Search This Blog

Selasa, 15 Juni 2010

Geliat Kampung Tematik di Surabaya

[Metropolis, Jawa Pos,  Sabtu, 27 Februari 2010 ]
Geliat Kampung Tematik di Surabaya
Oleh: Listiyono Santoso

Fenomena menarik belakangan bermunculan mengiringi geliat aktivitas kampung-kampung di Surabaya. Kesadaran menjadikan kampungnya sebagai kampung yang bercitra bersih dan hijau, tampaknya, sedang menggejala.Bukan sekadar untuk
menepis kesan negatif sebagai kampung kumuh, melainkan memberikan sebuah kesadaran tentang makna pentingnya penataan lingkungan sebagai ekologi manusia. Tidak heran jika kemudian terlahir sejumlah identitas yang memberikan citra positif atas kehadiran kampung-kampung tersebut.

Geliat kampung Surabaya tersebut menarik untuk dicermati. Setidaknya, itu bisa diperhatikan dari atribut yang kerap dilekatkan kepada aktivitas mereka. Selama ini identitas kampung di Surabaya lebih berlatar etnisitas seperti Kampung Arab, Kampung Pecinan, dan sebagainya. Saat ini identitas tersebut berlatar aktivitas sosial yang positif. Belum selesai dengan kehadiran kampung-kampung wisata seperti Kampung Bordir (Kedung Baruk), Kampung Batik (Rungkut), Kampung Daur Ulang, Kampung Handycraft (Kedung Sari), Kampung Jahit (Gubeng), Kampung Jamu (Gunung Anyar), Kampung Keripik Tempe (Sukomanunggal), Kampung Kue Basah (Rungkut), Kampung Lombok (Made), Kampung Sepatu (Tambak Osowilangun), dan Kampung Tas, atau Kampung Religius di Ampel dan Lasem Barat, kini publik dikagetkan dengan kehadiran kampung wisata lainnya yang menggunakan isu lingkungan sebagai ikonnya.

Metropolis Jawa Pos merupakan media yang tidak lelah memberitakan kehadiran kampung-kampung tersebut sebagai ikon baru wisata kampung di Surabaya. Bermula dari kampanye Surabaya Green and Clean hasil kerja sama lintas bidang (pemkot, swasta, dan media Jawa Pos dan Radar Surabaya) beberapa tahun terakhir yang selalu mendapatkan apresiasi dan respons luar biasa, warga kampung di Surabaya tampaknya mulai menyadari pentingnya penataan lingkungan bagi kehidupan manusia. Surabaya Green and Clean merupakan kompetisi di bidang kebersihan, penghijauan, dan kesehatan antar kecamatan di Kota Surabaya. Antusiasme warga menyambut kompetisi tersebut berbuah bagi penataan lingkungan kampung menjadi lebih hijau, bersih, sehat, dan estetis. Tidak heran jika kampung-kampung hijau itu menjadi daya tarik tersendiri Kota Surabaya yang sudah sumpek dengan kehadiran mal-mal di jantung kota.

Ikon Kampung

Metropolis (Kamis, 21 Januari 2010) menghadirkan tulisan tentang Wisata Kampung Tengah Kota Bubutan, tepatnya di Kelurahan Gundih. Sebuah desa yang pada 2009 menyabet gelar kompetisi Surabaya Berbunga. Kampung itu kemudian menjadi kampung wisata yang selalu dibanjiri wisatawan lokal maupun internasional. Lingkungan kampung yang berhias pepohonan dan bunga merupakan nilai estetis sebuah kampung di tengah kota.

Kecamatan Jambangan pun tidak kalah berbenah. Sebagai kecamatan yang sudah mengampanyekan diri sebagai kampung wisata, kampung Jambangan menawarkan berbagai kerajinan daur ulang dari aneka plastik. Mulai botol bekas air minum, wadah pewangi, hingga bermacam bungkus snack warna-warni. Sampah-sampah itu lalu disulap menjadi aneka tas, vas, hingga payung. Meski berasal dari sampah kering, kerajinan olahan penduduk setempat itu tak terlihat murah. Malah, banyak hasil olahan tersebut yang diekspor ke Jepang, Australia, dan Inggris (Metropolis Jawa Pos, 13/02/ 2010).

Bahkan, kampung yang dikenal sebagai Kampung Green and Clean itu sudah mulai merealisasikan mimpinya tersebut. Melalui program wisata lingkungan yang digagas Camat Jambangan Nonot Indriyanto, Kampung Jambangan segera mewujudkan gagasan kreatif itu. Meski harus menelan dana Rp 2,6 miliar (Metropolis, 17/02/2010), masyarakat Jambangan tampaknya begitu antusias merespons gagasan tersebut.

Belum selesai ketakjuban kita atas geliat wisata kampung di Surabaya dengan ikon lingkungan, tiba-tiba hadir pula sebuah kampung yang menjadi ikon kampung antinarkoba, yakni Kampung Nagabonar di RT 19, RW 6, Tambak Asri, Morokrembangan. Kampung yang dulu dikenal sebagai sarang prostitusi itu ternyata sudah satu tahun ini menjadi kampung antinarkoba. Kampung yang dikenal dengan Nagabonar (Taruna Ganyang dan Bongkar Narkoba) tersebut seolah mencoba menghilangkan citra negatif sebagai bekas kampung prostitusi menjadi bermakna positif; bersih dan sehat dari narkoba serta penyakit sosial lainnya (Metropolis 17/02/2010).

Kehadiran kampung wisata yang menjual ikon masing-masing patut diapresiasi dan menjadi teladan bagi warga lainnya. Bagaimanapun, sejak awal kota ini telanjur melekat dengan Kampung Dolly sebagai kampung prostitusi serta kota dengan geliat mal begitu masif di negeri ini, harus tetap menampilkan kesan sebagai kampung yang juga ramah terhadap lingkungan.

Menumbuhkan Kesadaran

Lalu, apa sebenarnya yang patut diapresiasi atas kehadiran sejumlah kampung wisata dengan ikon berbeda tersebut. Kampung Surabaya sebagai kampung besarnya warga Surabaya memberikan kebebasan kepada setiap kampung untuk menampilkan citra positifnya sebagai sebuah identitas. Tiap kampung di Surabaya memiliki potensi berbeda-beda. Membiarkan mereka sembari memberikan pendampingan untuk menjadi kampung yang lebih baik dan maju adalah langkah taktis dan strategis. Hal itu disebabkan kesadaran menjaga lingkungan bercitra positif sudah selayaknya menjadikan warga kampung sebagai motor penggeraknya.

Melalui tema besar seperti Surabaya Green and Clean, pemerintah kota hanya tinggal mendorong munculnya kesadaran warga sebagai pemiliki sah fasilitas publik ketimbang harus memberikan perintah untuk sadar. Dalam prinsip etis, mendorong orang berbuat baik lebih baik ketimbang memerintah orang berbuat baik. Dengan demikian, kesadaran terhadap nilai positif seperti kebersihan dan kesehatan akan muncul dari warga itu sendiri bukan atas sebab sebuah perintah.

Kehadiran sejumlah kampung dengan ikon yang berbeda itu tentu akan memberikan inspirasi bagi warga kampung lain untuk berbenah diri. Keyakinan bahwa setiap kampung memiliki keunikan dan kekhasan yang bersifat positif layak dikenali dan dikembangkan sebagai ikon kampung masing-masing. Melalui support sistem dan sosial, ke depan kita akan berkeyakinan kampung-kampung bercitra positif lain segera bermunculan, seperti kampung sadar hukum, kampung pendidikan, kampung sadar membaca, kampung sadar politik, kampung bebas korupsi, atau ikon kampung lain yang pasti akan bermunculan. Semoga. (*/mik)

* Staf pengajar ilmu filsafat dan etika di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar