Search This Blog

Sabtu, 28 Februari 2009

Mencoba Hidup Tanpa "negara'

Mencoba Hidup Tanpa "Negara"?
(dimuat Kompas, Rabu, 13 Juni 2001)

NEGARA dalam literatur politik klasik diadakan oleh manusia sebagai sebuah tuntutan "fitrah" manusiawi, karena manusia menurut kodratnya merupakan zoon politikon; makhluk yang hidup dalam polis atau kota. Sehingga menurut Aristoteles (384 sM), suatu makhluk yang menurut kodratnya, tidak hidup dalam polis, pasti merupakan seekor binatang atau seorang dewa. Maksudnya, makhluk serupa itu bisa berada di
bawah manusia atau bisa melebihi manusia, tetapi pasti tidak merupakan seorang manusia.
Apa yang diintrodusir Aristoteles sesungguhnya bermakna bahwa manusia di mana pun adanya tidak (mungkin) bisa hidup tanpa negara. Sesuai dengan kodratnya sebagai zoon politikon, maka manusia akan selalu hidup bersama dengan orang lain, untuk saling membantu mengatasi kesulitan kehidupan yang mungkin timbul.
Protogoras (485 sM) seorang filsuf sofistik melukiskan betapa timbulnya negara sering kali diawali ketika manusia yang mulanya hidup sendiri mengalami kesulitan dalam menghadapi berbagai "ancaman" yang datang dari luar, maka ia mulai berkumpul dengan yang lainnya dalam kota-kota, kemudian terbentuklah negara.
Kodrat manusia yang zoon politikon ini memberikan konsekuensi logis bahwa tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa negara. Judul di atas akibatnya terkesan ironi, bahkan cenderung anarkis. Bagaimana mungkin manusia sebagai zoon politikon dapat hidup sendiri tanpa (bantuan) negara? Karena negara-apa pun bentuknya-sesungguhnya berdiri sebagai jawaban atas "fitrah" manusiawi; untuk hidup bersama sebagai makhluk sosial yang-meminjam terminologi Protogoras- selalu didasarkan pada keinsafan akan keadilan (dike) dan hormat pada orang lain (aidos). Melalui dua anugerah ini, dike dan aidos, maka negara akan berfungsi sebagai "ruang" manusia dapat hidup bersama secara damai, aman, dan sejahtera.
Dengan demikian, negara (sekali lagi dalam terminologi klasik) didirikan sebagai alat untuk memberikan rasa aman dan kesejahteraan bagi manusia yang berada dalam lingkupnya. Apa pun dan di mana pun negara tersebut berdiri, sesungguhnya merupakan kesepakatan bersama dari rakyatnya, sehingga segenap pengelolaan atas (kekuasaan) negara semestinya diarahkan bagi kepentingan rakyat. Sehingga, rakyat harus "patuh" pada kesepakatan bersama tersebut.
Persoalannya adalah bagaimana jika sebuah "negara" tidak sanggup menjalankan fungsinya untuk memberikan rasa aman, keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya? Apakah rakyat harus tetap memerlukan "negara" tatkala ia tidak memperoleh jaminan "keuntungan" apa pun dari penyelenggaraan kekuasaan negara tersebut?
Persoalan ini tampaknya sedang "menggeliat" dalam ruang batin rakyat Indonesia. Betapa mereka (baca: rakyat) dihadapkan pada kenyataan harus hidup di sebuah negara yang tidak pernah memperhatikan "nasibnya" di tengah instabilitas ekonomi dan politik. Bahkan, meminjam terminologi William Chang (Kompas, 25/1/1999), rupanya instabilitas ini memunculkan proses adu kekuatan di kalangan elite politik yang merasa lebih berhak menyelamatkan bangsa ini.
Betapa kita saksikan, keseluruhan energi "negara" (dalam konteks ini tidak hanya eksekutif, tetapi juga legislatif) ternyata dihabiskan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya untuk mengincar kursi kekuasaannya. Hampir setiap hari kita justru disuguhi konflik elite politik yang tidak pernah berkesudahan, sementara rakyat (di luar kekuasaan negara) harus berjuang sendirian melawan "ketidakpastian" akibat harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi dan "kegelisahan" akibat ketidakjelasan konstelasi perpolitikan nasional yang tidak memberi rasa aman.
"Negara" ternyata lebih dikonsentrasikan untuk bergelut dengan dirinya sendiri tanpa mau terlibat dengan persoalan mendasar yang dihadapi rakyat. Kursi kekuasaan menjadi sedemikian berharganya ketimbang "nasib" 200-an juta jiwa rakyat. Dan kekuasaan "negara" pun seolah menjadi milik elite politik di Jakarta, tepatnya di Gedung MPR/DPR, yang berhak untuk memberikan "warna" apa pun atas kekuasaan tersebut demi kepentingan dirinya dan kelompoknya. Sementara, rakyat posisinya tetap tidak beranjak menjadi "obyek" negara yang berhak untuk di-"atas-nama"-kan demi legitimasi (pemerolehan) kekuasaan oleh elite politik.
Dalam kondisi ini tidak berlebihan bila Riswandha Imawan (Bernas, 3/1/2000) menyebut bahwa bangsa ini adalah bangsa yang piatu, di mana rakyat Indonesia yang mempunyai "ayah" dan "ibu" yang masih lengkap, tetapi mereka tidak pernah peduli dengan masalah yang dihadapi, atau "sibuk" dengan masalahnya sendiri sehingga mengabaikan fungsinya sebagai "ayah" yang memberikan perlindungan dan nafkah bagi keluarganya dan sebagai "ibu" yang sanggup memberikan rasa kasih sayang bagi anak-anaknya.
Hal ini dikarenakan "ayah" dan "ibu" sebagai pengelola negara justru disibukkan untuk "terlibat" dalam persaingan (konflik) elite yang secara substansial tidak pernah bersentuhan dengan kepentingan rakyat. Ironisnya, persaingan elite politik tersebut tidak dilakukan dengan cara-cara yang mencerdaskan kehidupan (ber)politik rakyat, tetapi melalui cara yang tidak bermutu (Kompas, 20/5/2001).
Negara-dengan demikian-tidak lagi berfungsi sebagai institusi yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, tetapi justru berubah menjadi institusi yang telah "menelantarkan" rakyatnya dan tidak pernah memberikan perlindungan yang berarti bagi rakyat.
Bagaimana mungkin "negara" bisa menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi rakyat kalau ia sendiri "bermasalah?" Atau bagaimana mungkin "negara" bisa memberikan rasa aman, ketika ia justru menciptakan tidak aman bagi rakyatnya?
Hidup tanpa negara: mandiri
Dengan demikian, ketika "negara" sudah tidak lagi bisa menjalankan fungsinya; minimal memberikan perlindungan rasa aman bagi rakyatnya; apakah (tidak) boleh jika rakyat berpikir untuk (mencoba) hidup tanpa negara? Tanpa negara dalam konteks ini bukan berarti pelenyapan negara (stateless) sebagaimana yang diimpikan Marx, tetapi bagaimana rakyat tidak lagi "menggantungkan" seluruh (nasib) hidupnya ke depan pada negara. Artinya, bagaimana rakyat (dikondisikan) untuk mempunyai kemandirian dalam menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapinya, sehingga "ketergantungan" pada "negara" bisa dilepaskan.
Selama ini, rakyat memang selalu dikondisikan dan "dimanjakan'' untuk selalu tergantung (dependensi) pada negara dalam menjawab persoalan yang dihadapinya. Ketergantungan acap kali sengaja diciptakan agar rakyat tidak mempunyai kemampuan menyelesaikan persoalannya secara mandiri. Tatkala rakyat tidak sanggup menyelesaikan persoalannya, maka muncullah "negara" sebagai juru selamat yang siap menjawab setiap persoalan yang dihadapi rakyat.
Dalam penciptaan ketergantungan pada dasarnya bersembunyi kepentingan ideologis untuk menguntungkan "posisi" negara di hadapan rakyat. Persoalannya adalah bagaimana jika ternyata negara tidak bisa menjadi juru selamat atas persoalan yang membelit rakyat, apakah rakyat harus tetap berharap dan mengandalkan "kecakapan" negara, sebagaimana yang terjadi saat ini? Jawabannya tentu saja tidak. Rakyat harus mulai melepas "ketergantungannya" pada negara, apalagi kondisi negara memang sudah tidak bisa diharapkan lagi menjadi institusi "penyelamat" nasib mereka ke depan.
Sehingga, kalau kita sadari, betapa dalam kondisi "ketidakmampuan" negara menyelesaikan masalah ini, sesungguhnya mengandung berkat tersembunyi (blessing in disguise). Ketidakmampuan ini memberi kesempatan bagi munculnya semangat kemandirian dari rakyat untuk terlibat secara aktif dan partisipatif menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapinya tanpa campur tangan negara.
Pada dasarnya semangat kemandirian ini menjadi momentum bagi munculnya penguatan civil society yang dicita-citakan. Momentum ini bisa diraih manakala rakyat dibiasakan untuk sanggup hidup tanpa "negara", dalam artian bukan dalam rangka meminggirkan peran negara, tetapi mengantisipasi kemungkinan tidak "bekerjanya" secara efektif fungsi yang harus dimainkan negara, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Pengkondisian kemandirian rakyat pada akhirnya mendidik rakyat untuk berperan menjadi subyek negara, bukan lagi menjadi obyek (yang dieksploitasi) negara; untuk kepentingan "negara" dengan kekuasaannya. Sebuah negara-apa pun dan di mana pun-dalam pengelolaan kekuasaannya-biasanya-selalu menguntungkan segelintir orang (kelas tertentu), dan rakyat hanya menjadi obyek (legitimasi) kekuasaan yang selalu diperebutkan dalam setiap pemilihan umum, dan (rakyat) ditinggalkan ketika kekuasaan sudah diraih.
Secara historis, ketika kaum Marxian, mungkin juga Marx mengusung impian pelenyapan negara (stateless), sesungguhnya dilandasi oleh sebuah keinginan besar untuk menghilangkan fungsi negara sebagai alat kelas yang menguntungkan kelas tertentu, yaitu borjuasi. Dalam setiap areal kekuasaan (negara) sepanjang sejarahnya, terminologi negara memang selalu menempatkan orang-orang yang berada pada inner-circle-nya pada situasi dan kondisi yang diuntungkan; baik secara ekonomi maupun politik.
Itulah sebabnya, ketika kekuasaan atas negara sudah diperoleh, seorang "penguasa" akan selalu berusaha (mati-matian) mempertahankan kekuasaannya. Di bagian lain, masyarakat berusaha untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan, minimal dekat-dekat dengannya agar memperoleh "berkah" atas kekuasaan tersebut. Sehingga, menjadi wajarlah ketika masyarakat kemudian saling berebutan untuk menjadi "kroni" bagi sebuah kekuasaan negara.
Tampaknya konstelasi perpolitikan nasional saat ini merepresentasikan kondisi yang demikian. Di mana (kekuasaan) negara menjadi "target" politik pertama dan utama bagi elite politik bangsa ini, sehingga keseluruhan energi elite politik kita belakangan ini hanya dihabiskan untuk "merebut" kue kekuasaan; bagi dirinya, kelompok dan golongannya, dan rakyat (kemudian) hanya menjadi "obyek penderita" atas kondisi tersebut.
Pada akhirnya rakyat hanya menjadi "tumbal" bagi ambisi kekuasaan "negara", di mana negara didirikan bukan untuk kepentingan perlindungan dan kesejahteraan rakyat, melainkan untuk kepentingan "pejabat". Menjadi wajarlah bila momentum ini dijadikan alasan oleh rakyat untuk hidup tanpa (ketergantungan) negara?
* Listiyono Santoso, peminat politik kebudayaan dan pendidikan, koordinator LKPPS dan staf pengajar ilmu filsafat Fakultas Sastra Universitas Airlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar