Search This Blog

Sabtu, 28 Februari 2009

Korupsi, Naluri Dasar Kekuasaan

Korupsi, Naluri Dasar Kekuasaan
oleh: Listiyono Santoso

Korupsi bukan lagi merupakan berita di negeri ini. Bukan karena tidak menarik, melainkan sudah terlanjur menjadi berita biasa. Laporan Kompas yang menunjukkan fakta betapa korupsi di negeri ini telah terjadi dimana-mana (Kompas, 22-23/07/2008) ditanggapi publik sebagai hal biasa. Tanpa rasa kaget.
Yang sebenarnya lebih substantif adalah mengapa orang berkuasa cenderung korupsi? Hampir semua korupsi di negeri ini dilakukan oleh orang yang sedang berkuasa. Baik kekuasaan dalam pengelolaan anggaran maupun
kekuasaan menetapkan anggaran. Kekuasaan itu telah memberikan ‘berkah’ agar pengelolaan anggaran bisa ikut dinikmati.
Kekuasaan dan korupsi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Setiap kekuasaan memiliki kecenderungan korupsi, sementara korupsi selalu melibatkan (pemegang) kekuasaan dalam aksinya. Fakta korupsi yang tiada hentinya di negeri ini, memaksa kita kian membenarkan tesis klasik dari Lord Acton bahwa power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely.
Mengapa kekuasaan cenderung korup? Tidak lain karena di dalamnya tersedia berbagai peluang untuk melakukan korupsi. Ingat sebuah pesan, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, melainkan karena ada kesempatan. Nah, korupsi juga selalu terjadi karena pelakunya memiliki kesempatan (sangat besar) untuk itu. Mana ada korupsi dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan korupsi.
Berpijak pada kenyataan ini, Jakob Sumarjo (Kompas, 7/5/2005) mengatakan bahwa tidak setiap orang bisa korupsi. Hanya orang tertentu yang bisa melakukan perbuatan korupsi, yakni orang yang diserahi kekuasaan mengelola sejumlah anggaran. Banyak orang punya niat untuk korupsi, tapi karena tidak memegang mengelola sejumlah uang maka perilaku korup tidak akan terjadi. Karenanya, kata Jakob Sumarjo selanjutnya berbahagialah orang yang memiliki hak-hak istimewa tersebut.
Tidak itu saja. Orang yang memiliki kekuasaan –apapun dan dimanapun- juga dapat menggunakan fasilitas kewenangannya untuk kepentingan pibadi. Tidak usah pada kekuasaan negara, bahkan kekuasaan-kekuasaan pada level birokrasi terendah seperti RT/RW maupun Desa pun tampaknya tidak dapat steril dari perilaku korupsi.
Orang yang berkuasa untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) akan memanfaatkan peluang meraih keuntungan dari orang yang membutuhkan KTP. Orang yang berkuasa melegalisasi Sertifikat Tanah akan menganggap kewenangannya adalah peluang mendapatkan uang ‘tambahan’ dari orang yang mengurus sertifikat. Di jalan raya pun, orang yang memiliki kewenangan mengatur lancarnya lalu lintas akan menganggap setiap pelanggaran adalah berkah tersembunyi untuk mengambil keuntungan dari peristiwa tersebut. Masih banyak fakta berserakannya korupsi di berbagai bentuk kekuasaan.
Kehendak Untuk Korupsi
Ketika Nietzche mengatakan bahwa manusia memiliki kehendak untuk berkuasa (will to power), maka setelah manusia memperoleh kekuasaan yang muncul adalah will to corruption (kehendak untuk korupsi). Singkatnya, naluri dasar manusia adalah mencari kekuasaan, maka naluri dasar kekuasaan adalah korupsi.
Kekuasaan itu mempesona setiap orang, sehingga banyak orang rela menderita bahkan saling jegal dan bunuh untuk memperolehnya. Mengapa bisa demikian, karena di dalam setiap kekuasaan, orang akan memperoleh segalanya. Harga diri, status sosial, juga kekayaan. Makanya tidak heran jika setelah berkuasa, banyak orang yang cenderung kian meningkat kekayaannya, berubah gaya hidupnya serta dihormati banyak orang.
Kecenderungan kekuasaan untuk korupsi ini sudah sangat lama terjadi. Bahkan Plato seorang filsuf Yunani Kuno (abad 5 SM) juga telah menengarainya. Melalui Republic, Plato mengintroduksi sebuah paham dalam sosialisme purba bahwa seorang penguasa (negara) sebaiknya adalah seorang filsuf; yang tidak boleh memiliki keluarga dan harta kekayaan. Plato mungkin sadar tentang naluri dasar korupsi dalam setiap kekuasaan.
Orang menjadi koruptur biasanya karena alasan keluarga dan keinginan memiliki harta kekayaan. Untuk apa orang korupsi kalau bukan ingin cepat kaya dan untuk keluarga; istri dan anak-anaknya. Itulah sebabnya, Plato berupaya membatasi kecenderungan tersebut dengan mengajukan syarat bagi orang yang mau memegang kekuasaan; tidak boleh menikah dan tidak boleh memiliki kekayaan. Pernyataan Plato ini, meski mustahil diberlakukan saat ini, adalah bukti betapa kecenderungan korupsi sudah menjadi naluri dari kekuasaan sejak berabad-abad lamanya.
Bila benar demikian, tampaknya upaya memberantas korupsi yang belakangan ini gencar dilakukan menjadi mustahil untuk berhasil. Bukan saja karena ada kecenderungan naluriah tadi, tapi juga karena sistem dan peraturan selalu memiliki peluang kekuasaan untuk korupsi. Setiap kekuasaan –kata Ignas Kleden (2/1/1998)- sudah dengan sendirinya menyiapkan jebakan (sekaligus peluang, penulis) bagi orang yang memilikinya. Semakin besar kekuasaan semakin rumit dan berbahaya jebakan tersebut, sehingga sang penguasa hampir tidak dapat meloloskan diri daripadanya tanpa dibantu orang lain.
Tragisnya meminjam terminologi Ignas Kleden (1998) bagi orang yang berada dalam kekuasaan, justru menganggap jebakan tidak pernah ditanggapi sebagai jerat penyelewengan, tetapi lebih sebagai privilese dan fasilitas yang dianggap melekat pada kekuasaan. Jebakan kekuasaan malah menjadi peluang untuk memanfaatkannya sebagai privilese dan fasilitas. Karenanya menjadi wajar jika sekarang ini setiap orang yang berkuasa, karena punya priveles menetapkan dan mengelola anggaran, mulai sibuk membuat rancangan kenaikan tunjangan untuk dirinya sendiri yang ditetapkannya sendiri.
Kekuasaan itu Amanah
Tampaknya banyak orang tidak sadar bahwa kekuasaan adalah sekedar wewenang. Kekuasaan adalah sebuah amanat. Karena wewenang dan juga amanat maka setiap penguasa harus mempertanggungjawabkan pengelolaan kekuasaanya; tidak saja kepada publik tapi kepada hati nurani dan kepada Tuhan (jika memang masih percaya kekuasaan Tuhan). Kekuasaan dengan demikian tidak hanya berdimensikan sosial, politik, hukum dan ekonomi, tapi juga moral transendental. Meski kekuasaan itu bersifat profan (duniawi), tapi penyalahgunaan kekuasaan sekedar untuk kepentingan pribadi maupun golongan jelas menyalahi nurani dan moralitas transendensi.
Mengubah paradigma dalam memandang kekuasaan menjadi penting dilakukan. Penyelewengan pengelolaan kekuasaan, bahkan juga rebutan kekuasaan politik yang belakangan ini kian marak; adalah kesalahan dari cara pandang orang terhadap kekuasaan. Andaikata orang paham bahwa kekuasaan itu adalah amanat yang diberikan oleh masyarakat; dan dipertanggungjawabkan dihadapan publik dan Tuhan, maka orang akan sadar bahwa kekuasaan dengan sendirinya adalah beban yang sangat berat. Penyalahgunaan kekuasaan berarti berkhianat atas amanat rakyat dan pesan suci agama untuk mengelolanya bagi kepentingan orang banyak.
Perubahan paradigma dalam kekuasaan harus dilakukan sejak usia dini. Hal ini agar kesalahan menafsirkan kekuasaan di masa depan tidak terjadi lagi, minimal mengalami penurunan. Daripada sekarang kita sibuk dihadapkan pada kekecewaan demi kekecewaan terhadap setiap hasil akhir pemberantasan kasus korupsi, maka lebih baik kita melakukan gerak penyadaran terhadap generasi muda kita, terhadap anak-anak kita tentang moralitas kekuasaan. Sehingga ketika suatu saat mereka harus berpolitik misalnya, tidak lagi salah menafsiri kekuasaan, apalagi sampai rebutan kekuasaan.
Orang boleh mengatakannya sebagai gerakan orang-orang new pesimism atas keseriusan pemerintah, KPK dan masyarakat memerangi korupsi yang melanda hampir semua pemegang kekuasaan. Daripada sibuk dan ikut ramai-ramai berteriak ganyang koruptor pada zaman ketika korupsi menjadi ‘kesadaran bersama’ bisa-bisa kita justru dianggap orang aneh. Pada zaman ini, banyak orang kesulitan untuk memposisikan diri, apakah termasuk orang baik ditengah orang jahat atau justru menjadi orang jahat yang hidup di tengah-tengah orang bai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar