Search This Blog

Sabtu, 28 Maret 2009

Reproduksi Kelas Sosial dalam Kapitalisasi Pendidikan

Reproduksi Kelas Sosial dalam Kapitalisasi Pendidikan
Oleh : Listiyono Santoso

Rasanya tidak sepenuhnya keliru bila masyarakat beranggapan bahwa lembaga pendidikan di negeri ini sudah tergelincir dalam belitan korporatisasi dan jeratan bisnis. Tidak saja oleh mahalnya biaya (normal) pendidikan, melainkan diperparah oleh munculnya berbagai kebijakan di berbagai lembaga pendidikan dari tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi yang diperuntukkan kepada orang tua murid untuk membayar sejumlah sumbangan (sukarela). Meskipun kebijakan membayar sumbangan sifatnya sukarela, prakteknya berubah menjadi sumbangan wajib. Apalagi ketika jumlah sumbangan sudah ditentukan angka nominalnya, minimal sekian juta rupiah.
Fenomena ini menjadi realitas empirik dalam dunia pendidikan kita belakangan ini. Pada hampir semua jenjang pendidikan, jumlah nominal uang yang harus dibayarkan –seolah- menjadi faktor determinan diterima tidaknya seseorang dalam lembaga pendidikan tersebut. Meskipun ada seleksi tes masuk, tapi ukurannya bersifat kualitatif dan relatif tidak jelas. Untuk masuk SD, sudah lama berlaku sebuah peraturan aneh yang menurut Abdul Gaffar Karim (2003) mungkin hanya ada di Indonesia, bahwa calon siswa harus bisa membaca dan berhitung. Menurutnya, derajat kelancaran membaca dan berhitung kerap menjadi ruang tawar menawar antara pihak sekolah dan orang tua. Mau anaknya bisa masuk SD tapi tidak terlalu lancar membaca, maka disini terdapat biaya lebih yang harus dibayar. Mau masuk SMP dan SMU ? Jika dulu ada NEM yang jelas betul ukurannya. Kini NEM tidak ada lagi, dan ujian masuk SMP dan SMU menjadi benar-benar kualitatif. Repotnya, yang kualitatif tersebut biasanya bersifat sumir, dan mudha berubah jadi ruang tawar menawar dengan uang sebagai penentunya.
Jika realitas ini terus menerus dipertahankan, maka masyarakat golongan ekonomi tidak mampu jelas paling terkena dampaknya. Dalam situasi normal saja, mereka masih kesulitan memasukkan anak-anak ke lembaga pendidikan, kini harus dihadapkan pada situasi kian melangitnya biaya pendidikan. Mereka jelas tidak mampu membayangkan, ketika harus mengeluarkan uang dengan kisaran jutaan rupiah untuk (sekedar) menyekolahkan anaknya. Bagi mereka, uang jutaan rupiah tidak hanya besar, tapi terlalu berharga kalau dikeluarkan untuk biaya sekolah anak, yang masih belum jelas hasilnya. Lebih baik diinvestasikan untuk kepentingan penambahan ekonomi keluarga yang jelas hasilnya, ketimbang harus menyekolahkan anak-anaknya.
Kenyataan ini mendorong munculnya sikap apatis dan skeptis masyarakat penghasilan rendah untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Karenanya, menjadi wajar bila Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2001 menunjukkan bahwa akses golongan berpendapatan rendah terhadap pendidikan tinggi hanya 3,2 persen, sedangkan golongan berpendapatan tinggi mencapai 30,6 persen. Pertanyaannya, mengapa akses golongan berpendapatan rendah begitu sedikit dibanding golongan berpendapatan tinggi di bidang pendidikan tinggi ?
Kalau diprediksi, jawabannya adalah pertama, ketidakmampuan dan ketakutan mereka dengan mahalnya biaya pendidikan. Biaya pendidikan tidak hanya pada waktu awal tahun ajaran baru, tetapi keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan ketika anak-anaknya menempuh pendidikan. Kedua, tidak adanya jaminan masa depan atas nasib anak-anaknya setelah lulus pendidikan. Realitas membengkaknya angka pengangguran dari para lulusan pendidikan merupakan bukti atas ketidakpastian nasib lulusan sekolah formal. Banyak harta masyarakat sudah diinvestasikan untuk pendidikan, tapi setelah lulus tidak mendapatkan apa-apa.
Reproduksi Kelas Sosial
Harus diakui, bahwa memang di semua negara yang sudah ‘disekolahkan’, pengetahuan dianggap sebagai bekal utama untuk mempertahankan hidup, sekaligus dianggap sebagai alat tukar lebih laku ketimbang rupiah maupun dolar. Semakin banyak seseorang mengkonsumsi pendidikan, seharusnya semakin banyak ‘stok pengetahuan’ yang diperoleh. Seiring dengan itu, semakin tinggi pula posisinya dalam hirarki ‘kapitalis’ pengetahuan (Amirudin, 1993). Tidak itu saja, bahkan banyak orang sampai sekarang masih berkeyakinan bahwa pendidikan adalah alat baru untuk menaikkan posisi sosialnya dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh diharapkan semakin tinggi pula status sosialnya dalam masyarakat. Dengan demikian, akan semakin memudahkan pula untuk mendapatkan akses pekerjaan.
Ternyata harapan tersebut seperti mimpi di siang bolong. Karena menurut Bourdie sebagaimana dikutip Haryatmoko (Kompas, 21/07/2003) bukankah asal usul peserta didik menjadi faktor paling menentukan dalam keberhasilan atau kegagalan di sekolah maupun juga dalam mencari pekerjaan. Betapa tidak, setelah lulus dari perguruan tinggi, untuk menemukan pekerjaan saja, hubungan-hubungan sosial ikut menentukan, apalagi jabatan mapan. Padahal, keluarga berpenghasilan rendah, biasanya lemah dalam modal sosial ini.
Dengan demikian, lembaga pendidikan –dalam kenyataan- hanya menjadi alat untuk semakin mengukuhkannya kelas sosial dalam masyarakat. Atau, justru menciptakan struktur kelas baru dalam masyarakat. Alih-alih dapat menjadi alat memutus mata rantai kemiskinan, tetapi justru semakin menyuburkan reproduksi kelas sosial. Prinsip ini seolah merupakan mekanisme kerja dari kapitalisme. Sebagaimana kritik Marx atas kapitalisme, bahwa ia hanya menjadi alat bagi tujuan penghisapan, dari kelas borjuis (orang-orang kaya) kepada kelas proletar (orang-orang miskin). Kapitalisme tidak lebih dari alat untuk mereproduksi kelas-kelas borjuasi dalam struktur masyarakat modern.
Tampaknya kapitalisasi pendidikan adalah perpanjangan tangan dari model kapitalisme yang pernah dikritik Marx tersebut. Ia seperti lembaga bisnis. Di dalamnya –ternyata- bersembunyi berbagai kepentingan-kepentingan untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai lahan bagi pengerukan harta benda masyarakat. Dan memang, lembaga pendidikan merupakan lahan potensial bagi upaya tersebut. Kebutuhan yang besar masyarakat terhadap pendidikan anak-anaknya merupakan ladang ‘menggiurkan’ untuk menaikkan posisi tawar menawar lembaga pendidikan, apalagi bila lembaga tersebut termasuk dalam kategori favorit.
Sekolah-sekolah favorit diakui atau tidak adalah salah satu lembaga yang paling bertanggungjawab atas munculnya kesenjangan sosial yang direproduksi oleh lembaga pendidikan. Hampir dapat dipastikan di sekolah-sekolah tersebut hanya akan melayani kepentingan masyarakat berpenghasilan tinggi. Hampir tidak ada sekolah favorit di negeri ini yang mematok biaya murah. Alasannya, kualitas pendidikan yang selama ini diperolehnya membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Dari soal penyediaan fasilitas belajar yang lengkap, peningkatan wawasan guru, pembimbingan kepada anak-anak atau untuk.keperluan ekstrakurikuler unggulan, dsb.
Pengkotak-kotakan antara sekolah favorit dan tidak tersebut akhirnya turut pula menyumbang munculnya ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Masyarakat berpenghasilan rendah, meskipun anaknya mempunyai kemampuan akademik tinggi, harus rela untuk menyekolahkannya ke sekolah-sekolah yang tidak bermutu. Apalagi, masyarakat miskin yang anaknya tidak mempunyai kemampuan akademik tinggi, jelas semakin tertutup peluangnya untuk memperoleh pendidikan di sekolah favorit. Akibatnya, sekolah favorit sebagaiman lembaga pendidikan lainnya, didirikan hanya untuk melayani kepentingan masyarakat berpenghasilan tinggi disertai (kadang-kadang) kemampuan akademik anak-anaknya tinggi pula.
Inilah kemudian disebut sebagai reproduksi kelas sosial secara terus menerus. Pendidikan pada akhirnya hanya berfungsi untuk melanggengkan struktur pembagian kelas dalam masyarakat. Masyarakat kaya, akan semakin terkukuhkan dengan logika kapitalisasi pendidikan. Sedangkan masyarakat miskin, akan semakin terpuruk dengan kemiskinannya. Karenanya, tidak berlebihan bila, Ivan Illich (1971) mengatakan bahwa selama beberapa generasi kita telah mencoba membuat dunia ini menjadi tempat tinggal yang lebih layak dengan menyediakan sekolah-sekolah yang banyak. Tetapi, sejauh ini usaha tersebut percuma saja. Sebaliknya, kita malah belajar bahwa memaksa semua anak untuk mendaki jenjang pendidikan yang tidak ada habisnya akan semakin memperlebar jurang kesenjangan.
Sebagai catatan akhir, tampaknya sudah saatnya kita menata ulang konsep pemerataan pendidikan secara lebih adil. Bahwa untuk menciptakan kualitas pendidikan diperlukan biaya mahal, kita sepakat. Tetapi, apakah semua yang berkaitan dengan hal tersebut harus dibebankan keseluruhannya kepada masyarakat secara sama rata. Sudah pasti sangat sedikit masyarakat yang akan mampu membiayai keseluruhan biaya pendidikan yang memang mahal tersebut, jikalau tidak ditanggung bersama seluruh masyarakat, baik melalui subsidi silang maupun melalui pajak. Dengan demikian, sudah saatnya kita memotong mata rantai bercokolnya lembaga pendidikan yang berfungsi mereproduksi kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
* Listiyono Santoso, dosen dan peneliti K3M Fakultas Sastra UNAIR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar