Search This Blog

Selasa, 03 Maret 2009

Beragama (Islam) Inklusif : Upaya Membelah Tempurung Reduksi Agama[1]

Beragama (Islam) Inklusif :
Upaya Membelah Tempurung Reduksi Agama[1]
oleh : Listiyono Santoso

Prolog :
Islam Inklusif yang belakangan ini menjadi tema menonjol dalam konstelasi pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia (khususnya) tampaknya kembali menjadi sorotan. Di satu sisi, ia begitu ‘diidolakan’, terutama oleh kalangan muda yang tumbuh mekar di pesantren maupun kampus-kampus agama (IAIN), sebagai bentuk kepekaan baru dan peralihan paradigma dalam ‘membaca’ realitas keberagamaan sekaligus membaca ulang bahasa-bahasa agama. Di sisi lain, sebagian kalangan, utamanya kaum muda yang
tumbuh di luar garis kultural pesantren di mayoritas bersemayam di kampus-kampus umum, justru terlalu cepat mencurigai dan melecehkannya. Paradigma Islam Inklusif dianggap dan diidentikkan begitu saja dengan relativisme radikal yang mengarah pada munculnya anarkhisme epistemologi atas kebenaran dan kesempurnaan Islam sebagai agama.[2]
Tidak jelas secara pasti, apakah kedua sisi tersebut lahir secara bersamaan atau yang satu merupakan implikasi logis dari yang lainnya. Inklusivitas muncul karena adanya paham eklusivitas, atau sebaliknya, eklusivitas merupakan akibat langsung dari paham inklusivitas. Yang jelas keduanya merupakan dua entitas yang saling bertalian sebagai sebuah dialektika sejarah, yang dalam bahasa Hegel; tesis-antitesis-sintesis[3]. Artinya, pemahaman keagamaan kita seringkali dihadapkan pada munculnya dua arus utama yang (ironisnya) bersifat –meminjam terminologi Ferdinand De Saususre- binary opposition. Selalu saja akan muncul paradigma ‘melawan’ arus mainstream yang akan berhadapan vis a vis[4]. Sayangnya, umat Islam –dalam banyak hal- tidak dibiasakan untuk memahami secara sadar munculnya berbagai bentuk pemikiran-pemikiran alternatif (lain) sebagai suatu keniscayaan sejarah, meski seringkali pemikiran tersebut berbanding terbalik secara ‘hitam-putih’.
Munculnya pemikiran baru akan dipahami secara stigmatig sebagai bentuk penyimpangan dari arus utama yang berkembang. Arus mainstream diletakkan sebagai ‘juru tafsir’ satu-satunya yang sah atas penafisran agama. Pemikiran (keagamaan) yang dominan dianggap sebagai satu-satunya kebenaran tafsiran, yang menolak munculnya tafsiran baru[5]. Dilihat dari sudut sosiologis, -meminjam terminologi Mohammad Sobary[6]- terutama dalam kaitan dengan proses sosial yang masih terus berlangsung –dan memperlihatkan bahwa segala sesuatu pada dasarnya masih sibuk ‘membentuk’ dirinya- pemahaman seperti itu mengakibatkan kebekuan dan tidak menarik. Soalnya, dalam hidup, sesuatu –termasuk model pemikiran- yang sudah jadi (mapan) dan hegemonik, sering tidak bersedia diajak; “tawar-menawar’. Sekali ‘jadi’ tetap ‘jadi’, dan perspektif lain, karenanya tidak boleh ‘hadir’ bahkan ‘dihadirkan’.
Dalam terminologi ini, maka memahami lahirnya paradigma Islam Inklusif versus Islam Eksklusif (misalnya) secara binary oposition –meski keduanya memang bertolak belakang- akan melahirkan benturan-benturan yang sifatnya konterproduktif. Seharunya, keduanya dipahami sebagai suatu bentuk kewajaran dalam kreativitas pemikiran manusia –dalam koridor tertentu- tanpa harus saling ‘menghardik’ dan ‘menghakimi’, apalagi dalam konteks pemahaman keagamaan. Hal ini karena persoalan keagamaan seringkali berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya personal; yang tidak hnya berkaitan dengan rasionalitas, melainkan juga rasa yang berurusan dengan wilayah unspekable yang melembaga di bagian terdalam diri manusia: hati dan intuisi.
Truth claim penafsiran keagamaan pada akhirnya justru mereduksi absolutivitas kebenaran Tuhan, yang sifatnya dogmatik. Padahal kita tidak ingin hidup di bawah tirani kesadaran normatif idiil –apalagi yang sekedar tafsiran manusia- seperti itu. Maka jalan keluar harus dibangun betatapun sukarnya, agar kebebasan –dalam pemikiran maupun pemahaman atas perkara hidup: termasuk pemahaman keagamaan- bisa dinikmati. Kita tidak ingin agama yang ramah, yang turun ke bumi untuk mengatur dan menata kesejahteraan manusia itu, dipahami secara konterproduktif menjadi sesuatu yang malah serba menakutkan.[7]
Terlepas dari persoalan ini, prolog panjang ini hanya untuk mengantarkan kita pada suatu pendekatan komprehensif atas munculnya fenomena Islam Inklusif sebagai keniscayaan sejarah yang mesti diterima secara wajar, tanpa euphoria dan tanpa sebuah kecurigaan mendasar. Artinya, sudah saatnya, umat Islam membangun suatu dialog konstruktif; agar proses pencarian kebenaran Mutlak (milik Tuhan) dapat dijalankan secara terus menerus. Bukan persoalan siapa yang benar, melainkan bagaimana proses pencarian kebenaran itu ditemukan; bukan siapa melainkan bagaimana.
Barangkali Erich Fromm[8] benar tatkala menyatakan bahwa dengan melihat kenyataan adanya naluri beragama dari manusia –agama apapun dia- termasuk ‘ersatz religion’, ‘religio illicita’ dan ‘religio equivalents’ seperti Fasisme, Nazisme dan Marxisme- maka persoalannya bukanlah terutama bagaimana mendorong manusia untuk bergama, melainkan bagaimana manusia dapat menemukan agama atau cara memeluk agama dan menghayatinya begitu rupa sehingga tidak membuatnya lumpuh secara kerohanian, melainkan yang akan mengembangkan lebih lanjut nilai kemanusiaannya sendiri dan membuat mekar potensi spesifiknya sebagai manusia.
Dengan demikian, jenis (penafsiran) keagamaan yang jelas sekali tidak dikehendaki dan tidak dapat diterima ialah (tafsiran) agama yang membuat seseorang tunduk patuh dan pasrah total kepada sesama manusia dan membuatnya terasing dari dirinya sendiri meskipun semuanya dilakukan dalam ‘kedok’ menyembah Tuhan.[9] Kepasrahan total pada seseorang akan melahirkan suatu gejala kultus (cult), yaitu bentuk gerakan spiritual (dan keagamaan) dengan sistem pengorganisasian yang ketat, penuh disiplin, absolutistik, dan dengan sendirinya, kurang toleran kepada kelompok lain. Gejala kultus ini pada akhirnya memunculkan ‘gundukan’ fundamementalisme[10] cara beragama.

Discourse Islam Inklusif : Merunut Munculnya Distorsi Epistemologis
Belakangan ini, wacana Islam Inklusif memasuk wilayah VIP dalam konstelasi pemikiran ke-Islam-an di Indonesia. Setelah beberapa lama, umat dihadapkan suatu perdebatan panjang tentang Islam Rasional; kemudian Islam Peradaban dan akhirnya Islam Tarnsformatif,[11] kini percaturan dan pergolakan pemikiran umat (Islam) memasuki fase baru dengan di’kampanye’kannya Islam Inklusif sebagai bentuk perlawanan atas pemahaman keagamaan yang eksklusif dan tertutup. Meskipun harus diakui pemaknaan Islam Inklusif tidak begitu saja bisa disejajarkan dengan ketiga pemaknaan atas Islam di atas, tetapi pemikiran Islam Inklusif sedikit banyak diberi pijakan oleh ketiganya. Bahwa tokoh-tokoh dalam Islam Rasional, Islam Peradaban dan Islam Tarnsformatif di Indonesia utamanya adalah ‘merepresentasikan’ awal dibukanya ‘kran’ liberalisasi pemikiran (atas) Islam yang selama ini ‘terkukung’ oleh dogma-dogma dan mitologi.
Sebagai keniscayaan sejarah, maka lahirnya (pemikiran) Islam Inklusif pada dasarnya merupakan pendobrakan atas realitas (ekslusivitas) keagamaan yang diperankan oleh umat (Islam). Penganut Islam Inklusif seolah memperoleh suatu pencerahan (aufkalrung) setelah lama terlelap oleh tidur dogmatisnya. Betapa tidak ? Liberalisasi pemikiran Islam Inklusif dalam banyak hal sanggup melakukan ‘dekonstruksi’[12] atas bahasa-bahasa agama yang selama ini terlembaga secara ‘kaku’. Liberalisasi Islam Inklusif dalam artian sederhana diletakkan pada upaya untuk melakukan pendekonstruksian atas wacana keislaman yang selama ini dianggap beku. Namun, dekonstruksi yang dilakukan, sepertinya bukan untuk menihilkannya, melainkan untuk menuju apa yang disebut Komaruddin Hidayat[13] sebagai rekonstruksi konseptual dan pendakian rohani menuju Realitas Absolut.
Bagi penganut Islam Inklusif, liberalisasi pemikiran dalam (penafsiran) atas Islam akan mendorong terciptanya ‘suasana’ kehidupan ke(ber)agamaan yang damai dan toleran atas agama lain di tengah pusaran pluralitas keagamaan. Inklusivitas pemaknaan agama menjadi suatu keharusan ditengah realitas kemajemukan agama. Agama (Islam) yang Inklusif memberikan makna mendalam bagi terciptanya suasan ‘dialog’ antar agama, yang mungkin secara epistemologis tidak dapat disatukan.
Disadari betapa lahirnya Islam Inklusif merupakan antitesa dari adanya pemahaman keagamaan (selama) ini yang kaku; yang cenderung hitam-putih; bahwa ‘kita’ benar, ‘mereka’ salah, kita lurus mereka sesat. Kekakuan pemahamaan keagamaan menimbulkan suatu persoalan besar tatkala dihadapkan pada realitas kemajemukan, karena berakibat fatal timbulnya berbagai bentuk konflik berkepanjangan. Sejarah menjadi bukti tipikal pemahaman keagamaan seperti ini seringkali menjadi ‘penyulut’ utama terjadi konflik berdarah atas nama agama. Kekakuan pemahaman keagamaan ini menghadirkan claim truth tafsiran dengan memberikan ‘stigma’ kesalahan pada tafsiran lain, apalagi atas agama lain Maraknya konflik antar agama misalnya, acapkali bermuara pada semangat untuk memberikan stigma bagi keberagamaan yang lain.
Sebenarnya, ikhwal konflik antar umat beragama, disamping dipicu oleh unsur eksternal, tapi tidak kalah pentingnya lagi untuk disebut adalah, adanya distorsi epistemologi dalam menangkap absolutisme agama, yang alih-alih memperkokoh komitmen Ilahiyah pemeluk agama, malah, berkembang ke arah juvenile extremism (ekstrimisme mentah), yang dapat menumbuhsuburkan sikap eksklusivisme[14].
Pada dasarnya, absolutivisme, terutama yang berbentuk Realitas Mutlak atau Kebenaran Tertinggi (The Ultimate Reality) merupakan kebutuhan alami bagi manusia sebagai makhluk yang serba relatif (relativismus uber alles). Dengan kerelatifan itu, nalar rasional manusia acapkali gagal memberikan jawaban yang memuaskan jika dihadapkan pada persoalan eksistensi dan fundamental yang bersumber dari keberadaan dirinya dalam realitas kosmik, seperti tentang ikhwal ontologis manusia beserta proses telogis manusia dalam mengarungi kesemestaan kehidupan ini. Sebagai bukti kegagalan nalar manusia itu, dapat dilihat pada filsafat, yang meskipun telah diakui kecanggihannya dalam menguak hal-hal yang bersifat fundamental, toh pada akhirnya, filsafat harus mengakui sempitnya ruang epistemologis yang dimilikinya.[15]
Sempitnya ruang epistemologi dalam menerjemahkan Realitas Absolut ini menjadi suatu keadaan untuk memberikan asumsi betapa tafsiran-tafsiran yang kita berikan atas Kebeneran Absolut tidak sendirinya membuat tafsiran itu berlaku absolut. Hanya ditangan Tuhan, kebenaran mutlak memang tetap mutlak. Tapi –meminjam istilah Mohammad Sobary-[16] kita bukan Tuhan. Manusia dengan sendirinya tidak bisa hidup secara mutlak-mutlakan, sebab dengan pegangan aturan yang serba sempurna pun manusia tetap punya kecenderungan menyimpang.
Pemutlakan sebuah tafsiran keagaman –selama ini- cenderung menjadi cara pandang (religion way of knowing) yang selalu mengutamakan klaim kebenaran (truth claim) atas informasi kemutlakan yang diterima oleh masing-masing pemeluk agama. Klaim-klaim inilah yang secara sosiologis berpotensi memperlebar jarak sosial (social distance), serta menimbulkan pertentangan dan konflik realistik pada wilayah sosial-politik. Berbagai bentuk prasangka (teologis) menjadi mudah diletupkan, tatkala klaim kebenaran menjadi titik tolaknya. Padahal Eric Fromm pernah menyebut bahwa prasangka adalah pangkal keonaran sosial yang paling berbahaya[17]. Itulah sebabnya, dalam pergaulan agama, pendeknya, konsep ‘kesombongan’ mayoritas dan ‘tirani’ minoritas harus ditiadakan. Setiap pemeluk agama tidak boleh lagi melakukan menteror kesalehan masing-masing.
Sejarah telah memberikan bukti cukup jelas betapa konflik yang mengatasnamakan agama seringkali tidak pernah bisa diselesaikan secara penuh damai. Selalu saja muncul perlebaran eskalasi kekerasan atau konflik ketika agama dijadikan ‘pemicunya’. Setiap bentuk kekerasan atau konflik yang mengatasnamakan ‘agama’ maka beriringin dengan hal tersebut akan muncul kegitimasi teologis atas kekerasan yang terjadi. Munculnya sakralisasi kekerasan adalah fenomena yang tidak bisa dihindarkan. Artinya, setiap kekerasan atas nama agama dianggap sebagai sesuatu yang ‘sakral’ atau suci, karena dianggap sebagai pembelaan atas sesuatu yang (memang) suci.
Cara pandang yang menempatkan agama sebagai salah satu variabel konflik jika dihadapkan dengan cara pandang teologis, jelas terkesan anakronistik. Sebab, semua agama yang dibawa oleh para utusan Tuhan ke muka bumi ini pada hakikatnya berada dalam misi universal yang sama, yaitu, pertama, memberikan afirmasi terhadap kebutuhan spitirtual manusia terdapat struktur esensial yaitu sensus religious, kepekaan terhadap segala sesuatu yang bersifat Ilahiyah. Kedua, agama diharapkan mampu mewadahi terimplementasikan amal-amal sosial dan kemanusiaan. Dengan begitu kedekatan hubungan dengan Tuhan tidak hanya dibangun melalui ritus-ritus dan upacara-upacara yang rutin dan ketat, melainkan juga bisa dicapai melalui penciptaan harmoni sosial, pembelaan terhadap keadilan dan penindasan ataupun pengentasan sesama manusia dari keterbelakangan. Dengan demikian, kehadiran agama mengemban misi penyelamatan manusia (the salvation of man) dalam kehidupan dunia fisik, sampai kelak penghuni dunia metafisik.[18]
Problem utama yang kemudian muncul adalah problem hermenutik yang berkaitan dengan persoalan proses pemahaman atas ajaran agama. Sampai kapanpun persoalan ini terus berlanjut karena adanya perbedaan yang mendasar antara watak agama par excellence dengan realitas sosial manusia. Agama –sekali lagi- bersifat absolut karena bersumber dari realitas ontologis yang absolut juga. Sementara manusia bersifat realtif. Nah, ketika dikonstruksi oleh manusia, maka absolutisitas agama mengalami proses relativitas, bahkan mungkin juga distorsi. Pada titik ini maka terjadilah apa yang –mungkin- disebut oleh Samuel Hutington sebagai Clash of Civilization, karena setiap agama pasti akan mengusung klaim kebenarannya masing-masing, yang meski –ironisnya- kemutlakan itu dibangun dari sebuah penafsiran atau konstruksi yang dibuat sendiri oleh manusia yang serba relatif.
Realitas keagamaan yang demikian –disadari- telah memunculkan situasi yang stigmatis bagi agama, yang dalam rentang sejarahnya telah mengalami faith accompli. Itulah sebabnya, agama menurut Leobard Swidler dalam tulisannya,”The Age of Global Dialoque and Global Ethic,” untuk masa depan dihadapkan pada satu pilihan; death or dialogue. Sebuah tawaran yang menakutkan. Tetapi setidaknya, tawaran ini harus ditangkap sebagai keinginan untuk mengembalikan (peran) agama secara benar di tengan realitas masyarakat yang plural ini. Apalagi, manusia juga tidak mungkin menciptakan suatu –meminjam istilah Gus Dur- republik surga di bumi, yang semuanya serba ‘damai’, ‘satu bentuk kebenaran’, dsb.
Faith accompli atas (peran) agama memang layak untuk ‘diajukan’ tatkala kita menyaksikan sejumlah fakta tentang pengintegrasian agama dalam setiap konflik. Bahkan, dalam setiap perjalanan sejarah, selalu ada suatu babakan di mana agama mengalami decleaning, meskipun sebelumnya menjalankan peran yang menentukan dalam kehidupan manusia. Nietsche misalnya, seorang nihilis sejati, jauh-jauh sebelumnya telah memperingatkan kemungkinan bahaya nihilisme, yaitu runtuhnya seluruh nilai dan makna yang bersumber dari agama yang mengantarkan manusia ke dalam confused world. Terbuktilah ramalan Nietzche ? Agama memang tidak segera menemui ajal kematiannya, sebagaimana diteriakkan oleh Nietzche: ”Tuhan telah mati ! Kita telah membunuhnya!”[19].
Seorang novelis dan wartawan Inggris A.N. Wilson, pada tahun 1992 menerbitkan buku yang ‘menggemparkan’: Against Religion: Why We Should Try to Live Without IT (Melawan Agama: Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia)[20]. Buku yang isinya melakukan ‘penghujatan’ dan mungkin juga penghinaan atas agama adalah salah satu dari sekian banyak buku yang mencoba mempertanyakan peran agama di tengah hiruk-pikuknya kehidupan ini, apalagi ketika pernyataan tersebut didukung oleh sejumlah fakta betapa di banyak negara; seringkali terjadi pembunuhan, perang, dsb, yang ‘berlindung’ dibalik agama.
Sebenarnya, kalau ditelusuri secara epistemologik, ‘gugatan’ atas agama yang muncul seharusnya dipahami sebagai peringatan kepada kita bahwa dalam agama-agama, atau lebih tetaptnya, dalam lingkungan para penganut agama-agama selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang amat berbahaya. Sinyalemen serupa itu biasanya disanggah para penganut agama, sambil mengakui bahwa keonaran atau konflik memang senantiasa muncul di kalangan para penganut agama, namun agama tidak dapat disalahkan. Yangs alah adalah penganutnya, karena tidak memahami sekaligus mempraktekkan ajaran agama secara benar. Akan tetapi, seorang yang kritis akan membalik argumen itu dengan mengatakan: kalau agama itu memang benar, namun tidak mampu mempengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu ? Dan apa gunanya agama yang benar, namun tidak mempengaruhi watak pemeluknya ?[21]
Paradoks ini yang menjadi ‘dilema Wilson’, yaitu dilema bahwa agama mengajak kepada kebaikan, dan semakin orang yakin kepada agamanya, adalah semakin baik; tapi justru ‘orang baik’ itu semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kepada orang lain, bahkan merasa berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Ia justru menjadi sumber keonaran sendiri. Mungkin menjadi terbukti pernyataan seorang uskup Ortodoks Yunani dalam sebuah khutbahnya bahwa seorang agamawan yang baik adalah orang yang punya cukup iman untuk dapat menganiaya orang lain karena (diangga) kekeliruan keagamaan.[22]
Berbagai bentuk ‘hujatan’ atas agama ini –seharusnya- menjadi suatu kritik mendasar kita untuk memberikan rumusan atas cara beragama yang benar, baik secara sosiologis, lebih-lebih teologis. Dalam konteks plralitas beragama, maka semangat untuk menyodorkan klaim kebenaran atas nama agama harus dikritisi karena hanya melahirkan gundukan ekskluvisme dan fundamentalisme[23] yang membahayakan semangat untuk dapat hidup berdampingan di sebuah ‘ruang’ yang bernama dunia empirik.
Bahaya ekskluvisme dengan sendirinya mengharuskan kita untuk menyodorkan suatu ‘gerakan’ baru untuk kembali melakukan upaya dekontsruksi atas bahasa-bahasa agama yang seringkali disalahtafsiri. Upaya itu melahirkan fenomena Agama (Islam) Inklusif yang belakangan ini marak diberbagai diskusi-diskusi, utama perguruan tinggi keagamaan. Islam Inklusif yang belakang marak pasca terjadinya tragedi WTC (World Trade Centre), 11 September 2001, yang kemudian Amerika Serikat, yang memaknai dirinya sebagai ‘polisi dunia’ melemparkan wacana fundamentalisme Islam sebagai biang keladinya. Artinya, gerakan fundamentalisme Islam dianggap sebagai suatu gerakan teroris yang ‘mengancam’ yang harus segera dibasmi.
Terlepas dari ‘tindakan’ sewenag-wenang AS tersebut, agaknya kita (umat Islam) tetap memiliki tanggungjawab historis untuk membuktikan kesalahan epistemologi tuduhan AS atas Islam. Sebab, realitas empirik menjadi bukti betapa ada banyak gundukan fundamentalisme Islam yang ‘bertebaran’ dibeberapa negara, termasuk Indonesia. Meskipun demikian pembuktian (ajaran) Islam yang Inklusif bukanlah disebabkan adanya tuduhan dari gerakan fundamentalisme tersebut, melainkan karena hal tersebut merupakan suatu keharusan sejarah. Islam Inklusif adalah tawaran (paling) logis untuk menyikapi realitas kemajemukan ini. Kita tidak akan bisa melakukan suatu ‘proyek’ raksasa untuk menjadikan agama itu satu, bernama A atau B, sebab ia sekali lagi berurusan dengan sesuatu yang sifatnya personal.
Kontruk Islam Inklusif menawarkan cara pandang baru atas agama; untuk lebih terbuka ‘menerima’ realitas kemajemukan serta memahami setiap bentuk (tafsiran) kebenaran yang mungkin berkelindan dalam ruang sosial kita. Selama ini, umat Islam ‘terkungkung’ oleh tradisi pemikiran yang dogmatik-ideologis, produk zaman skolastik (madzabiyah) abad pertengahan. Dimana tradisi ini pada gilirannya telah menjadi imagine (angan-angan tentang kebenaran), yang secara turun-temurun berabad-abad menghidupi masyarakat agam (Islam) diberbagai belahan bumi. Denagn kekhasan sistem reproduksi maknanya, telah menggerakkan masyarakat untuk berpikir, berbicara, merumuskan nilai-nilai dan membangun institusi-intitusi demi kehidupan yang dicita-citakan. Sebuah ortodoksi keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat.
Ortodoksi keberagamaan ini menjadi persoalan tersendiri berabad-abad lamany, yang membuat umat Islam ‘gagap’ mengejar berbagai bentuk ketertinggalan dalam wacana pemikiran, bahkan justru melahirkan semangat eksklusif sebagai bentuk pelarian atas ketidakmampuan tersebut, yang mungkin oleh Erich From disebut sebagai “Escape from Freedom.. Mungkinkah, bahwa gundukan ekskluvisme dan fundamentalisme adalah cerminan kegagalan dalam menghadapi realitas perubahan ?
Doktrin-doktrin agama yang absolut yang terlahir dari pemahaman yang eksklusif dalam banyak hal masih melakat dalam bingkai ideologis dogmatis yang mewujud dalam angan-angan pemeluknya, sehingga umat tidak mampu keluar dari kungkungan tempurung ajaran agam yang tereduksi. Untuk itu harus dipecah tempurung apologi dan pereduksian agama, selanjutnya menyingkirkan ketakutan-ketakutan terhadap agama lain, agar suasana kedamaian terjaga terus, dan agar setiap (tafsiran) agama saling berdialog secara konstruktif.
Islam Inklusif semestinya diletakkan dalam semangat ini, yaitu semangat untuk memberikan ‘ruang’ bagi munculnya liberalisasi tafsiran atas agama dan agar dalam ruang tersebut setiap (tafsiran) agama saling menyapa membangun prinsip kemanusiaan secara universal, daripada disibukkan untuk memberikan truth claim yang tidak akan pernah ada pangkalnya. Kita hidup didunia empirik, sehingga realitas ini yang semestinya juga harus digagas oleh agama (meski dengan tidak melupakan dunia immaterial), bahwa kita tetap tidak akan mampu mencipatkan sebuah Republik Surga di bumi ini.

Kritik Aksiologis Islam Inklusif
Namun demikian, meski paradigma Islam Inklusif mampu menyodorkan semangat baru dalam beragama dengan memberikan ‘ruang’ secara leluasa untuk munculnya liberalisasi pemikiran, tetapi didalamnya juga mengandung sejumlah ‘pereduksian’ –mungkin- dalam bahasa teman-teman di jamaah Tabligh (yang berada dalam lingkup skripturalis) pendangkalan semangat dalam beragama (Islam).
Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa fenomena (wacana) Islam Inklusif tumbuh subur di lingkungan anak mudak didikan pesantren atau yang berada dalam kampus-kampus Islam (IAIN). Secara sosiologis, setelah lama (sepanjang hidupnya) mengunyah berbagai doktrin-doktrin (dogmatis) agama, mereka kemudian di ‘ruang’ yang lain seakan menemukan sebuah gairah baru dalam beragama. Lihat saja, betapa mereka lebih asyik ‘mengunyah’ buku-buku (kiri) seperti Mohammad Arkuen, Asghar Ali Engineer, Hasan Hanafi, Ali Syari’ati, bahkan buku-buku (kiri) sekuler lainnya yang bermazhab kritis-Marxian, ketimbang membaca buku-buku (kanan) seperti Sayyd Quthb, Hasan Al Banna, dsb, yang saat ini menjadi ‘bacaan’ wajib kelompok-kelompok Islam yang berada di perguruan tinggi umum.
Terlepas dari fenomena tersebut, ada suatu fenomena menarik untuk dicermati seiring dengan ‘maraknya’ wacana Islam Inklusif tersebut. Betapa, liberalisasi pemikiran keagamaan yang ditawarkan oleh paradigma Islam Inklusif membawa suatu konsekuensi logis berupa ‘pereduksian’ atas berbagai ritual-ritual yang menjadi suatu kewajiban keagamaan.[24] Berbagai bukti empirik seringkali menunjukkan betapa penganut Islam Inklusif tidak konsisten dalam mencoba mempertahankan ajaran-ajaran agama yang sifatnya ‘mutlak’, karena asas kompromi yang dianutnya.
Dhiman Abror dalam artikelnya berjudul STMJ[25] menyebut bahwa penganut Islam ini (Islam Liberal sebagai paradigma Inklusif)seringkali terjebak untuk membiarkan pemikirannya secara ‘liar’ dalam menerjemahkan perintah agama, sehingga justru meningggalkan perintah-perintah agama, atau kalau tidak justru tidak bisa meletakkan keduanya (antara perintah dengan larangan) dalam proporsinya. Istilah, penganut Islam Liberal seringkali berada pada suatu kasus yang Shalat Terus Maksiat Jalan, bahkan ada banyak yang justru meninggalkan perintah tersebut.
Barangkali dalam konteks ini Mohamad Iqbal benar tatkala mengatakan bahwa agama ada dalam dada, bukan di otak, ketika agama dinaikkan di otak maka hilanglah yang di dada. Artinya, ketika segala sesuatu dicoba untuk dirasionalisasikan, maka semangat pelaksanaan perintah Tuhan hanya berhenti pada periferi (pinggiran), meski yang ini harus dilakukan penelitian secara mendalam.
Konsekuensi dari sebuah liberalisasi pemikiran adalah (juga) memutus mata rantai hubungan dengan yang sifatnya ‘sakral’, ada keterputusan dengan kekuatan yang trasendental, karena agama diletakkan semata hanya pada orientasi rasionalisme belaka. Memang dalam filsafat penecerahan, manusia adalah subyek otonom yang berhak untuk membuat sejarahnya, tetapi ia kan tetap terikat pada suatu koridor , suatu aturan main yang –tentu saja- aturan main ini bisa saja didekonstruksi oleh rasio manusia.
Sehingga, secara aksiologis, sesungguhnya pemahaman Islam Inklusif yang berlatarbelakangi Islam Liberal seringkali hanya berada pada lingkup ‘wacana’ atau pemikiran, yang justru juga mereduksi situasi batiniah tatkala umat menjalankan perintah agama. Jalaludin Rahmat juga pernah menyindir fenomena ini sebagai munculnya Mazhab Boy[26]. Yaitu sebutan untuk kelompok anak muda yang bersemangat berbicara tentang agama, tetapi disisi lain dia aktif pula untuk berbuat maksiat atau menyimpang perilakunya dari frame agama.

Epilog :
Disinilah sebenarnya dilema dari Islam Inklusif yang –sesungguhnya- mempunyai ikhtiar untuk meletakkan agama pada posisi yang benar, bukan sebagai sebuah fundamentalisme. Secara pemikiran, wacana Islam Inklusif harus tetap menjadi pijakan kita tatkala memberikan ‘ruang’ dialog agama ditengah pluralitas agama, tanpa saling menyalahkan, tetapi dalam realitas praksis (pelaku) Islam Inklusif juga seringkali meninggalkan perintah-perintah agama yang lain (sekali lagi apakah memang perintah tersebut sudah ditafsiri lain, Wallahua’lam).
Namun demikian, semuanya tidak bisa digeneralisir, bahwa penganut Islam Inklusif mempunyai kecenderungan seperti itu. Karenanya, tugas kita sekarang adalah bagaimana mensinergikan pemahaman Islam Inkusif tanpa mereduksi perilaku beragama kita. Sebab, tanpa pemaknaan yang inklusif, Islam bisa menjadi sebuah ‘ancaman’ bagi perdaban yang lain, dan begitu pula sebaliknya. Persoalannya adalah apakah kita mempunyai kualitas yang integrated yang bisa mensinergikan keduanya ? Wallahu A’lam bis ashshawab.


[1] Disampaikan dalam diskusi putara pertama 2002 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Hasyim As’ari UNY, Kamis, 24 Januari 2002
[2] Lahirnya paradigma Islam Inklusif bila di kalangan kaum muda garis kultural pesantren ini oleh Lidle digambarkan sebagai fenomena substansialis (dari santri tersekulerkan) yang vis a vis dengan munculnya fenomena skripturalis (dari sekuler tersantrikan) yang ‘mekar’ di kalangan PTU-PTU atau sebagian besar adalah kaum muda non pesantren.
[3] Istilah ini sesungguhnya tidak pernah digunakan oleh Hegel, melainkan oleh Fichte, lihat. Magnis Suseno, 1999, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Revisionisme, Gramedia, Jakarta, hlm. 63.
[4] Opoisis biner ini telah memunculkan suatu sikap truth claim secara subyektif, yang beranggapan bahwa realitas di luar dirinya merupakan suatu kepalsuan (sesat). Hal ini bisa dilihat dari berbagai realitas keberagamaan di Indonesia, misalnya; arus mainstream agama di Indonesia adalah sebagaimana yang ditafsirkan oleh NU dan Muhammadiyah dan atau negara (Depag dan MUI) yang seringkali ‘menolak’ munculnya alternatif tafsiran lain. Sehingga, tafsiran lain akan dipahami sebagai sebuah sempalan (Islam sempalan),
[5] Pola pikir seperti ini oleh Antonio Gramsci diistilah dengan hegemoni sebagai upaya untuk menjalankan reproduksi kekuasaan; termasuk kekuasaan pemikiran. Lihat. Gramsci, 1991, Notes from Prison Notebook, Lawerence & Wishart, hlm. 43.
[6] Mohammad Sobary, 1998, Diskursus Islam Sosial, Memahami Zaman Mencari Solusi, Zaman, Bandung. hlm. 34
[7] Ibid hlm 35, dimana Mohamad Sobary menawarkan ‘proyek’ pembebasan diri dari dominasi pemikiran keagamaan yang digamtik meskipun hal itu datang dari para ahli yang diagungkan namanya. Penolakan terhadap dogmatisme karena ia cenderung serba normatif dan hitam putih jalan penalarannya. Meskipun harus diakui bahwa agama memang normatif sejak dari sumbernya. Dan ‘warnanya’ pun serba hitam putih. Tapi sikap kita, cara pendekatan kita, cara penerjemahan dan interpretasi kita harus penuh nuansa. Bahkan harus dibangun paradigma yang membebaskan. Agama, pendeknya, boleh menawarkan jalan kebenaran, tapi kita tidak boleh merasa paling benar. Agama boleh menawarkan jalan kemenangan, tapi kita tidak boleh cenderung menang sendiri. Allah, yang memiliki agama itu, boleh bersikap serba mutlak, tapi bukankah kita sendiri hanya makhluk serba dhaif dan tidam mutlak ?
[8] Erich Fromm, 1950, Psychoanalysis and Religion, Yale University Press, New York, hlm. 26.
[9] Ibid. hlm. 21. Lihat juga Nurcholis Madjid, Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang, dalam Edy A. Effendi (ed), 1999, Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, Zaman, Jakarta, hlm. 24.
[10] Istilah ini –sesungguhnya- merupakan ‘proyek’ hegemoni bahasa dari mainstream pemikrian dominan untuk ‘menolak’ lahirnya pemikiran lain.
[11] Terminologi ini digunakan oleh Budhy Munawar Rachman, 1999, Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia, dalam Edi A Effendi, 1999, ibid. hlm 99-133. Budhy MR, menyebut Islam Rasional direpresentasikan oleh Harus Nasution dan Djohan Effendi, Islam Peradaban oleh Nourcholis Madjid dan Kuntoijoyo, sedangkan Islam Transformatif diwakili oleh M. Dawam Rahardjo dan Adi Sasono dll.
[12] Pemaknaan dekonstruksi disini lebih diletakkan sebagai upaya untuk membaca ulang bahasa-bahasa agama, dan harus dibedakan dengan terminologi destruksi.
[13] Lihat, Komarudin Hidayat, Melampui Nama-Nama, Islam dan Postmodernisme, dalam Edi A. Effendi (ed), 1999, op. cit. hlm 91-100
[14] Syamsul Arifin, 2000, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, Bigraf, Jogjakarta, hlm. 57
[15] Ibid
[16] Mohammad Sobary, 1998, op.cit. hlm 72
[17] Lihat, Erich Fromm, 1950, op.cit. hlm 52.
[18] Syamsul Arifin, op.cit. hlm 62.
[19] Op.cit. hlm. 64-65.
[20] Pada bagian awal buku tersebut Wilson menulis : “Dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat: tetapi agama jauh lebih berbahay daripada candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanysa, untuk mengagungkan perasaan, dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri sendiri pemilikan kebenaran.”. Untuk lebih jelas, lihat A.N. WIlson, 1992, Agains Religion, Why We Should Try to Live Without It, Chatto and Windus, London, hlm. 1.
[21] Nurcholis Madjid, dalam Edi A. Effendi (ed). op.cit. hlm. 12.
[22] A.N. Wilson, Ibid, hlm. 4-7.
[23] Fundamentalisme merupakan suatu gerakan emosional reaksioner yang berkembang dalam budaya-budaya yang sedang mengalami krisi sosial dan bersifat otoriter, tidak toleran, dan bersemangat memaksa dalam menampilkan dirinya terhadap masyarakat yang lain. Fundamentalisme adalah sikap jiwa yang melihat segala sesuatu secara hitam putih yang untuk itu tidak dikenal adanya kompromi. Ciri utama dari fundamentalisme (biasanya lahir dari ekskluvisme) adalah ketertutupan, pemaksaan disiplin yang keras, hasutan kepada pengorbanan harta dan jiwa yang tidak proporsional, absolutivisme, serta janji-janji keselamatan yang diberikan dengan tegas dan sederhana. Seperti terlihat dalam gerakan People’s Temple-nya James Jones, Moral Majority-nya Jerry Falwell, dsb, ,Lihat, Nurcholis Madjid, Ibid. hlm .19.
[24] Meski harus diakui ritual-ritual tersebut oleh paradigma liberali dalam Islam juga masih dipertanyakan secara substansial.
[25] Jawa Pos, 1/12/01
[26] Lihat film berjudul Catatan Si Boy yang diperankan oleh Ongky Alexander, yang kesana kemari bawa sajadah dan tasbih, fasih membaca Al Qur’an, tetapi juga ‘maksiat’; minum bir, pacaran melampui batas dijalankan pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar