Search This Blog

Minggu, 03 Januari 2010

Kebudayaan yang (di)marjinal(kan): refleksi atas krisis kebudayaan kita[1]

Kebudayaan yang (di)marjinal(kan):
refleksi atas krisis kebudayaan kita[1]
Oleh: Listiyono Santoso[2]


Pengantar

Kebudayaan selalu menarik untuk diperbincangkan. Meski diakui bahwa dalam kehidupan budaya dan diskusi kebudayaan -yang selalu berkembang dimana-mana-, kebudayaan –meminjam terminology Ignas Kleden (1987:155)-tidak selalu dihayati dalam citarasa yang sama, pengertian yang sama, atau dibicaran dengan menggunakan idiom-idiom yang sama pula. Selalu saja ada konstruksi[3] berbeda berkaitan dengan pemahaman ‘kita’ terhadap kebudayaan berikut proses-prosesnya. Tidak heran jika kita membuka literature tentang kebudayaan selalu dihadirkan sejumlah pemaknaan kebudayaan yang berbeda. Tiap penulis, pakar kebudayaan atau apapun namanya akan memberikan pengertian berlainan satu sama lain.
Sebut saja Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai fenomena material. Kebudayaan dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Aliran antropologi kognitif yang diusung oleh James P. Spradley memahami kebudayaan sebagai pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku social. Franz Boas menyebut kebudayaan mencakup semua manifestasi kebiasaan social daripada satu masyarakat, reaksi-rekasi seorang individu yang timbul karena pengaruh kebiasaan masyarakat di mana ia tinggal, dan hasil karya kegiatan manusiawi sebagaimana ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan itu.
Terlepas dari konteks ini, kebudayaan tidaklah bermakna tunggal. Selalu hadir varian kebudayaan tergantung dari paradigma yang digunakan untuk mengkonstruksikannya. Namun yang menjadi titik singgung yang sama berkaitan dengan kebudayaan menurut JWM. Bakker (1984: 17) bahwa dalam kebudayaan kedudukan manusia adalah sentral, bukan sebagai orang, tetapi sebagai pribadi. Kepadanya segala kegiatan diarahkan sebagai tujuan. Itulah yang –katanya- membedakan agama dengan kebudayaan. Beda dengan agama, kebudayaan adalah spesifik insani, realisasi dari bawah, bukan rahmat dari atas.
Kebudayaan itu Khas Manusia(wi)
Kebudayaan (intinya) adalah penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani melalui upaya membudayakan alam, memanusiakan hidup dan menyempurnakan hubungan keinsanian sebagai kesatuan. Menjadi wajar ketika kondisi alam lingkungan dan alam social yang berbeda akan melahirkan konstruksi kebudayaan yang berbeda pula. Begitu pula proses interaksi dan adaptasi yang berbeda meski dalam alam lingkungan yang sama akan melahirkan fenomena kebudayaan yang berbeda pula.
Dalam konteks demikian, kebudayaan adalah dimensi manusia sendiri sebagai pencipta di dunia. Melalui kebudayaan manusia menemukan realisasi dirinya sebagai homa faber bukan sebagai homo viator. Melalui kebudayaan pulalah manusia menemukan eksistensinya sebagai manusia yang hidup di dunia. Yang berkesedaran ada didunia. Inilah yang kemudian menjadikan kehidupan kemanusian menjadi lebih beradab.  Artinya, fungsi kebudayaan pada akhirnya mendasari, mendukung, dan mengisi masyarakat dengan nilai-nilai hidup untuk dapat bertahan, menggerakkan serta membawa masyarakat kepada taraf hidup tertentu, agar 1) hidup lebih baik, 2) lebih manusiawi, dan 3) berperikemanusiaan.
Persoalannya adalah bagaimana dengan konstruksi kebudayaan (masyarakat) kita –saat ini- yang hidup di tengah karut marut kehidupan kebangsaan? Korupsi tiada henti, kekerasan fisik dan non fisik yang terjadi kapan saja, konflik antar golongan yang seringkali meluas menjadi konflik SARA, dan sebagainya? Bangsa yang –katanya- gemah ripah loh jinawi justru menemukan fakta banyak warga yang terkena busung lapar, kekurangan gizi, dan kelaparan dimana-mana? Seperti apa kebudayaan kita ketika menemukan fakta rebutan ruang-ruang kuasa yang tidak pernah selesai dalam panggung politik kita yang telah berubah menjadi panggung gladiator ketimbang rekrutmen kepemimpinan nasional? Atau bagaimana wujud kebudayaan kita ketika kesenjangan social sudah semakin menganga lebar, begitu juga ketika keadilan tidak lagi berpihak pada kepentingan public?
Persoalan (penting) lainnya adalah –jangan-jangan- bangsa ini tidak menjadikan kebudayaan sebagai sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Alih-alih memberikan peran bagi kebudayaan -jangan-jangan- yang justru terjadi adalah kebudayaan hanya dilokalisir sebagai satu bagian dari industry pariwisata ketimbang sebagai common value yang menggerakan dinamina kebangsaan kita? Tragisnya, hampir semua refleksi akhir tahun di negeri ini dan bagaimana kehidupan kebangsaan pada tahun mendatang selalu berkutat pada soal ekonomi, politik dan hokum. Refleksi tentang (strategi) kebudayaan jarang –untuk mengatakan tidak ada- diwacanakan secara public. Mungkinkah bangsa ini justru sedang bergerak melalui ‘logika’ kebudayaannya sendiri ataukah hanya menempatkan kebudayaan sebagai kekuatan sekunder dalam bangunan kebangsaan kita? Padahal justru bermula dari kebudayaan, bangunan peradaban kemanusiaan itu mulai digerakkan dan diarahkan agar tercipta dengan kokoh.
JWM Bakker (1984: 11) mengatakan bahwa dalam setiap soal daya, kebudayaan menampakkan diri sebagai factor yang tidak dapat dielakkan, yang mau tidak mau harus diperhatikan agar setiap usaha (merancang masa depan) tidak menjadi gagal.  Dari dalam kebudayaan orang menggali motif dan perangsang untuk menjunjung perkembangan masyarakat. Dari dalamnya juga berasal kebiasaan yang menyebabkan rusaknya tatanan social, seperti korupsi dan kemacetan. Artinya, bisa saja terjadi berbagai program pembangunan gagal (total) justru karena hambatan kebudayaan yang (kita) miliki.
Krisis Kebudayaan sebagai Fakta
            Dalam sebuah tulisannya, Sri Sultan Hamengkubuwono X (2009) mengungkapkan bahwa negeri ini sedang di dera sebuah krisis kebudayaan yang akut. Krisis kebudayaan ini menjadi penyebab ‘luluh lantaknya’ kehidupan kebangsaan kita. Selain sulit terselesaikan, rapuhnya sendi kehidupan kebangsaan kita belakangan ini karena negeri ini mengabaikan kebudayaan sebagai factor penting yang mencipta peradaban kebangsaan dan kemanusiaan dengan wajah ke-indonesia-an.
            Dengan mengutip ‘Just Gaming’nya Lyotard (1990), Piliang (1999) dengan lugas mengemukakan bahwa terdapat berbagai bentuk permainan (game) -yang bersifat heterogen dan otonom- di dalam sebuah masyarakat atau Negara. Ada (berbagai) permainan berserakan di sekita kehidupan social kita belakangan ini. Ada permainan politik, permainan hokum, permainan media, dan sebagainya, yang memiliki aturan main (rule oh the game) sendiri, bahkan termasuk ada permainan bahasa (language game) di dalamnya. Menurutnya, kemurnian, otonomi, dan ketunggalan setiap permainan harus selalu dijunjung tinggi, untuk menghindari terjadinya intervensi oleh permainan lain yang lebih dominan, yang justru dapat menciptakan ketidakadilan dan iklim yang tidak demokratis.
            Menjadi wajar ketika permainan hukum –misalnya- telah diintervensi oleh permainan politik, sebagaimana kasus perseteruan KPK versus Kepolisian dan Kejaksaan, maka setiap keputusan hokum akan (ter/di)kontaminasi dan dikendalikan oleh kekuatan politik, ketimbang keadilan atas hukum itu sendiri. Atau ketika permainan politik kenegaraan didominasi oleh permainan politik golongan/primordial, maka kekuasaan negara tidak lebih dari sebuah dinasti.
Karut marutnya berbagai ‘permainan’ dalam kehidupan kebangsaan kita belakangan ini akhirnya berujung pada lahirnya sejumlah krisis yang bersifat multidimensional. Krisis yang melanda negeri ini bukan hanya bersifat krisis politik dan krisis ekonomi, tetapi sesungguhnya krisis kebudayaan. Menurut Sri Sultan Hamengkubowono (2009), krisis ini sebenarnya sudah lama terjadi, tetapi krisis ini tersembunyi. Lihatlah ketika pembangunan ekonomi dan politik dianggap sebagai panglimannya dan digunakan sebagai indicator mencapai derakat peradaban, begitu ekonomi politik kita mengalami krisis, tampaklah luka yang sesungguhnya, yakni luka kebudayaan yang berdampak pada krisis kebudayaan.
Pada bagian lain, tengara krisis kebudayaan juga terlihat dari rusaknya citra masyarakat Indonesia yang bermartabat dengan religiusitasnya, dengan sopan santunya, yang ditandai dengan munculnya kekuatan massa yang telah menggantikan negara. Fenomena kekerasan massal antar kelompok yang begitu mudah tersulut hanya gara-gara persoalan sepele atau semangat sektarianisme yang melanda berbagai golongan sekaligus juga daerah menjadi fakta tidak terelakkan dari krisis kebudayaan kita.
Dalam konteks ke-Indonesiaan- yang plural dan majemuk ini ternyata terdapat berbagai potensi yang menggerogoti semangat multikulturalisme; sebuah kesadaran terhadap adanya perbedaan. Yang terjadi adalah realitas adigang, adigung, adiguno. Sebuah sikap yang tidak bisa dan tidak mau menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan sejarah. Realitas ini yang akhirnya kian mensublimasikan krisis kebudayaan kita yang telah kehilangan relasi-maknanya dalam setiap proses interaksi antar golongan/suku sebagai ‘kita’ (ingroup).Yang terlahir justru adalah semakin terpolarisasikannya masyarakat dalam perasaan primordiaslimenya, etnisitasnya, dan sebagainya. ‘Kita’ telah terurai menjadi ‘kami’ dan ‘mereka’. Fenomena bentuk-bentuk perumahan elit di kota-kota besar bisa jadi termasuk fakta yang mensegregasi masyarakat satu sama lainnya. Mereka bersama tapi tidak dalam kebersamaan.
Tidak berlebihan jika musnahnya relasi makna menyebabkan bangsa ini kehilangan kepekaan sosialnya. Sementara sense of morality atas nilai-nilai kehidupan pun tidak lagi dimiliki. Relasi makna dalam konteks ini adalag pola hubungan antar manusia yang bersandar pada pluralistisnya kebenaran. Tidak heran, ketika nilai kemanusiaan mulai luntur, maka kekerasaan menjadi satu-satunya cara menyelesaikan masalah. Bangsa ini seperti kehilangan –apa pernah memiliki- kultur musyawawarah untuk mufakat. Ruang dialog yang selama ini (mungkin) ada sudah tidak lagi berfungsi.Di tempat lain, ketika banyak warga Negara yang mengalami kesulitan untuk sekedar bertahan hidup, justru elit politik kita sibuk meributkan kenaikan gaji dan tunjangan.
Krisis kebudayaan kian akut ketika bangsa ini tidak lagi mau belajar dari peristiwa historis yang melatarbelakangi lahirnya nation state kita. Bukankah berabad-abad lamanya negeri ini sudah seringkali diingatkan tentang situasi karut marutnya zaman kita. Entah dalam serat Kalatida-nya Ranggawarsita yang menyebutnya dengan zaman edan, atau zaman Kaliyuga dalam Negarakertagama yang meriwayatkan menjelang runtuhnya kerajaan Singasari. Sebuah zaman, dimana manusia hidup dalam kekalutan, kebingungan, bencanam kriminalisasi dan sebagainya. Meskipun selau ada optimism bahwa berbagai persoalan tentang karut marutnya tata kehidupan itu dimaknai sebagai goro-goro[4] atau situasi chaos, pasca itu aka nada mata rantai siklus Zaman Baru yang disebut sebagai Zaman Kertayuga, zaman yang adil dan makmur. Meski ini bisa jadi sebuah ‘mitos’, bukankah berharap menjadi lebih baik dapat menginspirasi kita untuk lebih berpijak pada tradisi dan mengedepankan kebudayaan dalam merancang masa depan kemanusiaan.
Catatan Penutup
            Sebagai catatan akhir, tampaknya kita perlu mengapresiasi sebuah buku pada tahun 2000 yang berjudul Culture matters: how values shape human progress, yang di edit oleh Samuel P. Hutington dan Lawrence E. Harrison. Buku ini kemudian diterjemahkan dan diterbitkan oleh LP3ES tahun 2006 dengan judul Kebangkitan Peran Budaya, Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Sebuah buku yang meyakinkan semua khalayak tentang pentingnya kebudayaan dalam membentuk peradaban yang lebih baik dan konstruktif daripada sebelumnya.
            Hutington, dkk (2000: xv)  mendefinisikan budaya sebagai istilah yang subjektif seperti nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi, dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-orang dalam suatu masyarakat. Mereka member contoh dua Negara Ghana dan Korea Selatan yang pada tahun 1960an awal menyebutkan betapa miripnya ekonomi keduanya. Mereka memiliki Produk Domestik Bruto per kapita yang setara, porsi ekonomi mereka yang serupa di antara produk manufacturing dan jasa primer, serta berlimpahnya ekspor produk primer. Pada`tahun yang sama keduanya menerima bantuan ekonomi dalam jumlah yang seimbang. 30 tahun kemudian, Korea Selatan menjadi raksasa industry dengan ekonomi terbesar ke-14 di dunia, sementara Ghana tidak ada perubahan sama sekali, bahkan PDBnya seperlimabelas dari Korea Selatan.
            Bagaimana menjelaskan perbedaan yang luar biasa dalam perkembangan ini? Tahun 90an, Hutington dkk meneliti keduanya. Ditemukan fakta mengejutkan bahwa tidak diragukan lagi ternyata budaya memainkan peran besar dalam membentuk peradaban masing-masing. Orang Korea Selatan menghargai hidup hemar, investasi, kerja keras, pendidikan, organisasi, dan disiplin, sebaliknya Ghana mempunyai nilai yang berbeda.
            Apa yang bisa ditanggkap kemudian adalah bahwa ternyata kebudayaan memiliki faktor penting dalam mendesain arah kemajuan peradaban kemanusiaan sebuah bangsa. Menjadi lebih konstruktif atau justru destruktif, tergantung bagaimana kita memperlakukan kebudayaan. Salam budaya.

Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan, 2007, Kontsruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bakker, 1997, Filsafat Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius
Buwono, Sri Sultan, 2009, Indonesia in Waiting: Sebuah Permainan Tanpa Akhir, Makalah tidak diterbitkan
Hutington, Samuel. P dkk (editor), 2006, Kebangkitan Peran Budaya, Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan Manusia, Jakarta: LP3ES






[1] Disampaikan dalam diskusi rutin “Menggugat Kualitas Kebudayaan Kita: Menelusuri Relevansi Kebobrokan Bangsa dengan Rendahnya Apresiasi Seni-Budaya Masyarakat” yang diselenggarakan Center for Relegious and Community Studies (CeRCS) Surabaya, Surabaya, 22 Desember 2009
[2] Listiyono Santoso, bukan pengamat kebudayaan dan staf pengajar ilmu filsafat di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
[3] Ignas Kledens menyebutnya ada 3 kelompok utama yang mewakili pengertian khas tentang kebudayaan, yakni eksekutif pemerintah dan politis, ilmuwan social, dan para budayawan dan seniman
[4] Goro-goro sering dipersepsikan sebagai dagela, padahal itu untuk menunjuk sebuah keadaaan yang kacau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar