama rubriknya pun –meminjam terminologi Alif Danya Munsyi (2005) lebih banyak bertaburan kata-kata Inggris seperti Main Issue, Sexual Life, Woman’s Secret, Good Life, Man of The Month, Lifa Style, Headline News, dan sederat kata lainnya. Tidak salah memang, tetapi apakah ini mengindikasikan bahwa kita memang sedang dibuat ‘rendah diri’ terhadap bahasa kita sendiri, sembari mengakrabkan masyarakat dengan internasionalisasi Bahasa Inggris?
            Padahal seorang pakar media, George Gerbner (1998) dengan penuh keyakinan berkomentar bahwa media massa saat ini benar-benar telah menjadi ‘agama resmi’ masyarakat modern. Media massa telah turut memberi andil dalam memoles kenyataan sosial. Mengutip Mcluhan, media telah ikut mempengaruhi perubahan bentuk masyarakat. Media massa kita telah memberikan segala-galanya bagi kebutuhan masyarakat. Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (1987: 143), kita ingin mencari kesenangan, media massa memberikan hiburan, kita mengalami goncangan batin, media massa memberi kesempatan untuk melarikan diri dari kenyataan. Kita kesepian, media massa berfungsi sebagai sahabat. Media massa, terutama telivisi, -meminjam terminologi Jalaluddin Rahmat (1990), telah menjadi orang tua kedua (bahkan pertama) bagi anak-anak, guru bagi penontonya, penghibur bagi yang frustasi, dan terkadang pemimpin spiritual yang dengan halus menyampaikan nilai-nilai dan mitos tentang lingkungan.
            Dengan demikian, setidaknya ada empat (4) fungsi utama media massa yang menegaskan perannya dalam sosialisasi nilai di dalam sebuah masyarakat, yakni menyampaikan informasi, menambah pengetahuan, menyalurkan aspirasi, dan melakukan kontrol sosial. Melalui fungsi-fungsi yang demikian, media massa sesungguhnya memiliki makna strategis dalam rangka menjaga sistem sosial ini lebih mengedepankan nilai-nilai positif sekaligus penguatan jati diri lokal tanpa takut dianggap tradisional.
            Beruntunglah ada beberapa media massa di negeri ini yang masih ‘setia’ terhadap kearifan lokal. Masih ada media massa kita yang turut andil mensosialisasikan berbagai nilai kearifan lokal kepada masyarakat. Meskipun rubrik-rubrik untuk tema-tema kearifan lokal hadir satu minggu sekali atau jika tiap hari pun rubrik itu bersembunyi dalam rubrik yang lebih luas, tetap harus diapresiasi sebagai langkah maju media massa kita. Bagaimanapun media massa merupakan institusi bisnis dan tentu saja dibangun dengan logika ‘keuntungan’, karenanya wajar jika rubrik-rubriknya juga harus berkaitan dengan kepentingan profit tersebut. Di balik logika tersebut, patut diacungi jempol kehadiran media massa yang berbahasa daerah ataupun media massa yang memberikan ruang khusus bagi keberlangsungan sosialisasi kearifan lokal dalam masyarakat.
            Namun demikian, kitapun tak layak mengabaikan nilai-nilai yang dekat di sekeliling kita, yaitu yang terkandung dalam kearifan lokal. Kearifan lokal yang tangguh perlu dijadikan rujukan, karena bukan saja akan menyelamatkan kita, melainkan juga karena kearifan lokal itu merupakan buah kreativitas leluhur dari generasi ke generasi yang telah bergulat dengan masalah-masalah kita di sini, di negeri sendiri. Untuk dapat merujuk kepada kearifan lokal, sudah barang tentu diperlukan upaya preservasi (penyelamatan) dan rekonstruksi (penyusunan kembali). Bahasa media massa yang tetap setia dengan nilai-nilai kultural tentang kebijaksaan hidup adalah bagian dari upaya preservasi dan rekonstruksi tersebut. Nilai-nilai kearifan lokal yang dikonstruksikan di media massa –sesuai dengan sifat media massa yang selalu aktual- biasanya juga nilai-nilai yang selalu sesuai dengan perkembangan zaman.
            Dengan demikian, media massa terlibat dalam merevitalisasi nilai kearifan lokal agar dapat digunakan sebagai pegangan hidup dalam kehidupan global ini. Bukankah ajaran-ajaran budaya Jawa –misalnya dalam pewayangan-  sebagai salah satu Saka Guru budaya Nasional sejatinya mampu membentuk karakter anak bangsa yang tangguh.  Seni pewayangan mengandung ajaran Spiritual Adiluhung. Menurut Mpu Kanwa, "tontonan" yang memberi "tuntunan" sebagai landasan "tatanan" sosio kultural ini telah dikenal luas oleh para leluhur sejak zaman Dinasti Airlangga. Ironisnya kini hanya segelintir anak muda yang tertarik merenungkan makna filosofis di balik tokoh Panakawan. "Pana" berarti arif, "kawan" sinonim dengan sahabat, sehingga Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ialah personifikasi "Sahabat arif bijaksana", yakni kesadaran yang bersemayam dalam diri tiap insan. Lebih lanjut, tatkala Barat mulai mengenal IQ,EQ, SQ dan sejenisnya, Sri Paduka Mangku Negara IV telah mengajarkan Sembah raga, cipta, rasa dan karsa lewat geguritan (tembang) Wedhatama (Kedaulatan Rakyat, Kamis, 4/6/07).


            Demikian pentingnya peran bahasa media massa dalam rangka memperkuat jati diri lokal di tengah himpitan globalisasi, tampaknya perlu diagendakan langkah yang mendukung keberhasilan penguatan jati diri lokal. Yakni, memberikan ruang atau rubrik khusus yang berkaitan dengan berita atau peristiwa-peristiwa kebudayaan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dimilikinya. Media massa yang terbit dalam lingkup regional diharapkan mampu menjadi ‘garda’ terdepan dalam menjaga kebertahanan bahasa daerah, sekaligus nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya. Bahasa media massa yang bercirikan singkat, sederhana, dan padat tidaklah harus mengabaikan unsur-unsur lokalitas yang dimiliki setiap daerah, apalagi saat ini  hampir semua media massa nasional memiliki terbitan khusus edisi tiap daerah.
            Realitas ini sesungguhnya kian mempermudah media massa untuk tampil dengan kekhasan masing-masing daerah dengan lokalitasnya, seperti misalnya Kedaulatan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah koran khas ‘Ngayogjokarto’, korannya orang-orang Jogja dengan lokalitas kedaerahannya atau Suara Merdeka yang dinggap sebagai koran khasnya orang-orang ‘Jawa Tengahan’. Di Jawa Timur ini, kita memiliki banyak dengan keunikan dan kekhasannya, andai tiap media yang terbit di tiap derah ini mensosialisasikan bahasa media massa dengan kekhasan daerahnya dalam salah satu rubriknya, tentu saja mosaik keragamanan lokalitas kita tetap akan terjaga. Hal yang sama seharusnya juga dimainkan koran-koran kita yang terbit di setiap daerah dengan selalu mengedepankan, tidak hanya beritanya, melainkan nuansa dan bahasa yang digunakannya.
Penutup
            Media massa mempunyai peran yang sangat krusial dalam sosialiasi nilai dalam masyarakat. Oleh karena krusialnya fungsi inilah, media massa mempunyai tanggung jawab sosial yang besar. Salah satu tanggung jawab yang harus diembannya adalah pewarisan sosial berbagai nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki lapisan masyarakat kita di berbagai daerah. Bahasa media massa harus memainkan peran menjaga kebertahanan kearifan lokal dalam masyarakat penggunanya.
            Media massa kita memiliki tanggungjawab sosial dalam mengembalikan lagi (jika memang pernah ada) tatanan berbahasa yang sehat dan santun dengan berbagai kearifan yang dimiliki masyarakatnya. Dengan demikian, bahasa media massa kita akan sanggup meminimalisir terjadinya involusi fungsi dalam ’bahasa’ yang oleh –Daniel Dhakidae- disebut sebagai cara berbahasa yang sakit yang melanda masyarakat kita belakangan ini. Dan memang benar kata Alfred Korzybski seorang bapak teori General Semantics yang mengatakan bahwa ”hanya orang-orang yang berbahasa sehatlah yang bisa berjiwa sehat. Kebanyakan penyakit jiwa justru disebabkan kerancuan menggunakan bahasa”. Semoga bahasa media massa kita menyelamatkan potensi penyakit modernitas karena kesalahan dalam berbahasa. Wallohu’alam bisshowab
Daftar Pustaka
Bandem, I Made, “Melacak Identitas di tengah Budaya Global, dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. X-2000, Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
Hatta, Muhammad, 1954, Ke Mana Arah Kebudayaan Kita ? dalam Kumpulan karangan, Jilid IV, Jakarta: Balai Buku Indonesia
Ibrahim, Idi Subandy dan Dedy Djamaluddin Malik (editor), 1997, Hegemoni Budaya, Yogyakarta: Bentang
Kleden,  Ignas, 1987, Sikap ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, hlm. 162
Munsyi, Alif Danya, 2005, Bahasa Menunjukkan Bangsa, Jakarta: Kompas Gramedia Group
Peransi, D.A., “Retradisionalisasi dalam  Kebudayaan”, dalam Jurnal Prisma No. 6, 1985, Tahun XIV, Jakarta: LP3ES, hlm. 8
Rahzen, Taufik, “Global/Lokal”, dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. X-2000, Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
Salim HS , Hairus, dan Muhammad Ridwan, 1999, Kultur Hibrida, Anak Muda NU di jalur Kultural, Yogyakarta: LkiS, hlm. 2
Veeger, K.J, 1990, Realitas Sosial; Refleksi filsafat social atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi, Jakarta: Gramedia, hlm. 18-19



[1] Listiyono Santoso,  staf pengajar ilmu filsafat di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
[2] Istilah volkgeist dilontarkan oleh von Savigny yang berkeyakinan bahwa setiap masyarakat mempunyai volkgeist (jiwa bangsa) yang membedakannya dengan masyarakat lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar