Search This Blog

Senin, 19 Oktober 2009

Wajah Pendidikan Kita: Buruk Muka Cermin di Belah

Wajah Pendidikan Kita:
Buruk Muka Cermin di Belah[1]

Oleh : Listiyono Santoso[2]


Pengantar
            Pendidikan selalu menjadi topik menarik dan aktual untuk diperbincangkan, diseminarkan sekaligus ‘digugat’. Meski demikian, pendidikan sekaligus merupakan persoalan yang rumit dan terkesan tak pernah dapat diselesaikan secara tuntas. Alih-alih memberikan solusi baru atas problema yang mendera (dunia) pendidikan kita, yang terjadi adalah kian terkukuhkannya pendidikan sebagai ‘masalah’ nasional yang tidak kunjung selesai. Tragisnya, pendidikan kita justru melakukan penyelesaian masalah dengan masalah baru. Belum selesai masalah lama, lahir masalah baru yang kian terakumulasi.
            Setidaknya ada beberapa hal yang menjadikan dunia pendidikan menarik untuk diperbincangkan. Pertama, pendidikan diyakini sebagai alat untuk menjadikan sebuah bangsa kian beradab. Melalui proses enkulturasi dan sosialisasi, individu menyerap atau membudayakan segala unsur untuk kelangsungan hidupnya, dengan cara mengembangkan: ketrampilan hidup, pandangan hidup, etos dan nilai hidup. Artinya, melalui pendidikan, individu dapat semakin ‘survival’ dalam mengarungi arus kehidupan. Lewat pendidikanlah, sebuah bangsa menjadi lebih beradab daripada sebelumnya, kedua, pendidikan merupakan upaya manusia untuk memanusiakan dirinya sebagai manusia. Driyarkara menyebut sebagai proses memanusiakan manusia muda. Melalui pendidikanlah, martabat kemanusia kian dapat ditingkatkan. Dan ketiga, pendidikan selalu dipercayai sebagai sarana (utama) bangsa ini meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang dipercaya dapat meminimalisir ketertinggalan dengan negara lain. Keterserapan dunia kerja seringkali dipengaruhi oleh bagaimana dunia pendidikan sanggup memberikan ‘stok’ melalui luaran (out put) pendidikannya.
            Itulah sebabnya, setiap negara di dunia ini –tak terkecuali Indonesia- begitu mempercayai bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam mewujudkan harga diri sebagai sebuah bangsa ditengah pergaulan global ini. Untuk melihat ‘performance’ sebuah bangsa sesungguhnya dapat dilihat bagaimana bangsa itu mengelola pendidikannya. Bangsa yang besar sesungguhnya adalah bangsa yang mengelola dan memanfaatkan sektor pendidikan secara serius dan optimal, bukan bersifat meliorisme (tambal sulam). Persoalannya, bagaimana dengan wajah (pengelolaan) dunia pendidikan di negeri ini?
Pendidikan Setengah Hati
            Meski dunia pendidikan merupakan hal penting dalam menaikkan derajat kebangsaan kita, tapi kenyataannyan pendidikan hanya dikelola setengah hati. Salah satu indikator yang paling sederhana untuk melihat pengelolaan pendidikan kita yang setengah hati adalah rendahnya anggaran pendidikan –meski ini bukan satu-satunya- (meski saat ini kita patut bersyukur bahwa APBN 20% untuk pendidikan sudah mulai ancang-ancang direalisasikan). Kalau dunia pendidikan dipercayai mempunyai peran besar, mengapa anggaran dunia pendidikan kita selalu lebih rendah ketimbang anggaran sektor lain, apalagi dibanding dengan negara lain.
            Rendahnya perhatian terhadap dunia pendidikan yang tercermin melalui rendahnya anggaran pendidikan –bisa jadi- dilatarbelakangi oleh persepsi yang keliru negara ini tentang pengelolaan pendidikan. Sejak rezim kekuasaan kita menjadikan ‘ekonomi’ sebagai pilar utama pembangunan, negara ini kemudian terkonsentrasi pada investasi modal fisik (physical capital), bukan dalam bentuk modal manusia (human investment). Hal ini mengakibatkan dunia pendidikan, yang merupakan media investasi modal manusia kurang mendapatkan perhatian maksimal.
            Bersyukurlah, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008, pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
            Persentase anggaran pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara. Sehingga anggaran pendidikan dalam UU Nomor 41/2008 tentang APBN 2009 adalah sebesar Rp 207.413.531.763.000,00 yang merupakan perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara sebesar Rp 1.037.067.338.120.000,00 (www.anggaran.depkeu.go.id).
            Pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen tersebut disamping untuk memenuhi amanat Pasal 31 Ayat (a) UUD 1945, juga dalam rangka memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008 Nomor 13/PUU-VI I 2008. Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, selambat-lambatnya dalam UU APBN Tahun Anggaran 2009, Pemerintah dan DPR harus telah memenuhi kewajiban konstitusionalnya untuk menyediakan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen untuk pendidikan.
            Terlepas dari hal tersebut, sesungguhnya problema dunia pendidikan kita bukanlah semata problema anggaran pendidikan. Menurut Darmaningtyas (2005: 3) keluhan tentang kecilnya anggaran pendidikan seakan meniadakan unsur-unsur lain yang signifikan memberikan kontribusi besra terhadap buruknya sistem pendidikan nasional kita, seperti lemahnya kemampuan pengelolaan pendidikan nasional, lemahnya kemampuan manjerial dalam bidang keuangan sehingga menimbulkan inefisensi cukup besar; mentalitas korup di lembaga yang mengurusi pendidikan, kecenderungan kapitalisasi pendidikan, serta dominanya hegemoni partai politik atau kekuasaan terhadap sistem pendidikan nasional kita.
            Dalam seluruh persoalan itu, soal anggaran pendidikan boleh jadi hanya salah satu faktor saja, bukan satu-satunya masalah dalam bidang pendidikan. Tragisnya, energi perbincangan dunia pendidikan kita dari tahun ke tahun seolah hanya berkutan pada persoalan kecilnya anggaran ketimbang membicarakan problema penting dalam dunia pendidikan yakni berkaitan dengan paradigma pendidikan nasional kita. Perdebatan tentang bagaimana bangsa ini mempersepsikan pendidikan, dalam konteks apa dan bagaimana strategi pendidikan yang harus dijalankan tampaknya bukanlah perbincangan menarik dan tidak menghasilkan ‘proyek’ seperti membincangkan anggaran pendidikan? Lebih rumit lagi, kita ternyata lalai dalam merumuskan konsep dasar (filsafat) pendidikan kita yang seharusnya menjadi ‘ruh’ dunia pendidikan di Indonesia?
            Sebagai perbandingan, Jepang, sangat giat melakukan pembaruan dibidang pendidikan. Sejak Restorasi Meiji 1854, Jepang sangat giat merumuskan strategi dasar di bidang pendidikan. Setidaknya ada tiga (3) konsep penting yang mereka rumuskan untuk kepentingan tersebut. Pertama, penekanan sistem belajar seumur hidup, dengan jalan membantu anak-anak sejak usia Sekolah Dasar untuk mencintai iptek, mengembangkan bakat ketrampilan sampai usia desawa kelak. Kedua, membuat suatu struktur pendidikan yang dapat mengikuti perubahan-perubahan kontemporer, seperti internasionalisasi, dan pembangunan masyarakat yang berorientasi informasi dan teknologi. Ketiga,mengembangkan individu dengan nilai kreatif, bertanggungjawab, dst. Pembaruan pendidikan ini secara ekplisit terdapat dalam Japanese Government Policies in Education, Sciencie, and Culture (1992) sebagaimana dikutip oleh Saratri Wilonoyudho (Surya, 2 Mei 2009). Bagaimana dengan konsep dasar rumusan pendidikan yang dibuat di negeri kita, yang biasanya tercantum dalam strategi pendidikan nasional kita? Ataupun dalam UU Sistem Pendidikan nasional kita?
            Setali tiga uang, rumusan dasar pendidikan kita banyak menuai kritik terutama diakibatkan terlalu banyak terlibatnya kepentingan politik dalam merumuskan kebijakan di bidang pendidikan. Kasus pro-kontra penetapan UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, kontroversinya UU Badan Hukum Pendidikan kita serta berbagai kebijakan UNAS hingga biaya pendidikan adalah contoh kongkritnya. Seolah dunia pendidikan kita lebih diributkan persoalan teknis ketimbang problema filosofis. Benar jika banyak yang mengatakan bahwa pendidikan kita memang dunia pendidikan yang salah urus, sehingga menjadikan dunia pendidikan yang seharusnya sebagai sektor yang dapat memperkuat martabat kebangsaan justru malah menghasilkan mendegradasikannya.
            Tidak heran jika pendidikan kita –belakangan- lebih berkutat pada kepentingan vokasional (teknis pragmatis), seperti peningkatan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan di dunia kerja dan cenderung mengabaikan perbincangan tentang konsep dasar ke arah mana pendidikan hendak digerakkan. Tidak jarang jika kemudian fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan kita menunjukkan wajah yang ‘bopeng’ dan memprihatinkan. Realitas sejumlah orang yang sekedar mengejar ‘gelar’ akademis dan mengabaikan proses, adalah indikatornya. Lahirlah sejumlah kebijakan pendidikan yang serba instan; seperti Program Ekstensi, Kelas Jarak Jauh, Semester Pendek, dan sebagainya.
Tanpa Filsafat Pendidikan
Salah urus dunia pendidikan terjadi karena kita mengabaikan filsafat pendidikan yang menjadi visi filosofis apa dan bagaimana pendidikan digerakan. Pendidikan kita adalah pendidikan tanpa filsafat pendidikan. Mengapa kita cenderung mengabaikan filsafat pendidikan?
Pertama, karena filsafat pendidikan dianggap abstrak dan idealis. Banyak dari kita tidak menyukai cara berpikir ini. Pemikiran yang dianggap tidak realis dan tidak membumi. Mereka tidak sadar bahwa pemikiran kefilsafatan -menurut A Sudiarja (2006)- memang tidak diorientasikan untuk menjawab secara prgamatis, melainkan secara visioner dan memberi wawasan. Melalui pemikiran ini, maka pendidikan kita akan diberikan sebuah ‘ruh’ yang menjadi orientasi kebijakan pendidikan.
Kedua, watak dari cara berpikir masyarakat korban ‘kolonialisasi’. Kita lebih banyak dijadikan sebagai objek penyebarluasan hasil-hasil (produk) pemikiran negara lain. Lebih puas dengan mendapatkan ‘barang’ daripada memproduksi ‘barang’. Padahal negara yang dianggap ‘maju’peradabannya dibentuk dari tradisi filsafat yang kuat. Bukan terlahir seketika, melainkan melalui proses yang panjang.
 Bermula dari tradisi berfilsafat yang mapan baru kemudian berpikir hal teknis-empiris. Sayangnya, kita tidak mengambil sisi historis itu, tetapi lebih menyukai berpikir instan. Implikasinya, peradaban kita hanya akan berkeinginan untuk menyesuaikan diri dengan akibat logis peradaban lain. Mereka menciptakan teknologi, kita belajar menggunakannya. Mereka menciptakan teori baru, maka kita sibukkan membenarkan. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperti Balai Latihan Kerja yang sekedar memberikan penguasaan ketrampilan untuk kepentingan kerja (pendidikan vokasional).
Nah, dunia pendidikan berada dalam kondisi ini. Yakni kondisi pendidikan yang diselenggarakan tanpa filsafat pendidikan. Intelektualitas kita juga tidak menyukai tradisi berfilsafat. Akibatnya, kita salah mempersepsikan dan memaknai apakah pendidikan itu dan apa tujuannya? Kesalahan pemaknaan ini akhirnya berakibat fatal dalam menciptakan kebijakan. Ibaratnya, salah di tingkat hulu akan berakibat fatal di tingkat hilir.
Problema lain: Pendidikan Melahirkan Kesenjangan Sosial ?
Problema pendidikan lainnya adalah mahalnya biaya pendidikan. Ketika problema pendidikan kita dihadapkan pada persoalan mahalnya biaya pendidikan, maka yang terjadi adalah kian lebarnya jarak social dalam masyarakat sebagai implikasi salah urus pendidikan tadi. Dalam keadaan demikian, masyarakat kelas bawah semakin lama semakin tersisih dalam persaingan untuk masuk di PTN. Ironisnya, bukan karena berkaitan dengan kualitas prestasi belajar, melainkan justru oleh hal-hal yang tidak substansial. Antonio Gramsci secara kritis pernah melakukan kritik atas situasi ini, bahwa elitis dan mahalnya biaya pendidikan, menyebabkan kampus-kampus hanya memproduksi sarjana-sarjana yang dikuasai oleh kelas sosial, dalam stelsel kapitalis era sekarang ini, dimana posisi kampus sebagai basis intelektual secara logis hanya akan melayani kepentingan-kepentingan masyarakat tertentu, dan semakin memarginalisasikan masyarakat lainnya. Tidak berlebihan bila Illich mengatakan bahwa pendidikan di dunia berkembang hanya menjadi pencipta kesenjangan sosial baru dalam masyarakat, meski dengan gaya yang rasional dan akademis.
Logisnya, di semua negara yang sudah ‘disekolahkan’, pengetahuan dianggap sebagai bekal utama untuk mempertahankan hidup, sekaligus dianggap sebagai alat tukar yang lebih laku ketimbang rupiah maupun dolar. Akibatnya, semakin banyak seseorang mengkonsumsi pendidikan, semakin banyak ‘stok pengetahuan’ yang diperoleh. Seiring dengan itu, semakin tinggi pula posisinya dalam hirarki ‘kapitalis’ pengetahuan (Amiruddin, 1993). Pendidikan –kemudian- hanya berhasil melahirkan struktur kelas baru dalam masyarakat. Dalam masyarakat ini, konsumen yang memperoleh stok pengetahuan lebih banyak dapat memaklumkan diri sebagai kelas yang lebih berguna bagi masyarakat. Dari sinilah kesenjangan sosial bermula. Atau mungkin justru melalui (sistem) pendidikan yang demikianlah ia tampil sebagai institusi yang kian memantapkan sebuah kelas sosial dalam masyarakat untuk semakin memonopoli dan ‘berkuasa’ atas kelas lain yang tidak sanggup ‘membekali’ diri dengan stok pengetahuan yang banyak ?
Terlepas dari persoalan di atas, fenomena tersebut menunjukan bahwa telah terjadi pergeseran mendasar secara substansial dalam praktek pendidikan kita. Semangat dasar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tampaknya sekedar retorika politik saja. Tatkala dalam waktu yang bersamaan; banyak anak-anak dalam masyarakat kita tidak lagi memiliki kemampuan biaya untuk bisa ‘cerdas’ melalui pendidikan. Terminologi mencerdaskan sesungguhnya adalah mencerdaskan sebagian warga; yang kaya dan mempunyai akses dalam menyekolahkan anak-anaknya.
Mencerdaskan kehidupan bangsa yang seharusnya bermakna membebaskan masyarakat dari keterbelengguan, kebodohan, ketertinggalan dan apa saja yang berhubungan dengan situasi ketidakcerdasan. Masyarakat juga harus dibuat cerdas, termasuk cerdas dalam ‘membaca’ realitas ketidakadilan sosial dan penindasan yang dilakukan oleh penyelenggaraan pendidikan. Pembebasan masyarakat dari situasi ketidakcerdasan itu dalam kondisi tertentu ternyata hanya bisa dilakukan dengan pendidikan. Sayangnya, jaringan kapitalisme pendidikan di negeri ini menyelewengkan fungsi sekolah (sebagai institusi pengelola pendidikan) melalui kecerdasannya untuk membodohi masyarakat lain; bukan untuk menumbuhkan kecerdasan, melainkan untuk ‘menghisap’ dan ‘menindas’-nya. Tragisnya, masyarakat tetap tidak mempunyai kemampuan untuk melawan situasi tersebut; kecuali menerimanya tanpa reserve.
 Prinsip pembebasan merupakan spirit dasar pendidikan. Di negara manapun, utamanya di negara berkembang, pendidikan diselenggarakan untuk membebaskan masyarakat dari berbagai belenggu persoalan yang membelitnya. Dari situasi ketertindasan dan ketidakadilan sosial yang melingkupinya, dan apapun namanya. Tampaknya, ketika pendidikan formal (sekolah) tidak sanggup lagi menghadirkan spirit pembebasan ini, diperlukan kerja-kerja sosial untuk membantu masyarakat keluar dari situasi tersebut melalui berbagai pendidikan alternatif, sebagaimana yang dilakukan oleh aktivis pendidikan di Brazil, semisal Paulo Freire. Tampaknya pula kerja tersebut harus segera dimulai agar masyarakat sanggup ‘membaca’ realitas sosial yang melingkupinya secara cerdas dan kritis.
Catatan Penutup: Redefinisi (kembali) Pendidikan
Sudah bukan rahasia, pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai –meminjam konsepsi Paulo Freire (1972)- pembebasan masyarakat dari keterbelengguan. Pendidikan tidak lagi diartikan sebagai proses yang membangkitan kesadaran kritis dari subyek didik, melainkan malah menciptakan ketergantungan. Padahal pendidikan –meminjam istilah Driyarkara- harusnya berfungsi memanusiakan manusia muda. Pendidikan dijalankan sebagai proses hominisasi dan humanisasi. Yakni menyadarkan seseorang sebagai manusia, sekaligus mengembangkan potensi kemanusiaannya demi kebudayaan dan peradaban.
Secara empiris, dunia pendidikan justru hanya dijadikan sebagai instrumen politik untuk menguatkan sebuah sistem yang sudah ada. Kita disibukkan belajar bukan untuk menemukan kebenaran, melainkan membenarkan pikiran orang (lain). Kita belajar ekonomi misalnya seolah untuk melegitimasi sistem perekonomian yang sudah mapan dengan kapitalisasinya. Kita belajar politik misalnya, seolah juga harus membenarkan teori-teori politik kekuasaan yang cenderung korup. Begitu juga belajar ilmu hukum seperti melegitimasi karut marutnya dunia peradilan kita.
Antonio Gramsci (1971) secara sinis pernah menyebut bahwa salah urus dunia pendidikan menyebabkan kampus yang memproduksi sarjana hanyalah dijadikan teknisi-teknisi yang dikuasai oleh kekuatan pasar dalam stelsel kapitalis sekarang ini. Tidak heran jika kebijakan dunia pendidikan kita lebih menyesuaikan pada pergerakan pasar ketimbang –meminjam terminologi A Sudiarja (2006)- membicarakan ‘persoalan pendidikan’ par excelllen.
Arah pendidikan lebih diorientasikan memenuhi kebutuhan pasar dan keterserapan dunia kerja. Kompetensi keilmuan selalu diukur untuk memenuhi trend pasar, bukan pada pengkajian keilmuan dan pencarian ide-ide besar. Tidak berlebihan jika Sarartri Wiloyudha (2008) menganggap bahwa perguruan tinggi kita sekarang ini kehilangan ide-ide besar. Tanpa ide besar, bagaimana perguruan tinggi sanggup menjalankan misi perubahan sosial dalam masyarakat?
Minimnya ide besar membuat negeri ini tidak pernah terjadi revolusi pemikiran dalam bidang apapun. Dunia pendidikan kita lebih disibukkan untuk menjadi recipien (konsumen) ide besar, ketimbang melahirkan ide besar. Makanya, kita begitu bangga mengutip ide tokoh, daripada menciptakan ide baru yang mungkin lebih indegenous. Implikasi logisnya, kita belajar lebih pada keinginan untuk membenarkan pikiran (orang) lain, ketimbang berproses mencari kebenaran. Persoalannya, apakah kita hendak merawat kesalahan ini terus menerus dengan tetap memelihara wajah ‘bopeng’ dunia pendidikan kita?Wallohua’lam bis showab.





[1] Makalah sederhana ini disampaikan dalam Seminar Regional “Transparansi dan AKuntabilitas Pengalokasian Angga Pendidikan APBN 20% demi Majunya Pendidikan Nasional” diselenggarakan oleh BEM Fakultas Trabiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 20 Oktober 2009, sebagain besar isi makalah merupakan kompilasi tulisan dari artikel tulisan penulis di berbagai media.
[2] Listiyono Santoso, staf pengajar  ilmu filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar