Search This Blog

Sabtu, 28 Februari 2009

'Komunitas Terpenjara' di Metropolis

‘Komunitas Terpenjara’ di Metropolis
oleh: Listiyono Santoso*

Warga di perumahan Nginden Intan dan kawasan Manyar tiba-tiba geger. Kamis, 1 Juni 2006 lalu, salah satu rumah di kawasan elite tersebut digerebek polisi, karena digunakan sebagai pabrik ekstasi. Warga gempar, marah dan mungkin juga heran. Betapa tidak. Lingkungan perumahan mereka ternyata
menjadi tempat aman untuk memproduksi barang haram yang menjadi musuh ‘utama’ masyarakat.
Warga memang pantas marah dan heran. Pasalnya, bagaimana mungkin lingkungan mereka bisa kecolongan dengan adanya pabrik ekstasi. Ironisnya, aktivitas produksi sabu yang berjalan cukup lama tersebut ternyata tidak pernah diperhatikan oleh warga sekitar. Padahal –sebagaimana lingkungan perumahan lainnya, antar rumah hanya dibatasi oleh dinding pembatas satu sama lain. Tapi, mengapa sampai tidak tahu apapun aktivitas warga perumahan lainnya?
Bagi warga perumahan elit, kawasan elite kan dihuni oleh warga dengan strata ekonomi mapan, tingkat pendidikan yang memadai, dan status sosial yang tinggi. Anggapan ini tampaknya –kemudian- membenarkan ketidakmungkinannya warga lingkungan perumahan melakukan perbuatan melanggar hukum. Itulah sebabnya, warga tersentak kaget ketika pabrik sabu dengan amzet 10,8 milyar/tahun dan telah dipergunakan 25 ribu orang berada di lingkungannya. Belum selesai rasa kaget itu, polisi kembali menemukan pabrik ekstasi lainnya di Graha Family. Sebuah kawasan elite lainnya di kota Surabaya.
Apa sebenarnya yang terjadi pada warga metropolitan kita, utamanya di perumahan elite? Mengapa warga dalam lingkungan yang sama tidak bisa mengenal satu sama lain? Mereka hidup bersama, tapi mengapa tidak bisa berada dalam kebersamaan? Jika dikerucutkan, gejala dan kecenderungan apakah yang sesungguhnya melanda warga perumahan elite belakangan ini? Apakah hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka berada dalam satu lingkungan, tapi sesungguhnya terpisah satu sama lainnya?
Stereotipe Perumahan Elite
Mengatakan bahwa warga perumahan elite cenderung individualis memang berlebihan. Tapi, menolak asumsi tersebut ternyata juga tidak mudah. Fakta kondisi perumahan elite yang bermunculan di kota Surabaya membenarkan situasi tersebut. Coba perhatikan dari soal bentuk rumahnya, selain terkesan eksklusif, berukuran (sangat) besar, masih ditambah dengan pagar pembatas yang tinggi menutup pandangan orang luar ke dalam rumah.
Kondisi ini hampir terjadi di semua kawasan elite di Surabaya. Bahkan tengara menyebutkan hampir semua pemilik perumahan elite tersebut adalah orang luar Surabaya. Rumah-rumah tersebut hanya dihuni oleh pembantu dan tukang kebunnya, kecuali pada hari-hari tertentu ketika pemiliknya singgah di Surabaya.
Secara sosiologis, kondisi demikian tentunya memberikan sinyal bahwa perumahan tersebut –sengaja- dibangun bukan untuk bersosialisasi satu sama lain. Perumahan elite dibangun seolah sekedar memberikan gambaran elitisme pemiliknya ditengah kota, sementara dibalik tembok elitisme, rumah-rumah penduduk asli Surabaya bertebaran. Tembok besar pemisah, apalagi jika jarang ditempati, jelas menyulitkan penghuninya –jika ada- untuk berinteraksi satu sama lain.
Kesan tertutup, elitisme dan individualis warga perumahan elite akhirnya kian menemukan bentuknya, ketika nyaris tidak pernah ada kegiatan bersama antar warga untuk menjaga lingkungan sekitar. Karena berkecukupan materi, maka segala sesuatunya bisa diselesaikan dengan serba instan. Bersih-bersih lingkungan sudah diwakilkan tukang kebun. Keamanan lingkungan sudah membayar satpam. Pertemuan antar warga nyaris tidak dilakukan karena mereka sudah disibukan dengan kegiatan masing-masing. Akhirnya, perumahan yang seharusnya dimaknai sebagai ruang untuk bersosialisasi diri dan melakukan interaksi sosial, justru direduksi hanya berfungsi sebagai tempat untuk istirahat dan bersantai. Bahkan sekedar untuk menunjukkan status sosialnya di mata warga lainnya.
Situasi yang demikian –meminjam istilah Peter L. Berger (1982)- menunjukkan warga mengalami anomie, yaitu suatu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan satu sama lain, yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya. Situasi yang menjerumuskan warga ke dalam lembah individualisme akut. Artinya, masyarakat yang demikian lebih mendahulukan kepentingan dan selera individu, dan mengemudiankan kepentingan hidup bersama. Benar, bahwa mereka hidup bersama. Tapi bersama itu tidak membangun kebersamaan antar mereka, karena sesungguhnya mereka terpisah-pisah satu sama lain.
Masyarakat yang hidup bersama tapi tidak bisa membangun kebersamaan inilah yang oleh Erich Fromm disebut sebagai masyarakat sakit. Meskipun warga yang sakit tidak menyadarinya, Fromm tetap mengkategorikan sebagai keadaan masyarakat yang hidup dengan suatu cacat tanpa menjadi sakit. Masyarakat yang, karena sudah mendapatkan kenikmatan materi dan pelayanan secara mudah ini akhirnya menganggap bahwa segala sesuatunya bisa diselesaikan dengan materi. Interaksi sosial dan kebersamaan akhirnya menjadi sesuatu yang langka untuk ditemukan.
“Komunitas Terpenjara”
Istilah ini tentunya berlebihan. Tapi secara sosiologis, dapat digunakan untuk memberikan gambaran atas kondisi perumahan elit. Komunitas terpenjara (gated community) adalah suatu kondisi masyarakat yang meskipun bebas melakukan apapun, ternyata mereka berada dalam keadaan tertutup satu sama lain. Gated Commnity menjadi simbol komunitas yang secara psikologis merdeka, tapi lingkungan fisik membuat mereka tidak dapat melakukan interaksi satu sama lain. Baik antar sesama komunitas, maupun dengan komunitas lainnya.
Gated Community menggambarkan lingkungan yang dipagari tembok atau kawat berduri untuk menutup kemungkinan masuknya orang luar komunitas. Dengan alasan keamanan lingkungan, maka akses masuk ke lingkungan tersebut hanya satu pintu utama yang dijaga satuan pengamanan (Satpam). Satpam berfungsi mengawasi dan mengontrol setiap orang yang keluar masuk di lingkungan perumahan. Seperti dalam ‘penjara’, setiap orang luar diwajibkan lapor dan meninggalkan identitas sebagai bukti diri. Seringkali Satpam juga tidak mengenal penghuni dalam komunitas tersebut.
Simbol satu gerbang utama, satpam, dan pagar keliling perumahan membuatnya (meng/ter)isolasi diri dengan lingkungan sekitar. Bahkan rumah yang besar-besar plus pagar yang tinggi-tinggi kian mempersempit akses sosialisasi diri dalam lingkungan. Alih-alih untuk sosialisasi diri, yang terjadi adalah isolasi diri masing-masing. Sikap cuek, tidak peduli dengan aktivitas warga lainnya adalah akibat dari proses isolasi tersebut.
Situasi ini akhirnya membuat warga perumahan elit kesulitan membangun kebersamaan. Padahal tanpa kebersamaan, sebuah komunitas kehilangan maknanya sebagai masyarakat. Mereka hanya menjadi kumpulan individu individu yang terpisah satu sama lain. Individu yang sesungguhnya teralienasi, terasing dari solidaritas bersama. Individu yang terjebak kepada rutinitas kerja pragmatis fungsional. Setelah semua rutinitas selesai, lalu pulang dan ‘mengurung’ diri dalam ruang-ruang yang diselimuti tembok besar dan tinggi.
Mengikuti alur penelitian William H. Frederick tentang kota Surabaya 1926-1946, jangan-jangan perkembangan Surabaya menjadi kota Metropolis memang didesain sebagai kota industri dan perdagangan bukan kota permukiman. Sebagai kota industri dan perdagangan, maka ruang-ruang di Surabaya menjadi tidak nyaman untuk keperluan pemukiman. Industri dan perdagangan dikembangkan di setiap sudut kota. Konsekuensinya menggusur pemukiman penduduk Surabaya ke luar kota.
Pelaku sektor industri dan perdagangan yang didominasi orang luar Surabaya tentunya membutuhkan perumahan ketika bermukim di kota ini. Kondisi ini memberikan peluang bagi developer untuk mengembangkan konsep perumahan bagi mereka. Karena mereka memiliki modal maka dibangunlah perumahan elit (real estate) di pinggiran kota Surabaya. Menariknya, meskipun dipinggiran, citra yang dibangun bukanlah identitas masyarakat rural. Mereka bukan urban, tapi tidak disebut sebagai masyarakat rural. Identitas yang pas untuk komunitas tersebut adalah masyarakat sub-urban. Lingkungan real estate inilah yang kemudian mendominasi perkembangan pemukiman di pinggiran Surabaya. Sementara warga Surabaya membuat pemukiman dibalik tembok-tembok besar real estate.
Kondisi-kondisi ini kian memberikan jarak sosial antara warga perumahan elite dengan warga sekitar. Rumah dibangun akhirnya direduksi sekedar untuk kepentingan berteduh bagi diri dan keluarga. Pagar di lingkungan perumahan memberikan ruang batas tegas dengan warga kampung luar, dan ‘tembok besar’ setiap rumah kian mengisolir mereka untuk saling bertemu dan berinteraksi sosial sesama warga perumahan. Situasi inilah yang kemudian memberikan ruang kondusif bagi penyalahgunaan perumahan tanpa diketahui, dicurigai atau diawasi oleh warga sekitarnya. Karenanya tidak heran jika pabrik ekstasi dengan omzet milyaran dan beroperasi cukup lama tiba-tiba baru diketahui warga. Itupun setelah digerebek pihak kepolisian.
Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan dan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kalau tidak dicari solusi kondusifnya, dikhawatirkan masyarakat terjebak pada sikap pembiaran (omission) dan serba permisif (permissiveness). Masyarakat yang membiarkan dan permisif terhadap segala penyimpangan dan lahirnya berbagai penyakit sosial di sekitar mereka. Itulah sebabnya, saatnya fungsionalisasi institusi lokal seperti RT dan RW menemukan momentumnya untuk kembali dihidupkan lebih optimal. Bukan untuk mengontrol perilaku warganya, melainkan untuk menyelematkan lingkungannya dari ancaman penyimpangan dan penyakit sosial yang ditimbulkan oleh warganya maupun warga lainnya. Alisyo00@yahoo.com

* penulis, staf pengajar ilmu filsafat dan ketua Komunitas Kajian Kebudayaan dan Masyarakat (k3m) Fakultas Sastra Universitas Airlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar