Search This Blog

Sabtu, 28 Maret 2009

Dosen Mroyek, apa salahnya?

Dosen Mroyek, apa salahnya?
Oleh: Listiyono Santoso

Dosen ilmu filsafat di Unair dan peneliti tamu pada RESI (Regional Economic and Social Institute)

Dosen mroyek bukan barang baru lagi di Indonesia. Fenomena ini melanda hampir semua dosen di berbagai PTN/PTS kita. Ada beberapa alasan yang mendorongnya. Pertama, sebagaimana diungkapkan Budi Santosa (harian ini, 4/05/2006), dosen tidak bisa mengandalkan gaji untuk mencukupi kebutuhan hidup, baik bagi dirinya sendiri apalagi
bagi keluarga. Rata-rata gaji dosen di Indonesia berada dalam kisaran 1,3 juta-2,5 juta rupiah. Disamping minimalis, gaji tersebut tentunya tidak sebanding dengan beban sosial yang sudah terlanjur melekat pada dosen. Baik untuk menutupi biaya hidup riil sekaligus juga biaya hidup akibat beban sosial yang melekat. Jumlah gaji riil yang diterima tidak pernah berbanding lurus dengan beban sosial yang diterima dosen.
Selama ini profesi dosen oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai profesi terhormat. Dalam pasal 46 UU RI No. 14 Th. 2005 tentang UU Guru dan Dosen, disebutkan bahwa dosen harus memiliki kualifikasi akademik minimum, seperti lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana. Selain itu harus juga memiliki kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kompetensi lainnya yang dipersyaratkan satuan pendidikan tertentu.
Kualifikasi yang demikian seolah mencitrakan bahwa dosen harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Implikasinya, profesi dosen kemudian dianggap sebagai profesi elitis dan menjanjikan keberlimpahan materi di dalamnya. Ketatnya syarat masuk membuat jarangnya lulusan S1 yang berkeinginan menjadi dosen. Tidak heran jika pada saat rekrutmen dosen jumlah peserta sedikit. Biasanya 1:3. Bandingkan dengan PNS atau pegawai swasta lainnya yang perbandingannya rata-rata 1: 60.
Citra elitis dan serba wah ini begitu kuat melekat. Secara tidak sadar, seorang dosen pun harus bergaya hidup sesuai dengan citra yang dibangun masyarakat tadi. Dari soal kepemilikan rumah hingga mobil. Fakta ini kian membenarkan citra elitis dosen. Tidak cukup hanya itu, hampir sebagian besar dosen menyekolahkan anak-anaknya di sekolah favorit yang tentunya dengan biaya selangit. Seorang dosen tentunya sadar benar pentingnya memberikan pendidikan bermutu bagi anak-anaknya. Susahnya, jenis pendidikan tersebut selalu hanya hadir di sekolah-sekolah favorit yang sudah mematok biaya ‘favorit’ juga.
Lalu, coba bayangkan dengan gaji 1,3 juta hingga 2,5 juta rupiah yang diterima dosen? Lalu kalkulasikan dengan setiap rupiah pengeluaran dosen untuk menutup biaya hidup sehari-hari plus untuk menutup biaya beban sosial lainnya. Tidak hanya jomplang, bahkan tidak berbanding lurus dengan kondisi riil kebutuhan minimal. Maka jangan heran jika ada sebagian (besar) dosen lainnya yang –kebetulan- tidak kuasa mendapatkan proyek harus gali lubang tutup lubang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karenanya jangan heran juga jika sebagian besar dosen harus ‘menyekolahkan’ SK PNS atau barang berharga lainnya di Bank atau pegadaian untuk mendapatkan tambahan ‘amunisi’ biaya hidup.
Harap diketahui, profesi dosen bukanlah lahan basah untuk mendapatkan tambahan ‘materi’ (uang). Mengandalkan penghasilan sebagai seorang dosen,tentunya hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Jangan ‘paksa’ dosen untuk hanya berpikir agar orang lain dicerdaskan dengan ilmunya. Seorang dosen juga manusia. Seorang dosen juga memiliki keluarga yang juga harus dicukupi nafkahnya. Lihatah Sokrates, meski dia berjasa besar bagi kecerdasan orang lain, tapi karena ia miskin, ia dihinakan oleh keluarga. Begitu juga Karl Marl, meski pemikirannya diakui oleh ilmuwan-ilmuwan di dunia ini, juga harus mati meninggalkan kemiskinan bagi keluarganya. Sehingga banyak orang berseloroh, jangan jadi filsuf (pemikir) dulu sebelum kaya.
Hampir tidak ada yang bisa di mark up dan dikorupsi oleh dosen. Dosen tidak pernah berhubungan dengan anggaran. Tambahan lain, darimana? Tidak lain dari kemampuan akademik dosen untuk mengembangkan keilmuannya melalui proyek-proyek yang bersifat akademik. Bukankah semua proyek dosen selalu berhubungan dengan dunia keilmuan, meski itu merupakan proyek dari founding non pemerintah maupun dari pemerintah?
Jika dosen hanya mengandalkan proyek penelitian khusus untuk pengembangan dosen (misal dari Dikti), rata-rata nilai proyeknya tidak sebanding dengan proyek dari departemen lainnya. Nilai proyek penelitian untuk DP3M (bagi dosen muda dan kajian wanita) berkisar 6-7 juta rupiah/tahun. Sementara untuk hibah kompetisi, seperti Riset Unggulan Terpadu, Hibah Pekerti, Hibah Bersaing, RUKK, dsb nilai proyek berada dalam kisaran 45 juta-100 juta rupiah/tahun. Itupun untuk memperolehnya memerlukan persaingan yang sangat ketat dan biasanya hanya sedikit yang mendapatkannya. Bahkan untuk dana rutin dari universitas, tidak lebih dari 6 juta rupiah/tahun.
Lalu, bandingkan dengan nilai proyek penelitian dari sebuah departemen yang bukan untuk pengembangan kemampuan dosen, berada dalam kisaran 80 juta-250 juta/1 kali penelitian. Bayangkan untuk 1 kali penelitian, bukan per tahun. Seorang kolega pernah bercerita kalau dirinya dalam 1 tahun bisa mendapatkan proyek penelitian dari instansi pemerintah lebih dari 5 proyek penelitian, dengan minimal nilai proyek 200 juta rupiah.
Berdasar pada realitas tersebut, maka tidak heran jika banyak dosen lebih memilih berkompetisi mendapatkan proyek penelitian dari instansi pemerintah atau non pemerintah. Apalagi untuk mendapatkannya juga tidak memerlukan keketatan kompetisi sebagaimana penelitian Hibah dari Dikti dan Kemenristek sebagaimana yang terjadi selama ini. Cukup mengandalkan modal sosial berupa pertemanan dan trust (kepercayaan). Bukankah ini cara berpikir yang sangat ‘realistis’ yang ditempuh dosen untuk dapat menyambung hidup di tengah melejitnya biaya hidup di kota besar.
Tri Dharma PT Setengah Hati
Alasan kedua tidak lain karena lemahnya konsep tri dharma perguruan tinggi (PT); pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Tri Dharma PT pada dasarnya merupakan konsep yang bagus untuk mengembangkan keilmuan sekaligus mendharmabaktikannya kepada masyarakat.
Kosekuensi logisnya, maka seorang dosen jelas dituntut untuk menjalankan tri dharma PT secara terpadu. Meskipun, pengajaran merupakan kewajiban utamanya, tapi harus diingat bahwa kewajiban dosen lainnya adalah penelitian dan pengabdian. Seorang dosen tidak akan bisa naik pangkat, jika tidak menjalankan ketiga fungsi tersebut. Meski harus diakui, ada juga dosen yang tidak menyelenggarakan ketiga kegiatan tersebut, tetapi sekedar numpang nama dalam sertifikat atau tulisan untuk kepentingan jurnal, agar memenuhi syarat formal kenaikan pangkat.
Pada dasarnya, gugatan terhadap dosen mroyek lebih disebabkan seringnya dosen meninggalkan kuliah untuk kegiatan di luar pengajaran. Kegiatan pengajaran seringkali terbengkalai karena ditinggalkan melaksanakan proyek. Meskipun proyek tersebut termasuk pelaksanaan dharma lainnya; utamanya penelitian.
Pelaksanaan tri dharma yang harus dilaksanakan secara terpadu dalam setiap semester/tahun dalam realitasnya cenderung berjalan setengah hati. Logikanya, bagaimana bisa mendapatkan hasil optimal bila semuanya setengah-setengah. Ketika berupaya melaksanakan pengajaran dengan baik melalui pengayaan materi kuliah, masih harus melaksanakan kerja lainnya berupa penelitian dan pengabdian. Begitu juga sebaliknya, bagaimana bisa mendapatkan hasil penelitian yang baik jika dalam waktu yang sama harus melaksanakan pengajaran di ruang-ruang kuliah.
Sebagai contoh riset dibidang etnografi yang megharuskan peneliti berada di lokasi dalam waktu lama. Bagaimana mungkin mendapatkan data dan analisis data yang baik, jika saat pencarian data yang seharusnya membutuhkan waktu lama, tetapi karena kewajiban untuk mengajar harus bolak balik dari lokasi penelitian ke kampus? Akibatnya, riset dilakukan tidak optimal, begitu pula pengajarannya. Seorang etnografer ulung seperti Robert Hefner, yang juga seorang dosen, harus berada di Tengger selama 2 tahun untuk mencari data bagi risetnya. Selama 2 tahun pula tentunya Hefner tidak melakukan pengajaran, bahkan juga pengabdian. Tapi hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan.
Konsep tri dharma akhirnya hanya menjadi beban baru bagi dosen jika dilaksanakan setengah hati. Konsep yang sedemikian bagus, malah melahirkan kinerja yang tidak optimal tentunya perlu segera dibenahi dan dievaluasi. Salah satunya adalah memberikan cuti mengajar selama 1 atau 2 semester bagi dosen yang sedang mendapatkan hibah penelitian. Hal ini dilakukan agar dosen tersebut terkonsentrasi untuk melakukan penelitian, sehingga dapat berjalan dengan baik dengan hasil yang memuaskan. Pertanggungjawaban dari cuti mengajar tersebut adalah sebuah produk penelitian yang berkualitas. Kalau perlu harus dijadikan buku agar dapat dibaca oleh civitas akademika lainnya, terutama mahasiswa.
Andai upaya minimal ini dapat dilakukan, maka persepsi miring terhadap dosen mroyek tidak muncul lagi. Dan tidak lagi ruang kuliah yang kosong karena ditinggalkan dosen yang mroyek, karena kepadanya memang sudah selayaknya ada jatah untuk ‘cuti’ mengajar. Bagaimana mekanisme pemberian cuti, memang perlu ada pembicaraan mendalam dari semua pihak. Sehingga suatu saat lagi tidak ada komplain dari mahasiswa seperti terjadi pada saya, pak, bapak ini dosen apa peneliti? Alisyo00@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar