Search This Blog

Sabtu, 28 Februari 2009

Berpolitik tanpa Keteladan

Berpolitik tanpa Keteladanan
Oleh : Listiyono Santoso*

Mencermati konstelasi perpolitikan nasional belakangan ini, agaknya kita tidak bisa berharap banyak akan terjadinya perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak saja karena (selama ini) ada ketidakjelasan mekanisme perpolitikan nasional yang harus dimainkan, tetapi juga karena belum (tidak) terbentuknya formulasi masyarakat politik kita (pasca dilikuidasinya kekuasaan Orde Baru yang sentralistik) secara jelas, transparan dan konstruktif. Alih-alih terbentuk masyarakat politik yang konstruktif, malahan yang lahir kemudian adalah
perilaku berpolitik yang tidak berperadaban, yang hanya berorientasi pada (perebutan) kekuasaan an sich, melalui cara-cara yang cenderung ‘tidak beradab’.
Terbongkarnya perselingkuhan kuasa politik dengan kuasa ekonomi di negeri ini turut memperparah kehidupan kebangsaan kita. Kasus ilegal loging yang menyebabkan rusaknya hutan-hutan kita di luar Jawa, pemanfaatan lahan kosong dengan mall-mall yang menghilangkan ruang kosong demi kepentingan resapan air saat hujan, dan berbagai praktek yang mendegradasikan kepentingan bersama adalah fakta politik paling kongkrit dari model perselingkuhan politik dan ekonomi. Atau antara penguasa dan pengusaha. Bancir bencana di negeri ini belakangan ini tampaknya juga tidak lepas dari ‘ulah’ perselingkuhan yang tidak bertanggungjawab tersebut.
Masyarakat Tidak Beraturan
Kekacauan kehidupan berbangsa dan bernegara kita -meminjam terminologi Yasraf Amir Piliang- sebagai gerak turbulensi sosial, yaitu semacam pergerakan sosial yang tidak beraturan dan acak; wacana politik yang berkembang tanpa arah; wacana ekonomi yang dihantui fluktuasi kronis; wacana sosial yang dilanda kekerasan tanpa akhir; dan wacana budaya yang diselimuti ketidakpastian nilai (Kompas, 3/5/2001), sesungguhnya berawal dan diawali dari ketidakmampuan elit politik membentuk mekanisme bermain dalam (pentas) politik secara baik melalui koridor politik yang mengedepankan nilai (obyektifitas) kebenaran serta ketidakmampuan sistem tersebut mengkonstruksi masyarakat politik yang berperadaban. Artinya, bagaimana keseluruhan permainan dan pencapaian cita-cita politik (termasuk kekuasaan) yang seharusnya ditempuh oleh masyarakat politik (yang mengaku) sudah ‘beradab’ melalui mekanisme yang rasional, bukan sekedar merasionalisasi sebuah ‘tindakan’ yang tidak rasional.
Realitas politik yang berkembang adalah bagaimana elit politik (seolah-olah) selalu mengedepankan rasionalitas dan politik peradaban, meski yang terjadi tidak lebih sekedar hanya merasionalisasi perilaku politik yang tidak rasional dan tidak beradab. Sarat ambisi (kepentingan) pribadi dan golongan. Perilaku yang sesungguhnya ‘tidak beradab’ dan ‘licik’ menjadi ‘beradab’ dan ‘santun’, karena kemampuan (kecerdasan ?) mereka merasionalisasikannya. Benar, kalau Ulil Abshar Abdalla (Kompas, 13/2/2001) kemudian menyebut bahwa seolah-olah politik kita adalah keharusan menerima ‘kelicikan’ yang dilakukan secara ‘beradab’.
Realitas ini seolah membenarkan tesis Clifford Geertz (1972;323) yang menyebut bahwa hampir setiap institusi dalam masyarakat –angkatan bersenjata, birokrasi, pengadilan, perguruan tinggi, pers, partai, agama, desa- telah tersapu oleh getaran-getaran besar nafsu ideologis yang tampaknya tak punya tujuan atau arah. Kalau Indonesia memberi kesan menyeluruh tertentu, hal itu karena sebuah state manque, sebuah negara yang, karena tak dapat menemukan bentuk politik yang cocok bagi watak rakyatnya, khawatir tersandung dari penemuan institusional yang satu ke yang berikutnya. Persoalannya adalah dari setiap uji coba (trial and error) pencarian bentuk politik tersebut, rakyat selalu menjadi korban (obyek penderita) oleh ketidakpastian.


Rasionalitas Tujuan versus Rasionalitas Nilai
Dengan demikian, yang terjadi sesungguhnya adalah bukan karena persoalan kepemimpinan nasional belaka yang membikin ‘kacau’ konstelasi politik kita, melainkan karena konstruksi dasar bangunan masyarakat politik kita yang terlalu dipenuhi ambisi-ambisi (elit) politik yang keliwat ‘ambisius’ dan tidak sabar menunggu sebuah proses kekuasaan berjalan dan berakhir secara normal.
Tidak cukup itu saja, elite politik (baik di eksekutif maupun di legislatif) justru tidak memberikan keteladanan berpolitik dan hidup yang baik (sederhana) kepada rakyat banyak. Lihat saja para legislator kita pun juga disibukkan dengan keinginan untuk menaikkan ‘kesejahteraan’ anggotanya ketimbang ‘serius’ membikin Perda yang memihak dan ‘menguntungkan’ rakyat banyak. Lihat saja ribut-ribut tentang Perpu No 37/2006 berkaitan dengan kian membumbungnya ‘penghasilan’ anggota Dewan kita adalah cerminan dari ketidakpekaan pemerintah dan legislatif terhadap persoalan kerakyatan kita.
Tidak berlebihan bila dalam kondisi yang demikian politis di negeri ini lebih mengedepankan rasionalitas tujuan ketimbang rasionalitas nilai. Yang penting tujuan politik diraih, meski harus menenggelamkan nilai-nilai yang seharusanya dijadikan dasar pijakan dalam berpolitik. Itulah sebabnya, fenomena ‘saling menjatuhkan’, ‘caci-maki’ bahkan (ironisnya) ‘bekerjasama’ menyembunyikan perilaku menyimpang asal posisi politik aman, atau minimal mendapatkan ‘limpahan’ posisi politik dari kekuasaan seolah mengedepan dalam konstelasi perpolitikan nasional belakangan ini.
Dalam terminologi ini menjadi wajar ketika Mohammad Sobary memberi julukan kepada bangsa ini sebagai kasta paria terbesar dunia (Kompas, 10/6/2001). Yaitu bangsa yang disesaki oleh politisi, yang profesor sekalipun, yang menggungulkan bukan kerendahan hati dan keikhlasan berburu, dan menadah ridho Tuhan, melainkan memuja dan menista, mengkultuskan dan mencaci tokoh lain. Sejarah politik kita cuma berisi perputaran rutin, dan memuakkan antara memuja dan menista, memuja lagi kemudian menista lagi dan seterusnya.
Ambisi pada kekuasaan pada akhirnya ‘membutakan’ semua mata, ‘menulikan’ semua telinga, ‘menutup’ semua kecerdasan’ bahkan ‘menihilisasikan’ semua moralitas. Elit politik kemudian menjadi tidak mempan oleh kritik -secerdas- apapun, asal ambisi kekuasaannya diperoleh dan terpenuhi. Meminjam puisi Ahmadun Y. Herfanda, karena kepalanya batu, ia tak tembus peluru, apalagi kata-katamu segala kritik dan usulmu runtuh jadi debu.
Orientasi kekuasaan ini telah menenggelamkan semua keberadaban dan kercedasan. Pertarungan merebut kekuasaan tak lagi bernuansakan pada ‘kecantikan’ dalam berpolitik, tetapi sudah dihinggapi pada bentuk-bentuk kebencian dan prasangka sosial akut, yang lebih mengedepankan rasionalitas tujuan ketimbang rasionalitas nilai. Endapan ‘virus kebencian’ –dengan demikian- telah meluluhlantakan fakta-fakta obyektivitas kebenaran, tetapi disesaki oleh keinginan (kebencian) untuk semakin menambah dan memperlebar ‘lubang’ kesalahan lawan politiknya.
Selama bangunan masyarakat politik kita masih mengedepankan politik kekuasaan berbasiskan ‘kebencian’, maka selama itu pula jaminan berakhirnya krisis sosial-politik dan ekonomi tidak lebih sekedar ‘mimpi’. Reformasi yang semula memberikan harapan bagi terciptanya clean government (pemerintahan yang bersih) justru hanya melahirkan suatu pemerintahan yang ‘sarat’ dengan skandal politik. Reformasi yang semula memberikan harapan bagi terpenuhinya rekrutmen elit politik (DPR/MPR) yang mengedepankan kepentingan rakyat, justru hanya melahirkan politisi yang sibuk dengan urusan (kepentingan kelompok) masing-masing. Yaitu politisi yang sibuk membela kepentingan kelompok (partai) meski yang dibela belum tentu benar.
Demikianlah kalau berpolitik tanpa dibarengi pembentukan karakter berpolitik yang cerdas dan bermoral. Selain kian membuat ketidakjelasan konstruksi masyarakat politik kita, ia hanya akan menghasilkan sejumlah politisi yang hanya pandai ‘berdebat’ tetapi miskin sikap kearifan sebagai seorang negarawan. Yach ! itulah arah reformasi di negeri ini. Sebuah proses (reformasi) politik yang tidak dilandasi ketulusan membangun peradaban negeri ini menjadi lebih baik, melainkan disesaki dengan sejumlah nafsu untuk ‘berkuasa’ dan ‘memperkaya’ diri. Wallahu a’lam bis ashowab.
· Penulis adalah Staf pengajar Etika dan Filsafat Fakultas Sastra Universitas Airlangga, aktif di Pusat Studi Etnis dan Agama (PuSETA) Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar