Search This Blog

Selasa, 15 Juni 2010

Saatnya Tumbuhkan Adab di Jalan Raya

[Metropolis, Jawa Pos, Rabu, 06 Agustus 2008 ]
Saatnya Tumbuhkan Adab di Jalan Raya
OLEH : LISTIYONO SANTOSO, Pengajar Filsafat dan Etika Universitas Airlangga

Polisi tidur merupakan cermin ketidakpercayaan masyarakat terhadap etika berkendaraan kita. Jangan-jangan, kesantunan kita di jalan raya memang baru muncul ketika diberi hambatan."

------
----

PROBLEM kemacetan lalu lintas selalu jadi topik hangat. Di berbagai sudut metropolis Surabaya ini, banyak simpul-simpul kemacetan. Misalnya, di Wonokromo atau Jembatan Merah. Penyebabnya sederhana, tabiat sopir angkutan umum yang berhenti dan memarkir kendaraannya di sepanjang jalan tersebut meski sudah jelas terdapat tanda dilarang berhenti dan parkir. Bahkan, harian ini juga pernah menuliskan soal takutnya seorang profesor tamu dari ITS ketika menyeberang jalan raya di Surabaya.

Sang profesor yang kebetulan dari luar negeri itu tentu heran melihat perilaku masyarakat kita di jalan. Mungkin, dalam pikirannya terselip sebuah tanya sudah berperadabankah masyarakat kita ini? Bagaimana mungkin masyarakat yang beradab, tapi tidak memiliki keadaban publik dengan menghargai pengguna jalan lain?

Apa yang (mungkin) dibayangkan sang professor bisa jadi benar. Di banyak negara maju, ruang publik seperti jalan raya berhubungan dengan keadaban publik masyarakatnya. Jalan raya adalah penanda. Salah satu syarat peradaban sebuah entitas manusia dan sebuah bangsa. Jalan raya, begitu juga ruang publik lain, seperti terminal bus, stasiun kereta api, dan pasar adalah semiotika massa. Ia -meminjam terminologi Djadjat Sudrajat (2008)- tidak perlu tafsir tinggi untuk mencari makna di tengah keriuhan ruang-ruang publik itu. Tidak saja fisik jalannya, tetapi juga perilaku penggunanya merupakan penanda keadaban publik.

Perhatikan bagaimana perilaku berkendaraan sebagian masyarakat kita di sepanjang jalan di metropolis ini. Selain tidak mengindahkan peraturan lalu lintas, kesantunan berkendaraan pun tidak jarang terabaikan. Mobil angkutan umum berhenti sembarangan. Suara klakson yang riuh rendah. Pengendara sepeda motor zig-zag dan ngebut. Suara knalpot dibuat bising. Selain itu, penggunaan handphone (HP). Kebiasaan buruk saya menerima telepon tatkala berkendaraan telah berakibat tidak baik bagi pengguna lain. Itu menyadarkan saya tentang betapa berbahaya perilaku demikian.

Di jalan raya memang banyak peraturan dan pesan dibuat, tapi selalu berhenti pada slogan. Setiap peraturan bagaikan pesan untuk dilupakan. Ada rambu dilarang berhenti. Namun, tetap saja banyak kendaraan yang berhenti. Dilarang parkir juga tidak berarti kendaraan tidak boleh parkir. Traffic light pun tidak lagi dianggap sebagai pengatur arus lalu lintas, melainkan lampu penghambat.

Traffic light menyala kuning mestinya baru jadi penanda pelan-pelan atau persiapan berhenti dalam berkendaraan karena ada pergantian perintah. Tapi, itu justru dimaknai untuk segera tancap gas dengan kekuatan maksimal.

Riuh rendah penggunaan klakson kendaraan pun menjadi buktinya. Sedikit saja ada kemacetan, mungkin karena ada orang yang menyeberang, pengendara sangat suka mengobral bunyi klakson. Bukankah tidak akan ada pengendera yang mau kos di jalan raya? mengapa kita begitu suka bersautan klakson?

Di beberapa negara, bunyi tersebut menandakan dua hal. Yakni, orang itu sedang marah atau bodoh. Bahkan, ada yang berfungsi untuk mengusir hewan yang ada di jalan. Belum lagi, pejalan kaki kita yang juga menyeberang jalan tidak pada tempatnya. Ini seperti pesan di tiap bungkus rokok yang mengingatkan bahayanya merokok bagi kesehatan, tapi tetap saja orang membeli dan merokoknya.

Jadi, benar bahwa melihat keadaban public kita dapat diketahui dari perilaku kita di jalan raya. Penghargaan kita terhadap ruang public sesungguhnya adalah cermin dari peradaban publik kita. Kian beradab masyarakat pastinya berkorelasi dengan kesantunan mereka dalam ruang publik. Menjadi benar jika tingkat keadaban publik kita sesungguhnya adalah bagian dari kultur kita.

Kultur yang ada sering bisa menjadi hambatan bagi keberhasilan sebuah program. Ini termasuk peraturan di jalan raya yang terhambat oleh perilaku (kultur) masyarakat kita. Adanya polisi tidur di beberapa ruas jalan, misalnya, merupakan cermin ketidakpercayaan masyarakat terhadap etika berkendaraan kita. Jangan-jangan, kesantunan kita di jalan raya memang baru muncul ketika diberikan sejumlah hambatan di setiap jalan.

Tidak mudah memang mengubah kebiasaan masyarakat meski itu bukan hal yang mustahil. Ada beberapa langkah mengubah dan mendorong masyarakat memiliki etika kesantunan di jalan raya. Pertama, menanamkan nilai objektif berupa kejujuran, kedisiplinan, penghargaan pada ruang publik sejak usia dini. Hal tersebut bisa dilakukan melalui kurikulum pendidikan. Polwiltabes Surabaya dan Dispendik Surabaya telah mengusulkan agar lalu lintas masuk muatan lokal SD dan SMP (Metropolis, 23/06/2008).

Kedua, menghidupkan kembali Gerakan Disiplin Nasional (GDN) yang pernah dicanangkan di negeri ini. Dengan menggandeng media massa, gerakan itu akan bisa menggerakkan masyarakat memiliki kesadaran publik. Sebagaimana dilakukan oleh Polwitabes Surabaya yang menggandeng Jawa Pos dalam mengampanyekan Safety Riding dan Responsible Riding. Tatkala disosialisasikan oleh Jawa Pos, dua program tersebut mendapat respons luar biasa di kalangan masyarakat Surabaya. Sayangnya, setelah sosialisasi, tujuan kedua program tersebut seolah mulai dilalaikan.

Ketiga, konsistensi penegakan hukum. Artinya, pihak yang berwenang harus selalu konsisten dalam menegakkan setiap peraturan yang sudah diberlakukan. Kegagalan pelaksanaan program sering juga disebabkan tidak konsistennya pelaksanaan program tersebut. Banyak pelanggaran terhadap peraturan lalu lintas yang cenderung dibiarkan.

Tragisnya, pengendara justru menikmati pembiaran itu untuk berhenti seenaknya, ngebut, dan sebagainya. Apabila pihak kepolisian selalu konsisten dan tegas terhadap setiap pelanggaran sekecil apa pun, niscaya hal itu dapat membuat pengendara selalu berhati-hati.

Keadaban publik tampaknya memang tidak dilahirkan, tetapi diciptakan. Cara pandang kita terhadap ruang publik, termasuk jalan raya, harus segera diredefinisi ulang. Jangan sampai kita dianggap sebagai bangsa tidak beradab hanya karena tidak memiliki kesantunan di jalan raya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar